OPINI

Intoleransi Politik

Oleh : AHMADI SOFYAN.                      (Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya)

 

 

Bangka Belitung, Journalarta.com – INTOLERANSI politik diawali dengan dukungan berlebihan pada seseorang dan kebencian berlebihan kepada calon lain.

SIKAP intoleransi, kurang bisa menerima perbedaan dan memaksakan kehendak kepada orang lain bahkan menganggap orang lain selalu salah dan dirinya selalu benar, adalah sikap intoleransi yang semakin nampak ketika menjelang Pilpres atau Pilkada seperti sekarang ini. Itulah yang saya sebut dengan “Intoleransi Politik” yang selalu saja ada dan mengundang perpecahan anak negeri.

Perilaku intoleransi politik diawali dengan dukungan berlebihan pada seseorang dan kebencian berlebihan kepada calon lain yang tidak didukung, dan dukungan berlebihan itu semisal setiap saat diberbagai group WhatsApp (WA) menyebarkan tentang keburukan calon yang tidak didukung.

Komentar mencaci maki, seakan-akan calon yang tidak didukung adalah orang yang harus dilenyapkan di muka bumi, sedangkan calon yang didukung adalah kehebatan abadi. Calon yang tidak didukung dianggap Iblis sedangkan calon yang didukung dianggap Imam Mahdi, Malaikat, Ratu Adil atau Sinterklas.

Inilah sikap intoleransi politik yang banyak kita temui dalam pergaulan sehari-hari baik di dunia nyata terlebih lagi dunia maya. Bahkan, sama-sama kita saksikan, betapa calon-calon yang tidak didukung begitu mudah dihujat, dicaci maki, dihina, dibully, dianggap bodoh dan sebagainya, padahal kita tahu yang menghujat dan mencaci maki jauh lebih bodoh dari calon tersebut.

Sering terjadi, kadangkala kita suka atau sreg dengan calon yang didukung, namun karena cara pendukungnya terlalu menjijikkan, akhirnya kita menjadi tidak sreg. Begitu seringkali saya dengar komentar kawan-kawan.

Perilku “intoleransi politik” inilah yang membuat negeri kita selalu “gaduh” yang berujung pada “kisruh politik”. Kita selalu saja berbicara “who” (siapa) bukan “what” (apa). Kita selalu saja bicara orang, bahkan mengkultus individukan seseorang secara berlebihan sehingga mengecilkan sikap dan perilaku toleransi dalam berbangsa dan bernegara. Perilaku seperti ini pada kelanjutannya adalah “intoleransi pada pemerintah” (apa pun yang dilakukan Pemerintah adalah salah).

Selanjutnya karena tumbuh “frustasi sosial dan politik” dalam diri orang seperti itu yang berakibat pada sikap dan perilaku “intoleransi pada negara”. munculnya kelompok intoleransi bahkan terorisme seringkali dimulai dari 3 gaya beruntun ini, yakni diawali “intoleransi politik”, lalu “intoleransi pada pemerintah” dan yang terakhir adalah “intoleransi pada negara”.

Pendidikan Toleransi
SALAH satu untuk mencapai tingkatan menjadi manusia adalah toleransi dalam perbedaan. Sebab hewan dan beberapa mahluk Tuhan lainnya tidak mencapai pada tingkatan ini. Misalnya binatang, dia hanya berkumpul dengan sejenisnya. Kambing dengan kambing, singa berkumpul dengan singa, pun demikian dengan makhluk halus.

Sedangkan manusia, ia bisa bertoleransi dengan siapapun bahkan hidup bersama dalam keragaman. Jika manusia mampu mencapai ini, maka ia baru pada mencapai tingkatan manusia sebelum masuk pada tingkatan-tingkatan selanjutnya.

Oleh karenanya, untuk mengokohkan kebersamaan dalam perbedaan, maka menurut saya yang pertama diperjelas adalah mamahami perbedaan. Mendidik generasi muda dengan menjelaskan tentang dunia yang tidak akan pernah sama (pasti berbeda) bagian dari keunikan, anugerah dan kekayaan dan kekuasaan Tuhan serta pendidikan dari Tuhan agar kita manusia menjadi cerdas.

Dalam Islam misalnya, ayat pertama kali turun berbunyi “Iqra’” (bacalah), yang menunjukkan betapa kecerdasan dan kedewasaan kita dalam membaca alam yang penuh perbedaan namun saling menguatkan satu sama lain sangatlah penting untuk sebuah keberlangsung hidup yang rahmatan lil alamiin.

Pendidikan toleransi sejak dini adalah bukan dengan menunjukkan keseragaman kepada anak-anak kita, justru sebaliknya adalah perbedaan, namun bisa disatukan dalam kebersamaan (harmoni dalam warna warni).

Sebagaimana alat musik yang berbeda nama dan fungsi serta bunyi, namun bisa menghasilkan nada yang sangat indah.

Sebagaimana bangunan bisa kokoh dan menarik, karena menyatunya bahan-bahan bangunan yang berbeda. Pun demikian kita hidup di dunia, bergaul, berrumah tangga, beragama, berbangsa dan bernegara. Jangan melulu mencari persamaan, tapi bagaimana menyatukan perbedaan untuk saling menguatkan sebagaimana bangunan. Tidaklah menarik dan mengundang keindahan kalau hanya mencari persamaan lantas menyatukan. Tapi yang paling cerdas dan membuahkan keindahan itu adalah merangkul perbedaan untuk merajut kebersamaan guna menyatukan kekuatan mencapai apa yang disebut dengan cita-cita kebaikan (kebermanfaatan).

Anak-anak negeri sejak dini harus dididik bertoleransi dalam berbagai perbedaan dan memastikan kepada mereka bahwa perbedaan itu akan selalu ada di muka bumi sampai kiamat. Orangtua dan Guru memiliki peran penting dalam pendidikan cerdas bertoleransi kepada anak-anak. Sebab peran pendidikan keduanya akan kuat melekat pada anak-anak kala mereka dewasa.

Pertanyaannya adalah bagaimana guru dan orangtua hari ini memandang perbedaan dan bagaimana perilaku toleransi mereka dalam kehidupan sehari-hari? disinilah peran pemerintah dan lembaga pendidikan serta lembaga-lembaga negara untuk dapat menyiapkan konsep yang lebih baik dan mengena pada seluruh elemen masyarakat.

Jangan sampai ada yang merasa dipantau, dicurigai, diintimidasi, diarah-arahkan sesuai pesanan dan sebagainya. disinilah perlu kecerdasan lagi serta pemahaman budaya, sejarah dan local wisdom dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Sebab keragaman budaya tiap daerah di Indonesia ini sesungguhnya adalah modal besar dalam mengarahkan masyarakat menuju kedewasaan dalam bertoleransi. Sayangnya, itu tidak dipahami oleh banyak pihak dalam bersosialisasi tentang intoleransi.

Akhirnya berbisik kepada orang tuli dan menari didepan orang buta. Arahan, sosialisasi dan pidato hanya sampai kuping (masuk kuping kanan, keluar kuping kiri, kadang malah nggak masuk kuping), tidak melekat ke hati sebab bukan dari hati.

Tidak menjadi budaya, sebab nilai-nilai budaya (local wisdom) tidak pernah dimasukin. Padahal seringkali saya utarakan dalam berbagai kesempatan, bahwa lem perekat Indonesia adalah budaya. Ruh dari Bhennika Tunggal Ika itu adalah keragaman budaya anak bangsa (Indonesia).
So, siapapun Capres/Cawapres-nya, terlebih yang terpilih nantinya, haruslah paham keragaman budaya untuk menyatukan yang berbeda dan memiliki konsep bagaimana mengembalikan “keceriaan dan kebahagiaan” anak bangsa dalam keragaman yang indah ini. Oya, jangan gila-gilaan mendukung Capres/Cawapres, sebab kalau gila beneran dan benar-benar gila, pengobatannya tidak ditanggung BPJS. Nah, lho?!

Salam Budaya!(*)


Eksplorasi konten lain dari JournalArta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

What's your reaction?

Related Posts

Tinggalkan Komentar