Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil (Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera)
JAKARTA, JOURNALARTA.COM – Curhat atau curahan hati sejatinya adalah dilakukan makhluk yang dikaruniai hati, yang dengannya makhluk tersebut berperasaan, seperti malu, takut, dan menginginkan sesuatu. Sikap berperasaan seperti malu adalah identik dengan manusia, tidak berlaku bagi Tuhan terlebih terkait kebenaran.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Wallahu la yastahyi minal Haqq” Artinya “Sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran.” Sebaliknya manusia, dalam hal ini terhadap Rasul yang pada kondisi tertentu dihiaskan padanya sikap malu.
Curhat disini adalah suatu kondisi yang dialami manusia yang larut dalam suasana perasaan akan yang dimaksud Tuhan dalam Kitab Suci. Manusia merasa Tuhan sedang mencurahkan perasaan kepada makhluknya melalui tutur kata atau kitab suci.
Padahal padahal kenyataannya, bukan perkara pemahaman akan makna ayat-ayat suci tersebut berupa penafsiran keliru misalnya, atau munculnya kesesatan dalam memahami ayat demi ayat, namun lebih kepada kondisi seseorang berada dalam angan-angan atau dugaan semata.
Dugaan yang senantiasa terjaga kemudian berkembang menjelma perasaan yang tidak terbendung yang dihasilkan dari kondisi hati yang mengharap cinta, diiringi usaha berikut do’a sebagai bagian dari Mujahidah, dengan Tuhan yang mengenalkan diriNya melalui firman-firmanNya.
Perasaan kepalang tanggung yang merupakan dikira curhatan Tuhan justru diri sendiri yang nyatanya sesat bahkan dalam memahami perasaan sendiri.
Sebagai contoh, seseorang membaca ayat bahwa Allah mengutamakan orang beriman atas kafir, namun lantaran rasa cinta, maka pembaca ayat al-Qur’an tersebut berusaha menagih janji tersebut secara nyata, namun pada kondisi lain ia juga tidak yakin akan dinyatakan Allah kepadanya akan suatu kuasa.
Maka sesungguhnya yang dimaksud dengan mendengar “curhat” Tuhan bukan menganggap kitab suci sebagai bentuk dari curahan hati dengan menjadikan manusia atau makhluk tuhan pada umumnya sebagai tempat mencurahkan perasaan tersebut.
Tugas selanjutnya adalah setiap manusia melakukan introspeksi diri dengan kondisi diri secara fitrah juga berbagai kelemahan dan keterbatasannya. Terkait perasaan berat, do’a belum terjawab, atau janji yang dipahami belum kunjung terpenuhi lagi-lagi introspeksi atau muhasabah, apakah terkait dosa, kurang sabar, ataukah terkait kesadaran seberapa jauh akan keadilan Tuhan dan kenyataan sesungguhnya.
Senantiasa bertakwa serta melihat kesesuaian diri baik hati dan perilaku dengan tuntunan sejati yang lain adalah kalamNya: Al-Qur’an.(*)