BANGKOK, JOURNALARTA.Com – Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel/SAF) semakin diakui sebagai solusi utama untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) dalam sektor penerbangan internasional. Bahan bakar tersebut berpotensi besar dalam mendukung pencapaian target pengurangan emisi global.
Dalam upaya tersebut, peran aktif semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, produsen bahan bakar, produsen pesawat, maskapai penerbangan, bandara, investor, dan lembaga keuangan sangat penting.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dida Gardera yang ikut berpartisipasi dalam acara “2024 ICAO APAC Regional Seminar on Environment” di Bangkok, Thailand, tanggal 7-8 Agustus 2024 lalu mempresentasikan materi berjudul “Indonesia’s Potential for Sustainable Aviation Fuel (SAF) Development”.
Dalam seminar yang diselenggarakan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) dan dihadiri berbagai perwakilan industri dan lembaga internasional, termasuk Civil Aviation Authority dari beberapa negara Asia Pasifik tersebut, poin utama yang disampaikan Dida Gardera dalam forum tersebut meliputi beberapa hal :
Pertama, mengenai pasar dan potensi Indonesia. Negara ini merupakan salah satu pasar industri penerbangan terbesar di dunia dengan 251 bandara yang ada dan 50 bandara baru dalam rencana. Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar global, Indonesia memproduksi 3,9 juta ton used cooking oil (UCO) pada 2023 dan berencana memproduksi 238 juta liter SAF per tahun pada 2026.
“Poin kedua adalah manfaat dan tantangan SAF. Bahan bakar itu dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan dianggap sebagai energi bersih. Namun, penggunaannya secara komersial masih menghadapi tantangan, seperti keterbatasan bahan baku, biaya tinggi, dan infrastruktur belum memadai,” jelas Deputi Dida dalam siaran persnya, dikutip Sabtu (24/8/2024).
Ketiga, mengenai uji coba SAF di Indonesia. Pengujian SAF telah dilakukan di Indonesia sejak 2020 dengan hasil uji coba yang berhasil termasuk co-process J2.4 dan uji terbang pada berbagai jenis pesawat. Uji terbang terbaru pada kuartal ketiga 2023 di Garuda Boeing 737-800 menunjukkan tidak adanya perbedaan kinerja dibandingkan bahan bakar fosil konvensional.
Keempat, tentang potensi Palm Kernel Expeller (PKE) atau bungkil sawit. Hal yang merupakan produk sampingan dari proses ekstraksi minyak kelapa sawit itu berpotensi diubah menjadi bioethanol yang dapat digunakan sebagai bahan baku SAF. Satu ton PKE dapat menghasilkan 250 liter bioethanol, dengan potensi PKE yang diperkirakan mencapai 6 juta ton per tahun. Indonesia sedang dalam proses mengusulkan PKE sebagai sumber bahan bakar SAF yang masuk dalam daftar CORSIA.
“Seminar ini menegaskan komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam pengembangan SAF dan pengurangan emisi global. Dengan langkah-langkah strategis yang diambil, diharapkan SAF akan memainkan peran penting dalam masa depan penerbangan yang lebih berkelanjutan,” tutup Dida.(*)
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.