DAERAHJOURNAL-XNEWS

Dugaan Korupsi dan Kriminalitas Lingkungan: Merajut Nama-nama Dalam Kasus SHP PT Timah Tbk

BANGKA BELITUNG, JOURNALARTA.COM – Pada edisi kali ini, jejaring media ini akan melanjutkan ulasan artikel mengenai dugaan skandal program SHP PT Timah Tbk pada rentang tahun 2018-2019.

Artikel ini merupakan kelanjutan berita berjudul: “Bagian Pertama: Nyanyian Orang Dalam Kupas Modus SHP PT Timah Tbk, dan Sebut Banyak Nama“, yang rilis edisi 5 Februari 2024 di Metro7.co.id.

Informasi yang diulas dalam artikel ini sepenuhnya bersumber dari pihak internal PT Timah Tbk yang identitasnya dirahasiakan.

Sebagai perimbangan pemberitaan (cover both side), media Metro7 tetap berupaya menghubungi pihak yang namanya disebut oleh narasumber untuk memberikan hak jawab atau hak koreksi.

Media Metro7 pun sudah menghubungi Kepala Bidang (Kabid) Humas PT Timah Tbk, Anggi Siahaan, Senin (19/2) siang, guna meminta keterangan lebih lanjut sebagai upaya verifikasi informasi.

“Terima kasih infonya, ya, om,” ujar Anggi membalas singkat.

Selain Anggi, Metro7 lalu menghubungi Direktur Utama (Dirut) PT Timah Tbk, Dani Virsal, untuk memverifikasi hal yang sama, namun tidak ada jawaban.

Edisi kali ini, narasumber selanjutnya atau disingkat narsum menceritakan sepak terjang AA saat masih menjabat Direktur Operasi dan Produksi PT Timah Tbk yang disinyalir kuat mengetahui dugaan penyimpangan program SHP di tubuh perusahaan.

Padahal, pejabat selevel Kepala Bidang (Kabid) saat itu pernah menyampaikan hal kejanggalan program SHP kepada AA.

Namun, alih-alih melakukan evaluasi, AA justru meminta program SHP tetap dilanjutkan.

“Enggak apa-apa. Udah kerjakan saja,” ucap narsum, saat diwawancara Jumat (2/2) pekan lalu, di Sungailiat, Kabupaten Bangka.

Lebih jauh, AA diduga sampai mengintervensi Satuan Pengamanan Internal (SPI) PT Timah Tbk.

“SPI karena intervensi dari AA jadi melempem. Nyata itu. Jika ada orang SPI level pejabat sentil SHP dibuang habis sama AA,” keluh narsum.

Akibatnya, banyak karyawan yang enggan bicara soal program SHP lantaran takut dimutasi.

Kalau pun ada yang membangkang, maka harus menanggung resiko dimutasikan ke luar Bangka, seperti Kundur, Belitung, hingga Nigeria, kata narsum.

Imbas dari dugaan intervensi tersebut akhirnya membuat SPI yang dahulu dikenal paling tegas menindak karyawan bermasalah, kini hilang marwahnya.

“Semenjak itu runtuh lah sistem PT Timah ini,” sesalnya.

Sementara, menyangkut sosok H alias I sebagai Kepala UPDB PT Timah Tbk, diyakini narsum berandil besar dalam dugaan skandal tersebut.

“Kalau kepala unit darat, pak H alias I, 1000% bermain. Jadi dia diangkat jadi kepala unit untuk program SHP oleh AA,” ungkap narsum.

Pada rentang tahun 2018 hingga 2019, H diduga bersekongkol dengan mitra perusahaan, yaitu CV SU.

Terindikasi ada sosok Direktur Keuangan PT Timah Tbk inisial EE, di belakang CV SU.

“Yang ngirim Toboali ribuan ton itu. Kirim barang 2000 ton ke UPDB. Tapi kadar tidak sesuai. Pas ngirim ke Mentok jatuh,” imbuhnya.

H lalu dimutasi Direktur Operasi dan Produksi PT Timah Tbk pengganti AA pada tahun 2020, dan saat ini kabarnya ditempatkan di anak usaha perusahaan, yakni PT TIM.

Mengulik soal peran H, disinyalir hampir semua wasprod di bawah komando H ikut bermufakat bersamanya.

Tersebut lah inisial AT selaku Wasprod Bangka Tengah, dan ES selaku Wasprod Bangka Selatan yang sudah diberhentikan dari PT Timah Tbk.

Mengenai dugaan keterlibatan H dan EE dengan CV SU, turut pula dikonfirmasikan oleh narsum lain yang berhasil diwawancara Metro7. Sebut saja narsum II.

Lebih rinci narsum II menjelaskan, Direktur CV SU dipegang oleh seorang mantan wartawan inisial T.

T disinyalir memasok bijih timah dari para mitra guna mencari biaya koordinasi untuk APH.

“Konon alasannya karena ada biaya koordinasi dengan pihak APH di wilayah Wasprod Bangka Selatan,” cetusnya.

Lewat CV SU ini, T diceritakan mengkoordinir pihak non-mitra yang ingin menitipkan bijih timah untuk masuk ke perusahaan.

Dikatakan, CV SU memasok bijih timah ke GBT Wasprod Bangka Selatan.

Lebih lanjut dia menjelaskan, bahwa mulai dari Kepala UPDB, wasprod, dan Kepala Gudang Bijih Timah (GBT) di wilayah Bangka Selatan maupun Bangka Tengah, dijadikan perpanjangan tangan untuk penerimaan bijih timah periode 2018-2019.

Bijih timah yang tak lolos kadar lebur disinyalir diterima oleh pihak gudang di Toboali dengan taksasi mikroskop dari pejabat gudang inisial D, agar sesuai kadar yang diinginkan.

Kemudian bijih timah yang dikirim ke Muntok langsung dilakukan peleburan, dan dicampur dengan bijih timah kadar tinggi.

Operasi tersebut diduga libatkan banyak pihak, mulai dari Kepala UPDB, wasprod, dan Kepala GBT Toboali, atas perintah direktur keuangan EE, yang kabarnya diketahui pula oleh AA dan Dirut PT Timah Tbk masa itu, yakni RPT.

“Sampai ke pihak gudang material Muntok, dan peleburan Pusmet Muntok pun ikut andil dalam menjalankan modus ini,” ungkap narsum II, Senin (12/2) lalu.

AA dan direksi lainnya, dikatakan mengetahui adanya afiliasi dengan mitra perusahaan yang tidak memiliki SPK tersebut, untuk mengangkut bijih timah ke Bangka Selatan.

“Barang itu beli langsung kompensasinya, high grade. Tapi ternyata ada sekitar 600 ton ore low grade di gudang beras Toboali. Itu lah yang jadi masalah,” papar narsum II.

Akibat yang ditimbulkan, perusahaan diperkira merugi hampir 60 miliar rupiah dengan asumsi harga bijih timah kering sebesar Rp190.000 per kilogram berkadar Sn 70%.

Adapun modusnya, kadar rendah timah primer dari daerah Pengarem dicampur sebagai anak timah halus dengan timah kadar tinggi aluvial, dan ditaksasi di GBT/PPBT Toboali, yang lalu dikirim ke gudang material produksi Unmet Muntok.

Timah itu kemudian dinyatakan siap lebur, yang padahal kadar Sn pun belum siap untuk diolah, dan mesti dilakukan pengolahan mineral timah ke bidang pengolahan mineral atau wasre di Muntok.

Dalam hal ini, diduga adanya kerja sama antara Wasprod Bangka Selatan melalui Kepala GBT dengan orang dalam GMP Unmet Muntok.

“Ini jelas menyebabkan recovery pelogaman semakin rendah. Namun semua diduga di-back up manajemen atas,” imbuhnya.

Dijelaskan, SHP adalah produk pam-aset yang didasari SK Direksi No. 030/Tahun 2018, yang ditandatangani oleh Direktur Utama (Dirut) PT Timah Tbk, RPT.

SHP kadar radah ialah hasil penambangan dan pelimbangan tradisional yang kerja di Wilayah IUP perusahaan tanpa disertai SPK tambang, baik di lokasi laut maupun darat.

Bahkan, program SHP masih berlanjut sampai akhir tahun 2023 dengan dibalut SPK pam-aset pengangkutan SHP.

“Ada SPK pengangkutan di laut Matras, Belinyu, dan Toboali dengan pihak ketiga. Contoh di DU 1548 ada CV A, CV SMS, CV PB. Di laut Matras ada CV ABP, CV JM, dan di Bangka Selatan CV BEB,” papar narsum II.

PT Timah Tbk pun, ujar dia, berkontrak kerja sama dengan PT Inti Zirkon Sejahtera dan PT Bersahaja untuk proses upgrading timah kadar rendah untuk siap lebur, sekaligus memisahkan timah dan mineral ikutan seperti elminit, zirkon, dan monasit menggunakan SPK pengolahan.

Sementara untuk UPLB, sejak adanya pergantian jabatan kepala unit produksi dari ES ke AS pada Januari 2019, AS pun langsung ambil langkah menghentikan program SHP.

Sebagai informasi, untuk program SHP secara perorangan dihentikan di bulan Desember 2018, sedangkan untuk kemitraan berbadan usaha terhenti di tahun 2019.

AS kala itu mengumpulkan semua karyawan UPLB, antara bulan Februari atau Maret 2019.

Dalam arahannya, AS diceritakan marah besar hingga memaki karyawan yang terlibat program SHP.

“Dicaci maki AS semuanya. Kalian berengsek,” kata narsum mengingat ucapan AS kala itu yang sangat kesal.

Bukan tanpa sebab AS marah besar. Karena UPLB merupakan unit produksi yang dianggap paling bobrok. Hanya menerima di kantor Batu Rusa, tapi menguras anggaran hampir 1 triliun rupiah, tepatnya 980 miliar rupiah lebih, dalam kurun waktu Mei hingga Desember 2018.

“Cuma masih ada pembayaran bulan Januari dan Februari untuk tahun 2019, karena masih ada kerjaan yang belum dibayar,” paparnya yang menambahkan bahwa pasokan bijih timah untuk program SHP pun tak hanya diserap dari wilayah konsensi perusahaan saja, melainkan dari luar IUP.

Tak hanya UPDB dan UPLB, Ketua Umum Ikatan Karyawan Timah (IKT), FT, pun tak luput disebut memiliki peran tersendiri, dikarenakan posisinya yang sebagai kepala akuntansi keuangan kantor pusat.

“Enggak benar SHP ini, tapi mereka bela. Siapa yang menentang dipindahkan,” kata narsum.

FT diduga terlibat untuk tahun 2019 dengan mendapatkan jatah fee Rp300 per kilogram dari mitra yang memasok bijih timah ke perusahaan.

Modusnya, kata narsum, bila pembayaran bijih timah mitra ingin cepat direalisasikan, maka mitra tersebut harus menghadap FT.

Bagi mitra yang tidak menghadap FT, proses pembayaran bakal tersendat 3 sampai 6 bulan.

Informasi tersebut narsum dengar langsung dari mitra perusahaan kenalannya yang merupakan kolega FT.

“Tenang bang, CV kami cepat. Ternyata sewaktu dia menghadap, enggak lama cair. Saya tanya bagaimana caranya, dan dibilang ada untuk di sana Rp300 per kilogram,” kisahnya.

Terkait pengungkapan dugaan skandal program SHP yang saat ini masih bergulir di Kejaksaan, narsum berharap manajemen PT Timah Tbk bersikap kooperatif dengan APH.

Hal ini, pintanya, sebagai awal mula terbukanya pintu keadilan untuk karyawan PT Timah Tbk lainnya yang selama ini terkena imbas dari prahara SHP.

Ia juga meminta manajemen PT Timah Tbk agar proaktif untuk memeriksa kembali program SHP tahun 2018, khususnya mekanisme pembelian langsung oleh karyawan yang ditunjuk sebagai juru bayar.

“Sekian ribu ton timah, barbar. Tidak ada badan usaha, cuma bermodal KTP. Manajemen tahu siapa. Jelas di SP-nya, kasih ke Kejati Babel. Ini apa, zalim perusahaan, pak,” tutup narsum mencurahkan keluh kesahnya.

Sebagai tambahan informasi, Kejaksaan Agung (Kejagung) RI kini telah menetapkan lima orang tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di Wilayah IUP PT Timah Tbk, tahun 2015 sampai 2022.

Salah satu pihak yang ditahan oleh Kejaksaan Agung tersebut ialah Direktur Utama PT Timah Tbk periode 2016-2021, M. Riza Pahlevi Tabrani.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan alat bukti yang ditemukan, Tim Penyidik Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung RI telah meningkatkan status lima orang saksi menjadi tersangka, yakni sebagai berikut:

a. SG alias AW selaku pengusaha tambang di Kota Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung.

b. MBG selaku pengusaha tambang di Kota Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung.

c, HT alias ASN selaku Direktur Utama CV VIP, yang merupakan perusahaan milik tersangka TN alias AN.

d. MRPT alias RZ selaku Direktur Utama PT Timah Tbk periode 2016-2021.

e. EE alias EML selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2017-2018.

“Untuk kepentingan penyidikan, tersangka MRPT, HT alias ASN, dan MBG dilakukan penahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Negara Kelas I Jakarta Pusat. Tersangka SG di Rutan Negara Salemba Cabang Kejagung, dan tersangka EE alias EML di Rutan Negara Salemba Cabang Kejari Jakarta Selatan selama 20 hari ke depan,” kata Ketut dalam siaran pers-nya, Jumat (16/2) lalu. (Penulis : Julian, Editor : Tim KBO Babel)


Eksplorasi konten lain dari JournalArta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

What's your reaction?

Related Posts

Tinggalkan Komentar