Dikisahkan, sekitar 900 tahun yang lalu, terdapat sebuah kerajaan di Palembang, waktu itu diperintah oleh seorang Raja bernama Badaruddin. Suatu ketika kerajaan Palembang diserang oleh tentara Belanda.
“Seraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang”, teriak pemimpin pasukan Belanda.
Warga Palembang lari terbirit-birit menyelamatkan diri mereka sendiri dan keluarganya. Karena terdesak, banyak penduduk Palembang yang melarikan diri keluar Palembang, salah satunya sekelompok orang yang berasal dari keturunan sunan.
Mereka berjumlah sekitar empat puluh orang dipimpin oleh seseorang bernama Badrun.
Mereka melarikan diri lewat laut. Setelah berhari-hari berlayar, akhirnya mereka mendarat di pesisir pantai di sebuah pulau yang kosong tak berpenghuni, sekarang orang menyebutnya Pulau Bangka.
Mereka bersembunyi di hutan dekat pantai yang mereka beri nama Kuala Mapur. Untuk sementara waktu, mereka akan bersembunyi di pulau ini demi menghindari serangan dari Belanda.
“Cak mano kito ni, apo nek temalem di sini3”, tanya Mahfud.
“Nurut aku tempet ini cocok untuk njingok Belando kalu dio nak nyerang 4”, kata Badrun.
Tapi Mahfud tidak yakin bahwa tempat ini aman.
“Pecayo bae uji aku ni”, kata Badrun meyakinkan.
Badrun berhasil meyakinkan Mahfud dan teman-temannya yang lain bahwa pulau ini aman untuk ditempati. Mereka berencana untuk menetap di pulau ini dan tidak akan kembali lagi ke Palembang selama Belanda masih menjajah Palembang.
Keesokan harinya, Badrun mengajak teman-temannya mencari kayu untuk membangun pondok yang akan dijadikan tempat tinggal mereka.
Selain itu, Badrun mencari tanaman yang dapat dimakan untuk makan siang mereka. Karena saat ini hidup mereka bergantung dengan alam. Mereka membangun pondok sebanyak empat puluh bubung.
Mereka bekerja dengan giat agar bubung mereka cepat selesai, meskipun memakan waktu yang lama. Tak lupa juga mereka memasang mantra pelindung untuk melindungi tempat tinggal mereka agar tidak dimasuki oleh orang yang punya niat jahat.
“Kalu kito bersamo-samo pasti rumah kito cepet suda. Karno kito cuman membuat empat puluh rumah, jadi kampong ni cuman biso didiemi wong empat puluh” kata Badrun.
Setelah beberapa bulan mereka tinggal di Kuala Mapur, pulau tersebut mulai ramai dikunjungi pendatang dari berbagai daerah dan menetap di sekitar Kuala Mapur.
Suatu ketika Badrun sedang berjalan-jalan di pinggiran pantai Kuala Mapur dan ia bertemu dengan orang yang tak dikenalnya.
Paras mereka seperti orang Cina. Dan akhirnya mereka pun berkenalan. Ternyata orang tersebut bernama Pak Fulan bersama istrinya dan anaknya yang bernama Aling.
Mereka juga berasal dari Palembang, sama dengan Badrun. Mereka berencana untuk menetap di sekitar Kuala Mapur. Badrun senang bisa berkenalan dengan keluarga Pak Fulan. Berarti penduduk di pulau ini telah bertambah satu keluarga lagi, pikirnya.
Beberapa minggu berlalu, Badrun sedang berjalan-jalan di sekitar pantai, dari kejauhan ia melihat seorang gadis.
“Cantik nian paras gadis itu”, pikir Badrun.
Kemudian Badrun pun menghampiri gadis itu.
“Aling, apo kabar? Seneng aku ketemu samo kau”, kata Badrun.
“Badrun, kabar aku ni baek”, jawab Aling.
“Kejingok-annyo kau ni lagi bersedih, ado apo?” tanya Badrun.
“Aku ni rindu samo kampong halaman aku. Sayang aku idak pacak ke sano”, jawab Aling.
“Samo bae, aku jugo rindu samo kampong aku?” timpal Badrun.
Mereka asik berbincang-bincang membicarakan tentang kehidupan mereka masing-masing. Tak terasa hari mulai gelap, akhirnya Badrun dan Aling pulang ke rumah masing-masing.
Pertemuan ini pun tidak berhenti sampai disini saja. Bila ada kesempatan dan waktu luang mereka saling berkunjung, walaupun hanya sekedar menanyakan kabar.
Hingga pada suatu hari, Badrun dan Aling memutuskan untuk menikah.
Orang tua Aling menyetujui rencana mereka. Akhirnya ditetapkanlah hari pernikahan mereka.
Badrun dan Aling menikah dengan mas kawin satu kilogram kacang hijau dan gula untuk dihidangkan pada para tamu dan saksi. Para tamu yang datang pun harus berjumlah enam sampai tujuh orang, tidak boleh kurang atau lebih.
Sesepuh adat mulai melaksanakan pernikahan itu dan membaca, “Bokan Ko Ngawen Ente, Sunan dari Palembang Ngawen Ente”.
Berdasarkan adat kampung, bahwa kampung Kuala Mapur hanya boleh dihuni tidak lebih dari empat puluh bubung atau empat puluh orang.
Jadi Badrun dan Aling harus pergi meninggalkan kampung Kuala Mapur, mencari tempat tinggal baru. Tapi apabila ada warga Kuala Mapur yang meninggal dunia, maka mereka harus kembali tinggal dan menetap di kampung Kuala Mapur lagi.
Ternyata dewi keberuntungan berpihak pada Badrun dan Aling. Suatu hari ada yang meninggal dunia di kampung Kuala Mapur dan mereka pun harus kembali ke kampung halaman mereka dan mereka hidup bahagia di sana.
Badrun pun tak lupa menjalankan tugasnya untuk selalu menjaga tempat tinggal mereka dari serangan orang-orang jahat, agar kejadian beberapa bulan yang lalu tidak terulang lagi.
Sampai sekarang, kampung Kuala Mapur masih memiliki mantra pelindung.
Siapa yang ingin masuk ke kampung itu, mereka dapat bertanya pada penduduk di sekitar Kuala Mapur.
Bila kita mempunyai niat jahat, kita tidak akan menemukan tempat itu. Tapi apabila kita masuk ke sana dengan niat yang baik, kampung itu akan muncul dengan sendirinya di samping atau di belakang kita.
Meskipun warga kampung itu tidak mempunyai agama, tapi mereka memiliki ilmu tinggi sehingga mereka akan membantu siapapun yang meminta bantuan mereka, asal dengan niat baik.
——–tamat——–
Diketahui, Mapur adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Penulis Cerita : Tiara Larasati Triniati bertempat tinggal di Belinyu yang merupakan siswi SMA Negeri 1 Belinyu Tahun 2008.
Sumber : zonabangkabelitung.blogspot.com
Foto: zonabangkabelitung.blogspot.com
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.