Alwin Akbar, Eks Dir Ops PT Timah Terlibat Dalam Skandal Korupsi Tata Niaga TimahÂ
JAKARTA, JOURNALARTA.COM – Gelombang penegakan hukum terus melanda sektor pertambangan, kali ini dengan menetapkan Alwin Akbar sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022.
Kejaksaan Agung (Kejagung) RI melalui Tim Penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) menunjukkan komitmennya untuk membersihkan sektor ini dari praktik korupsi yang merugikan negara, Jumat (8/3/2024).
Pada Kamis (7 Maret 2024) kemarin, Alwin Akbar resmi ditetapkan menjadi tersangka setelah Tim Penyidik menemukan cukup alat bukti terkait keterlibatannya dalam dugaan korupsi tersebut.
Alwin Akbar yang pernah menjabat sebagai Direktur Operasional PT Timah pada tahun 2017, 2018, 2021, serta Direktur Pengembangan Usaha pada tahun 2019 hingga 2020, kini harus menghadapi proses hukum yang semakin memanas.
Jumlah tersangka dalam kasus ini menjadi 14 orang, termasuk tersangka dalam perkara Obstruction of Justice.
Kasus ini membuka lembaran baru dalam rangkaian skandal yang melibatkan pejabat tinggi PT Timah. Alwin Akbar sebelumnya telah ditahan di Lapas Bukit Semut Sungailiat dalam kasus Tipikor Washing Plant yang diselidiki oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kepulauan Bangka Belitung.
Keterlibatan Alwin Akbar dalam kasus ini memunculkan sejumlah fakta yang menyorot praktik-praktik tidak etis dalam perusahaan tambang terkemuka di Indonesia.
Pada tahun 2018, saat Alwin Akbar menjabat sebagai Direktur Operasi PT Timah bersama-sama dengan Direktur Utama PT Timah, MRPT dan Direktur Keuangan, EE, mereka menyadari bahwa pasokan bijih timah yang dihasilkan oleh PT Timah lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan smelter swasta lainnya.
Situasi tersebut disebabkan oleh penambangan liar yang marak terjadi dalam wilayah IUP PT Timah. Namun yang mencengangkan, Alwin Akbar dan rekan-rekannya tidak melakukan penindakan terhadap kompetitor.
Sebaliknya, mereka justru menawarkan pemilik smelter untuk bekerja sama dengan membeli hasil penambangan ilegal dengan harga di atas standar yang ditetapkan oleh PT Timah tanpa melalui kajian terlebih dahulu.
Untuk mendukung aksinya mengakomodir penambangan ilegal, Alwin Akbar bersama dengan MRPT dan EE sepakat membuat perjanjian seolah-olah terdapat kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah dengan para smelter.
Praktik-praktik yang merugikan negara dan mencoreng nama baik PT Timah Tbk sebagai BUMN tersebut menghadapkan mereka pada Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Meskipun Alwin Akbar tidak dilakukan penahanan baru dalam kasus ini karena sudah ditahan dalam penyidikan perkara lain oleh Kejati Babel, tetapi status tersangka yang diberikan pada dirinya menunjukkan seriusnya pihak kejaksaan dalam mengungkap skandal korupsi di PT Timah.
Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI menyatakan, “Tersangka ALW tidak dilakukan penahanan karena yang bersangkutan sedang menjalani penahanan dalam penyidikan perkara lain yang tengah diproses oleh Kejaksaan Tinggi Kepulauan Bangka Belitung”.
Kejagung RI diharapkan dapat membawa kasus ini ke tahap pengadilan dengan integritas tinggi dan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.
Keberhasilan penegakan hukum dalam kasus ini akan menjadi pesan kuat bahwa tindak pidana korupsi, terlebih dalam sektor vital seperti pertambangan, tidak akan dibiarkan dan pelakunya akan mendapat sanksi yang setimpal.
Skandal ini juga mengingatkan seluruh pemangku kepentingan, baik di sektor publik maupun swasta, akan pentingnya menjaga transparansi, integritas, dan kepatuhan terhadap hukum dalam menjalankan aktivitas bisnisnya.
Hanya dengan prinsip-prinsip tersebut, Indonesia dapat memiliki sektor pertambangan yang bersih, adil, dan berkelanjutan untuk keberlanjutan pembangunan nasional. (Penulis : Gus Wedha, Editor : Dwi Frasetio)
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.