Banten, Journalarta.com – Membayangkan Ibu Kota Negara Indonesia pindah ke Provinsi Kalimantan Timur, mungkin kelak bisa jadi penakar dari kemacetan di Jakarta, seberapa besar pengaruhnya pegawai pemerintah pusat dan instansi lainnya yang ikut membuat keruetan di jalan raya hingga setiap hari kusut, terjadi kemacetan atau lancar mengular, sehingga waktu tempuh Cawang – Blok M bisa menghabiskan waktu tempuh sampai 4 Jam, lamanya.
Tentu saja kehadiran Ibu Kota Negara di Provinsi Kalimantan Timur itu nanti tidak akan menggusur provinsi yang sudah ada, karena ketetapan pilihan sudah diputuskan akan dibuat provinsi khusus, seperti dipersiapkannya badan otorita yang bakal menaunginya nanti.
Kawanku yang baru saja diangkat menjadi pegawai sebuah departeman di Jakarta Selatan mengaku sudah mulai ikut berkemas, — mempersiapkan diri — setidaknya telah mengurungkan akad kredit kendaraan roda empat, yang semula dia maksudkan agar bisa sedikit memiliki gengsi atau semacam perbawa supaya tidak terlalu dipandang rendah oleh rekan dan sejawat maupun tetangga kiri dan kanan yang ada. Jadi ketetapan pun sudah dia putuskan untuk sementara waktu tetap menggunakan kendaraan warisan dari orang tuanya yang sejak pensiun beberapa tahun silam lebih doyan berkebun di rumah.
Bayangkan, baru seorang pegawai departemen yang sudah bersiap untuk ikut pindah, begitu panjang untaian ceriranya. Lalu bagaimana dengan seluruh pegawai dari departeman yang ada dengan jumlah karyawannya yang bejibun jumlahnya itu ?
Lantas bagaima dengan sejumlah instansi atau lembaga tinggi negara lainnya yang juga tak kalah membludak jumlah karyawannya itu ? Termasuk pegawai berjenis kelamin perempuan ?
Sahabat di Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta saja pun berkabar dalam ketidak pastian yang bisa diperolehnya. “Kayaknya untuk memindahkan pusat kegiatan Kadubes AS perlu waktu cukup lama”, katanya. Bukan saja karena gedung yang baru saja dirampungkan pembangunannya itu sayang untuk ditinggalkan, tapi pilihan strategis mungkin untuk sementara waktu yang cukup lama pusat kegiatan tetap akan lebih dominan dikendalikan dari Jakarta”, kata kawan itu seraya menerangkan bahwa istimasinya itu juga sekedar kesimpulan sepihak yang dia rangkum sendiri dari pembicaraan sekilas yang lebih bersifat spekulasi saja, untuk dia simpulkan begitu adanya.
Lebih tak jelas lagi adalah nasib pengurus pusat partai politik dan organisasi kemasyarakatan yang seyogyanya harus berada di Ibu Kota Negara. Agak lain cerita bagi perusahaan swasta misalnya yang justru lebih strategis tetap berada di Jakarta, tidak langsung ikut pindah ke Kalimantan Timur. Sebab transaksi dan kesepakatan dalam bentuk apapun justru akan lebih efektif dan efisien tetap dilakukan dari dan di Jakarta.
Ibarat pindah rumah, toh surat menyurat dan alamat hingga legalisasi domisili organisasi atau perusahaan, juga harus diubah bila harus ikut pindah. Jadi harus dan wajib melakukan registrasi ulang.
Boleh jadi Ibu Kota Negara Indonesia tetap juga ada bayang-batangnya di Jakarta, meski secara resmi Ibu Kota Negara Indonesia suďah dipindah ke Provinsi Nusantara, di Kalimantan Timur.
Jika begitu adanya, mungkin saja Jakarta tak lagi abdol disebut kejamnya seperti ibu tiri. Sebab sudah ada ibu muda yang baru kelak akan berjuluk Provinsi (?) Nusantara, seperti hendak mengimplementasikan gagasan besar Maha Patih Gajah Mada pada eea kejayaan Majapahit dahulu itu.
Kendati ada kesan tak baik, kurang elok atau bahkan adanya pemaksaan untuk merancang, memindahkan dan membangun Ibu Kota Negara Indonesia yang baru itu memang sebaiknya rakyat tak usah ambil perduli, toh pemerintah sendiri lebih suka mengurus kepebtingan dirinya sendiri, ketimbang mengurusi raktàt.
Sebab ada kesan keengganan dari pemerintah yang harus dan wajib untuk mengurus rakyat itu, tidak pernah bisa dirasa oleh rakyat, karena memang pemerintah sendiri sudah lebih sibuk untuk sekedar fokus mengurus dirinya, seperti yang relatif dominan dilakukan oleh aparatur negara kita yang terus tak henti terlibat atau bahkan menjadi aktor utama yang melakukan tindak korupsi yang sangat tidak bermoral itu. Lantaran budaya korupsi di Indonesia telah menjadi semacam kompetisi yang legal untuk diperdingkan atau bersaing agar terkesan paling hebat bisa ngembat duit rakyat.
Masing-masing maling itu justru lebih dominan dilakukan oleh mereka yang paling bertanggung jawab untuk mencegah tindak pidana korupsi. Persis seperti aparat yang justru tetlibat dalam petedaran narkoba atau barang gelap laonnya di negeri ini.
Korupsi yang dilakukan secara berjemaah pun telah menjadi fenomena budaya seperti kelicikan mereka untuk berkelit dari pihak aparat pengintai, bisa diajak kompromi dengan cara berbagi atau seperti bisa hidup enak dan nyaman meski sudah berada di lembaga pemasyarakatan, karena sifatnya bukan lagi ganjaran hukuman.
Di desa saudara saya, Wahyono di Wonosobo ada juga yang namanya bedol desa, karena hampir semua penduduk setempat melakukan pindah ke desa lain dengan cara besar-besaran. Namun saya tak paham apakah kepindahan Ibu Kota Negara Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur itu bisa juga disebut bedol kota.
Lha, bayangkan saja bila sejumlan instansi dan lembaga pemerintah pusat berikut lembaga tinggi negara yang ada disekeliling Taman Monas Jakarta itu nanti diboyong ke Kalimabtan Timur, bisalah segera dibayangkan betapa banyak bangunan gedung itu yang bisa kosong melompong menjadi semacam seperti cagar budaya yang tak pernah pandai untuk dapat dimanfaatkan kegunaannya demi dab untuk kemaslahatan orang banyak.
Bisa saja Jakarta menjadi suwung, kara Mas Wowok asal Solo itu, sehingga arus migrasi atau lebih tepatnya urbanisasi model baru karena ikut tergerus arus perpindahan dengan sangar besar-besaran gelombangnya, meski tetap saja tak mengurangi kepengapan kota Jakarta dan sekitarnya yang terlancur disukai oleh banyak orang pendatang, hingga menenggelamkan masyarakat setempat.
Kayaknya begitu juga kelak IKN Nusantara di Kalimantan Timur itu nanti, akan menenggelamkan identitas budaya mayarakat setempat menjadi tak berkutik. Semua ikut jadi masyarakat posmo-politan yang membentuk budaya lnta sendiri entah seoerti apa adanya nanti. Apalagi kepindahan IKN itu nanti, harus diikuti juga oleh RRI dan TVRI serta Indosat hingga kantor Berita Antara dan PWI Pusat.
Boleh jadi dari suasana yang sekonyong-konyong suwung itu, bisa menjadi peluang yang lebih menguntungkan bagi pengurus LSM atau Ormas memperoleh nilai sewa dari sejumlah gedung pemerintah yang ditinggal itu nanti dengan nilai sewa yang lebih murah dibanding gedung lain yang bernilai selangit tarif dari kontraknya itu.
Andai-andai ini jadi terkesan serius lantaran informasi sejak awal wacana pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia dikira cuma sekedar main-main pula. Toh, RUU tentang IKN itu setelah rampung dan disahkan, tetap tidak cukup informasi yang bisa diperoleh secara lengkap dan mudah. Apalagi berkenan diajak berembuk, kusasnya untuk meminta pendapat publik termasuk saran bagi yang setuju atau terpaksa menyetujui saja, karena untuk membangun IKN itu terkesan sudah terlanjur kebelet. Sehingga mustahil untuk ditunda, apalagi hendak dibatalkan.
Coba saja kita lihat nanti, suasana protes mungkin akan menjadi gelombang yang besar, mengingat yang kecewa dan tidak setuju justru terbungkam belum belum bisa diungkapkan kerena memang peluang untuk itu dipagari dengan sangat ketat. Yang, terjadi sekarang, tiba-tiba semua sudah teejadi, semua seperti menjadi-jaďi tanpa bisa dikenalikan oleh siapapun kecuali bagi mereka yang ambusi melaksanakannya tanpa pernah mau mendengar pendapat dan saean maupun usulan dari rakyat yang mereka wakili amanah dan aspirasinya.
Sebab seyogyanya, pemerintah itu mengurus kepentingan serta mendengar apa yang diinginkan rakyat. Bukan kemauan dan keibginannya sendiri. Sebab tiang pancang pembangunan IKN Nusantara itu sudah dimulai dan namanya pun — meski belum terwujud — sudah diberi lebel Nusanrara di tanah gambut yang berlumpur itu.
Konon semua kinstruksi bangunan teknik model panggung itu digunakan agar tidak sampai amblas tenggelam ditelan bumi. Jadi teknik konstruksi gaya cakar ayam yang menjadi penyangga bangunan diatasnya, relatif sulit juga untuk ditilep daba proyeknya, kecuali di mark-up dengan nilai yang berlipat ganda tarifnya.
Konon nikai proyek untuk membangun IKN Indonesia di Kalimantan Timur itu nyaris berjumlah 500 triliun rupiah. Jumlah sebesar itu hanya untuk proyek bangunan yang vital saja. Selebihnya dapat saja diselipkan kenjadi sub proyek dibiayai dari sumbet dana tang dikeruk dari sumber lain. Tapi yang jelas, duit akan berhamburan di proyek prestisius yang akan menjadi monumen abadi yang menandai kekuasaan suatu rezim di negeri ini.
Mungkin tidak ajan menjadi masalah disebut Ibu Kota Negara Indonesia Nusanta atau IKN Nusantara Indonesia, toh suka-suka siapa saja yang juga punya selera sendiri-sendiri. Sebab terkadang untuk banyak hal pun, perlu juga dilakukan dengan cara coba-coba dan suka-suka.
Banten Timur, 23 Januari 2022
Penulis : Jacob Ereste
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.