Jakarta, Journalarta.com – Pengamat menyebut akses jaringan 5G di Indonesia sejatinya belum siap. Ketua Bidang Infrastruktur Broadband Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Nonot Harsono mengungkapkan, ada banyak kebutuhan infrastruktur yang harus dibenahi untuk membangun jaringan 5G di Indonesia.
Beberapa operator telekomunikasi di Indonesia yang sudah menawarkan jaringan 5G dinilai hanya sebagai bentuk promosi. Sebabnya, banyak kendala yang belum selesai dihadapi Indonesia untuk membangun jaringan 5G.
“Kalau mau jaringan 5G yang ideal, belum siap, kalau ngeyel ngotot ‘kami sudah bisa memasang 5G dengan frekuensi sendiri’ yang memang bisa, tapi ya itu tadi, negara rugi, masyarakat rugi, karena peningkatannya ga banyak, jadi promosi doang,” ujar Ketua Bidang Infrastruktur Broadband Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Nonot Harsono saat dihubungi yang di lansir dari CNN Indonesia, Rabu (9/12).
Ia menjelaskan, ada tiga kendala yang pembangunan jaringan 5G di Indonesia. Pertama adalah kendala frekuensi yang terbagi oleh banyak operator, modernisasi base transceiver station(BTS), dan kesiapan koneksi fiber optic untuk menunjang akses 5G.
Dari segi frekuensi, untuk 5G dibutuhkan frekuensi middle layer 1800, sementara saat ini frekuensi low layer 700 saja dibagi oleh beberapa operator seluler besar, seperti Telkomsel, XL, dan Indosat.
“Kalau mau 5G, operator ini harus menyatukan spektrum frekuensi, jadi setiap operator itu harus sepakat menyatukan alokasi frekuensinya,” ujarnya.
Lalu kendala kedua adalah ketersediaan BTS yang merata dalam radius berdekatan. Saat ini, tower BTS di kota-kota besar paling tidak berjarak 1-2 kilometer satu sama lain.
Namun untuk menunjang akses 5G, tower ini perlu berjarak berdekatan antara 200-300 meter antara satu tower dan lainnya. Kendala ini mungkin bisa diatasi di area perkotaan, tapi hal serupa bisa dilakukan merata di seluruh Indonesia.
“Kalau 5G, nanti BTS dibangun kecil-kecil, radiusnya sekitar 200-300 meter, bisa enggak ini dibangun di daerah-daerah? nanti jadi black hole, di satu titik bisa [5G], pindah dibawa jalan dia [5G] mati,” tutur dia.
Kendala terakhir yang harus dihadapi Indonesia dalam membangun jaringan 5G adalah ketersediaan kabel fiber optic yang menghubungkan satu tower BTS dengan lainnya.
Harsono justru mempertanyakan, jaringan fiber optic Indonesia yang masih belum rapi dan belum merata sehingga jaringan 5G belum bisa dirasakan dengan maksimal.
“BTS itu harus tersambung ke core network-nya, kemudian harus tersambung ke jaringan antar kota, nah penghubungnya itu harus fiber optic. Sedangkan tadi untuk 5G, BTS jaraknya pendek, nah fiber optic kita apa sudah rapi, sudah rata? Kalau belum ya ga bisa 5G,” tuturnya.
“Maka untuk mendukung 5G itu banyak pekerjaan yang harus disiapkan. Bukan sekonyong-konyong impor BTS terus dipasang, enggak sesederhana itu,” imbuhnya.
Beberapa produk telepon pintar atau smartphone yang memasuki pasar Indonesia telah menawarkan fitur 5G. Baru-baru ini seperti Xiaomi Mi 10T dan Mi 10T pro, Samsung Galaxy Note 20 ultra.
Sementara di lain pihak, perusahaan teknologi asal Swedia, Ericsson optimis implementasi 5G di Indonesia bisa terwujud pada 2021. Sebab, pemerintah bersama operator seluler telah melakukan investasi besar-besaran misalnya fiber optic.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate sempat mengatakan pandemi virus corona (Covid-19) akan berdampak pada perencanaan investasi operator seluler terkait penerapan jaringan 5G dan Internet of Things (IoT) di Indonesia.(**)
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.