Opini oleh : Armansyah, SS, SH (Ketua Umum BARETTA)
BANGKA BELITUNG, JOURNALARTA.Com – Sebagian masyarakat awam bertanya-tanya apa istilah ‘Kotak Kosong‘ dalam pilkada, tetapi bagi orang politik dan paham birokrasi pada dasarnya tidak dikenal dalam rezim pemilihan kepala daerah (Pilkada). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU Pilkada, menggunakan bahasa terminologi ‘kolom kosong‘.
Dalam ketentuan Pasal 54C ayat (2) UU Pilkada menyebutkan sebagai berikut, “Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar”.
Istilah kotak kosong adalah bahasa populer yang lazim digunakan oleh publik. Meski demikian, baik kotak kosong ataupun kolom kosong, memiliki esensi yang sama. Keduanya merujuk kepada pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon saja.
Jadi ketika melihat fenomena aksi borong partai yang membuka ruang kotak kosong, itu bukanlah hal yang mengherankan bagi partai politik. Sebab pada dasarnya, partai-partai politik sebagai pengusung calon, telah terkooptasi dan tersandera oleh kelompok-kelompok segelintir orang-orang oligarki ini yang mau berkuasa.
Proses kooptasi ini dipermudah oleh “keringnya ideologi” partai politik kita di Indonesia banyak partai-partai dijalankan hanya bersandar kepada kepentingan pragmatis, bukan dibangun atas dasar cita-cita perjuangan masyarakat (rechsidee).
Hal- hal seperti ini sebenarnya terkonfirmasi dengan ketiadaan dinamika ide dan gagasan dalam urusan calon mencalonkan dalam pilkada ini. Walhasil, kotak kosong ini hanya akan menjadi karpet merah bagi partai politik yang mempunyai kekuasaan bagi klan politik tertentu.
Pilkada pada akhirnya tidak akan memberikan rasa tidak keadilan masyarakat apa-apa lagi bagi kesadaran politik publik, sebab pilkada dengan kotak kosong, hanyalah pesta yang bersifat oligarki atas kekuasan berpolitik.
Dimana dalam ketentuan Pasal 54C ayat (1) UU Pilkada juncto Pasal 136 Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024, mengatur lima kondisi pelaksanaan pilkada dengan satu pasangan calon.
Pertama, hanya terdapat satu pasangan calon hingga masa penundaan dan perpanjangan pendaftaran berakhir dari calon tersebut.
Kedua, berdasarkan hasil penelitian hanya terdapat satu pasangan calon yang dinyatakan memenuhi syarat.
Ketiga, sejak penetapan pasangan calon sampai dengan saat dimulainya masa kampanye terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap.
Keempat, sejak dimulainya masa kampanye sampai dengan hari pemungutan suara terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap.
Dan kelima, terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta pemilihan yang mengakibatkan hanya terdapat satu pasangan calon.
Jika pasangan calon tunggal ini ditetapkan sebagai peserta pilkada, maka ia akan berhadapan dengan kotak kosong.(*)
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.