Penjualan lahan milik negara itu terjadi pada 2018 lalu
Banten, Journalarta.com – Kiki Baehaki dan Uji Naruji dituntut pidana dua tahun penjara di Pengadilan Tipikor Serang, Senin (11/1/21). Keduanya dinilai terbukti bersalah menjual lahan negara di Desa Bojongmenteng, Kecamatan Tunjungteja, Kabupaten Serang.
Surat tuntutan itu dibacakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Serang Edwar. Selain pidana penjara, Kiki dan Uji oleh JPU dituntut pidana denda Rp100 juta subsider enam bulan kurangan.
JPU menilai perbuatan keduanya telah memenuhi unsur Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana.
“Sebagaimana dalam dakwaan subsdier,” kata JPU dihadapan majelis hakim yang diketuai Emy Tjahjani WIdiastoeti.
Diuraikan JPU, penjualan lahan milik negara itu terjadi pada 2018 lalu. Sebelumnya, pada 1964, Direktorat Agraria Provinsi Jawa Barat melaksanakan program pendaftaran tanah sitematik terhadap tanah yang dikuasai oleh penggarap.
Berdasarkan buku pengelompokan penerima redistribusi tanah atau landreform 1980/1981, terdapat 50 warga penerima redistribusi tanah seluas 40 hektare lebih.
Namun, hanya satu penerima redistribusi tanah bernama Badri yang mengurus perubahan status tanah itu menjadi hak milik untuk lahan seluas 1,9 hektare. “Sedangkan sisanya sampai tahun 2019 tidak pernah mengajukan untuk penerbitan sertifikat hak milik,” kata JPU.
Disebutkan JPU, status tanah negara menjadi hak milik dapat diubah oleh penggarap dengan cara membayar pemasukan kepada negara dengan nilai bervariasi. “Jika penerima redis tidak membayar, maka tanah tersebut kembali kepada negara,” kata JPU.
Kebijakan itu tertuang dalam keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 11 Tahun 1997 tentang Penertiban Tanah Objek Redistribusi Landreform. Sebagai tindaklanjut, Kepala Inspeksi Agraria (Kinag) menerbitkan Surat Keputusan (SK) terkait kewajiban para penerima program redistribusi tanah tersebut selama 15 tahun.
“Sehingga dinyatakan batal (perubahan status-red) dan dengan sendirinya tidak berlaku lagi (kembali menjadi tanah negara-red),” tegas JPU.
Baca juga : Akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjungpandan Menjatuhkan Vonis Bebas Kepada Syarifah Amelia
Namun, Uji Naruji tetap membeli lahan yang berstatus milik negara itu kepada mantan Kepala Desa (Kades) Bojoengmenteng periode 1992-2006 bernama Jamsuri. Pembelian dilakukan pada 1995 melalui empat kali pembayaran.
“Terdakwa menyetujui untuk membeli tanah tersebut seharga Rp250 juta,” ujar JPU.
Uji membeli lahan tersebut lantaran diyakinkan oleh Jamsuri yang mengklaim memiliki dokumen ganti rugi dari penggarap terkait peralihan hak atas tanah seluas 127.410 meter persegi.
Usai dibayar, pada 1998 Uji mendesak Jamsuri mengajukan penerbitan SPPT PBB ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Serang untuk 15 bidang tanah.
Pada 2002, Jamsuri mengajukan penerbitan akta jual beli (AJB) ke kantor Kecamatan Tunjungteja. AJB ditandatangani Asep Saepudin selaku camat.
Usai AJB terbit, Uji pada 2014 bermaksud menjual tanah tersebut. Hingga pada 2018, Uji menawarkan tanah tersebut kepada Hariji.
Atas tawaran itu, Hariji menyuruh pegawainya mengukur luas tanah. Hasil pengukuran menyebutkan luas lahan 95.017 meter persegi. “Tidak sesuai dengan data ukur AJB 137.621 meter persegi,” kata JPU.
Namun, Hariji tetap membayar tanah tersebut seharga Rp1,788 miliar.
Kabar penjualan tanah di blok 006 Bojongmenteng itu diceritakan Udin Nurjaya kepada Nuerhasan, warga sekitar. Nuerhasan menegaskan tanah tersebut berstatus milik negara. Informasi itu disampaikan Udin Nurjaya kepada Uji.
Udin Nurjaya kemudian diperintahkan Uji untuk berkoordinasi penjabat sementara (pjs) Kades Bojongmenteng Kiki Baehaki. Atas bantuan Kiki, Udin Nurjaya bertemu dengan penggarap tanah, dan pihak-pihak lain. Penggarap tanah tersebut dijanjikan uang Rp6 ribu permeter sebagai ganti rugi. “Udin Nurjaya menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Uji Naruji,” kata JPU.
Saat kembali bertemu dengan 14 penggarap tanah, Uji Naruji menyodorkan kwitansi kosong. Isi kwintasi tersebut diisi oleh Kiki Baehaki. Setelah menyelesaikan urusan penggarap lahan, Kiki Baehaki menyuruh Uji Naruji menandatangani surat. Di antaranya surat pernyataan menjual dan surat pernyataan tidak dalam sengketa.
Sekretaris Desa (Sekdes) Bojongmenteng Suhenda kemudian meminta uang Rp120 juta kepada Hariji untuk mengurus dokumen SPPT. Selain mengurus dokumen, uang ratusan juta tersebut akan diberikan kepada para penggarap lahan. Namun, belakangan para penggarap tersebut menolak lantaran mengetahui lahan tersebut adalah milik negara.
Akibat perbuatan Uji dan Kiki, negara dirugikan Rp2,1 miliar. Nilai tersebut berdasarkan hasil audit dari Inspektorat Kabupaten Serang.
Usai pembacaan surat tuntutan, kedua terdakwa melalui kuasa hukumnya menyatakan keberatan dan akan mengajukan pembelaan.(Radar Banten)
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.