Oleh : Kurniawansyah (Pemerhati Hukum dan Kebijakan Publik)
Pangkalpinang, Journalarta.com – Hampir 22 tahun silam sejak reformasi terjadi di Indonesia, persoalan bangsa pun belum dapat terselesaikan dengan tuntas, terlebih dalam permasalahan reformasi hukum. Hukum masih dirasakan belum menyentuh pada aspek keadilan dan kepastian hukum.
Pendikotomian hukum baik dalam penerapan hukum bahkan penegakan hukum belum bisa membuat terang secara harfiah tentang hukum itu sendiri. Kalau kita kerucut lebih dalam lagi, kita tidak akan bisa melepaskan konsep sistem hukum Lawrence Friedmann yang mana substansi hukum akan bisa dijalankan dengan baik dan benar apabila struktur hukum itu berjalan sesuai dengan pola kewenangannya.
Langkah dan upaya reformasi hukum di Indonesia bisa dikatakan membuahkan hasil, hal ini ditunjukkan dengan diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2021 yang mengubah Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 dimana Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) merupakan direktorat baru di lingkungan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Sebuah langkah maju yang dapat diacungkan jempol dalam mereformasi hukum dalam mewujudkan asas persamaan di muka hukum dalam sistem peradilan di Indonesia.
Pengaruh orde baru yang mana menempatkan militer sebagai warga negara “khusus” serta penolakan terhadap konsep supremasi sipil sehingga membuat supremasi militer lah yang tetap dipertahankan dalam menjalankan proses peradilan militer bagi prajurit TNI.
Bias hukum terkait asas equality before of the law masih memiliki dampak bahwa hukum itu memiliki kecenderungan untuk membeda-bedakan antara individu satu dengan yang lainnya. Padahal hukum itu bersifat mengikat dan memaksa tanpa membeda-bedakan siapapun juga.
Selama ini kita melihat bahwa dalam pelaksanaan sistem peradilan militer baik dari tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan dan eksekusinya berbeda dengan peradilan umum, tidak hanya secara teknis melainkan juga aparat penegak hukum yang ikut dalam proses penyelesaian perkara di lingkungan peradilan militer.
Dengan Ankum, Polisi Militer dan Oditur sebagai penyidik serta Oditur sebagai penuntut, dan hakim yang ditunjuk sebagai hakim militer merupakan ciri khas tersendiri dan khusus yang ada dalam peradilan militer dalam mengadili prajurit TNI.
Dalam hal kewenangan sebagai Penuntut Umum Tertinggi yang berada pada Jaksa Agung sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Kejaksaan namun dalam hal ini Jaksa Agung terbatas pada pengawasan saja, meskipun secara organisatoris Oditur Jenderal melalui Panglima bertanggung jawab kepada Jaksa Agung dalam melaksanakan tugas di bidang teknis penuntutan.
Upaya reformasi dalam sistem peradilan militer melalui perubahan wewenang berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer termasuk juga dalam hal kewenangan penuntutan terhadap tindak pidana umum, HAM dan korupsi yang dilakukan oleh prajurit TNI agar dapat dilakukan langsung oleh Jaksa Agung selaku pengendali tertinggi penuntutan di dalam sistem hukum Indonesia dapat dikatakan sebagai langkah awal dengan dibentuknya Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) di lingkungan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Hal ini sebagai upaya menyelaraskan asas dominus litis bahwa kejaksaan sebagai penuntut umum dan mengingatkan kembali amanah undang-undang yang masih belum bisa terlaksanakan secara konkret dan komprehensif sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang menyatakan bahwa Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran pidana umum. Sehingga dengan dibentuknya Jaksa Agung Muda Pidana Militer dapat membawa angin segar dalam upaya reformasi hukum di Indonesia menuju asas equality before of the law.
Baca juga : Ketika Cover Note Menyeret Notaris ???
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.