DaerahEkonomiNews

Kongres Rakyat Babel: Pembelaan Terhadap Nasib Penambang Timah di Bangka Belitung

PANGKALPINANG, JOURNALARTA.COM – Krisis pertimahan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) menjadi perhatian serius bagi para tokoh dan pemuda yang peduli akan nasib rakyat penambang.

Berangkat dari keprihatinan ini, mereka menggelar pertemuan di Bangka City Hotel, Kota Pangkalpinang pada Minggu (14/7/2024) untuk membahas masalah yang dihadapi oleh penambang dalam mencari penghidupan di sektor pertambangan.

Pertemuan tersebut bukanlah sekadar diskusi biasa, melainkan langkah awal menuju lahirnya Kongres Rakyat Babel, sebuah inisiatif yang bertujuan untuk membela hak-hak dan kesejahteraan penambang timah di Babel.

Dalam pertemuan tersebut, banyak sekali isu yang diangkat mulai dari operasional alat berat di tambang, penjualan timah ke kolektor, hingga penyelundupan timah. Tidak ketinggalan, penangkapan penampung dan penjual biji timah, serta berbagai persoalan hukum yang terus menghantui masyarakat penambang.

Sejarah panjang pertimahan di Bangka Belitung telah menunjukkan bahwa masalah ini selalu menjadi isu sensitif dan rawan memicu konflik. Pada tahun 2006, peristiwa yang dikenal sebagai Oktober Kelabu menjadi bukti nyata bahwa masalah pertimahan dapat memicu kerusuhan besar. Ribuan orang yang bergantung hidupnya pada tambang inkonvensional (TI) marah dan mengamuk karena hidup mereka terganggu oleh regulasi yang dianggap merugikan mereka.

Istilah Tambang Inkonvensional (TI) yang awalnya digunakan untuk penambangan rakyat berubah menjadi Tambang Ilegal, menjerat masyarakat penambang sebagai pelanggar hukum.

Puluhan usaha tambang rakyat ditutup oleh aparat, alat-alat tambang disita, dan belasan penambang ditahan.

Polisi juga menutup tiga usaha peleburan timah (smelter) yang menampung pasir timah rakyat. Peristiwa ini memperlihatkan betapa rentannya situasi ketika masyarakat merasa hak-haknya dilanggar dan hidupnya terancam.

Tahun 2024, sejarah seolah terulang kembali dengan permasalahan yang sama. Masyarakat penambang masih bisa bersabar dengan adanya peluang dari pemerintah pusat untuk menetapkan Juknis IPR, yang hingga kini masih ditunggu penerbitannya.

Namun, apabila ini hanyalah penantian panjang yang tiada akhir, bukan tidak mungkin sejarah kelam akan terulang kembali di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Pertambangan timah yang digarap masyarakat adalah tulang punggung industri timah di Bangka Belitung.

Setiap tahun, daerah ini menghasilkan ribuan ton timah, dengan sekitar satu juta orang terlibat dalam penambangan tradisional.

Namun, tambang yang masih dikelola dengan mengandalkan tenaga manusia ini dianggap liar dan ilegal sehingga terancam dipidana dengan dalih melanggar berbagai macam undang-undang.

Apik Chakib Rasjidi, tokoh sentral Bangka Belitung yang juga seorang pengusaha dan pelaku sejarah pertimahan di Babel, membuka pertemuan dengan kisah sejarah pertimahan di Bangka Belitung.

Ia menekankan bahwa masyarakat telah hidup dari hasil tambang timah selama ratusan tahun. Namun, berbagai regulasi dan undang-undang yang terus berubah dari tahun ke tahun selalu saja menjadikan rakyat penambang sebagai korban.

Perjuangan mendirikan smelter yang terganjal dengan aturan negara membuat mereka harus berhadapan dengan hukum.

Pada tahun 2006, mereka diperlakukan seperti kriminal kelas kakap oleh negara, padahal mereka hanya melakukan pekerjaan pertambangan sesuai SOP yang berlaku di negara ini dan telah berkontribusi besar bagi kelangsungan hidup tenaga kerja dan perekonomian di Babel.

Agus Adaw, tokoh pejuang terbentuknya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, mengibaratkan nasib rakyat penambang yang ingin menjual hasil tambang berupa pasir timah dengan kesedihan mendalam.

Ia menyamakan kondisi masyarakat Babel yang tidak hanya seperti anak ayam kehilangan induk, tetapi juga kehilangan semuanya tanpa ada yang mendukung atau membela kepentingan rakyat penambang.

Menurut Agus, pejabat yang duduk saat ini, baik Pj Gubernur maupun Bupati, tidak berbuat banyak untuk membela rakyat penambang.

Ismiryadi alias Dodot, Ketua Asosiasi Industri Timah Indonesia (AITI), menegaskan bahwa kondisi saat ini membuat masyarakat Babel terlihat baik-baik saja saat tidak memegang pasir timah.

Namun, begitu mereka memegang pasir timah, mereka langsung dianggap melanggar hukum dan ditangkap, bahkan dicap sebagai kriminal.

Dodot menambahkan bahwa seluruh data terkait masalah WPR dan IPR sudah dipelajari dengan seksama oleh AITI dan semuanya berpihak pada rakyat penambang.

Dodot berharap bahwa ekonomi masyarakat Bangka Belitung yang sedang merosot dapat menjadi titik tolak AITI untuk berbuat yang terbaik bagi masyarakat penambang dalam mekanisme pengelolaan sumber daya alam timah.

Ia menekankan pentingnya agar hasil sitaan dari kerugian negara senilai 300 triliun dapat dikembalikan kepada masyarakat Babel dalam bentuk kompensasi yang dapat membantu ekonomi masyarakat.

Menurutnya, semua peraturan dan undang-undang dibuat oleh manusia, dan apabila ada manfaat untuk diubah, maka perubahan tersebut akan menjadi pahala dalam kebaikan.

H. Muchtar Motong, yang biasa disapa Daeng Tare atau Haji Tare, salah satu tokoh Presidium Bangka Belitung, mendengarkan keluh kesah para pembela rakyat penambang dengan seksama.

Ia berjanji akan mengakomodir semua masukan setelah dilantik menjadi anggota dewan dan menekankan pentingnya persoalan rakyat penambang dalam menjalankan aktivitas menambang secara legal.

Masukan dari berbagai elemen masyarakat terkait persoalan kegiatan pertambangan timah di Bangka Belitung sangat beragam.

Budi Butoy, tokoh pemuda di wilayah Mesu, Kabupaten Bangka Tengah, menegaskan bahwa rakyat penambang bekerja mencari pasir timah di lahan sendiri, modal sendiri, dan bekerja sendiri, tetapi tetap di cap melanggar aturan undang-undang.

Dalam pertemuan tersebut juga hadir M. Wirtsa Firdaus, Ketua Himpunan Mahasiswa Magister Hukum Progresif (HIMMAPRO) Universitas Bangka Belitung (UBB), yang menjelaskan pentingnya perlindungan hukum bagi rakyat penambang.

Menurutnya, kondisi pertambangan timah di Bangka Belitung tidak bisa disamakan dengan kondisi pertambangan di daerah lain. Oleh karena itu, petunjuk teknis pelaksanaan WPR dan IPR harus berbeda dan perlindungan hukum bagi penambang rakyat harus diatur dalam undang-undang.

Masyarakat penambang hanya berharap negara hadir di antara permasalahan ini. Konflik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Aparat Penegak Hukum, PT Timah, dan Rakyat Penambang dapat diselesaikan dengan baik.

Tujuan akhirnya adalah agar kepentingan masyarakat yang menggantungkan hidup dari penambangan timah tidak terkorbankan lagi.

Dengan inisiatif Kongres Rakyat Babel, diharapkan akan lahir sebuah gerakan yang kuat untuk membela hak-hak penambang dan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat Bangka Belitung.

Gerakan ini tidak hanya menjadi suara bagi penambang, tetapi juga menjadi upaya nyata dalam mengembalikan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat yang selama ini merasa terpinggirkan.

Kongres Rakyat Babel bertekad untuk terus mengawal dan memperjuangkan hak-hak penambang agar tidak lagi menjadi korban regulasi dan undang-undang yang tidak berpihak kepada mereka.

Seluruh peserta pertemuan sepakat bahwa perubahan harus dimulai sekarang. Dengan bersatu, masyarakat penambang timah di Bangka Belitung dapat menghadapi tantangan dan memperjuangkan hak-hak mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan sejahtera.

Kongres Rakyat Babel diharapkan menjadi langkah awal menuju perubahan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat Bangka Belitung. (Red/KBO Babel)


Eksplorasi konten lain dari Journalarta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Related Posts