OPINI

Wartawan Kritis atau Tendensius? Menakar Etika dan Integritas Dalam Pemberitaan

Opini Oleh : K. Revandi Antoni

 

 

BANGKA BELITUNG, JOURNALARTA.Com – Dalam dinamika pers yang bebas dan demokratis, wartawan memiliki peran penting sebagai pilar keempat demokrasi. Wartawan diharapkan menjadi jembatan antara fakta di lapangan dengan publik, memastikan informasi yang disampaikan benar, berimbang, dan adil.

Namun, belakangan ini, muncul banyak pertanyaan terkait apakah seseorang yang mengklaim dirinya wartawan kritis benar-benar berpegang teguh pada prinsip jurnalistik yang tepat, terutama terkait Cover Both Sides (Keberimbangan). Seberapa pantas seseorang menyandang predikat wartawan kritis ketika narasumber yang digunakannya tidak jelas atau meragukan?

 

Esensi ‘Cover Both Sides’ Dalam Kode Etik Jurnalistik

Prinsip dasar dalam jurnalistik adalah cover both sides, yaitu keharusan untuk memberikan ruang bagi semua pihak yang terlibat dalam suatu berita untuk mengemukakan pandangan atau klarifikasi.

Ini merupakan bagian penting dari Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang diatur oleh Dewan Pers. Pasal 3 KEJ menekankan bahwa berita harus berimbang, tidak memihak, dan selalu memberi kesempatan kepada pihak yang dirugikan untuk memberikan penjelasan.

Wartawan yang profesional wajib menyajikan informasi yang telah diverifikasi dari berbagai sumber, bukan sekadar berdasarkan narasumber yang tidak jelas atau informasi sepihak.

Namun, dalam banyak kasus, masih ada pemberitaan yang meskipun diklaim kritis, nyatanya tidak memenuhi standar ini. Narasumber yang digunakan sering kali tidak kredibel, atau bahkan anonim, yang membuat kualitas berita menjadi diragukan.

Pertanyaan yang harus diajukan:

Pantaskah menyebut diri wartawan kritis jika pemberitaan tersebut gagal memenuhi standar keberimbangan dan verifikasi yang ketat?

Wartawan kritis yang sesungguhnya adalah mereka yang mampu menjaga integritas pemberitaan mereka dengan melakukan verifikasi secara mendalam, memastikan bahwa setiap fakta yang diangkat didukung oleh data yang akurat dan narasumber yang kredibel.

Tanpa ini, berita tersebut lebih mirip opini sepihak atau bahkan propaganda daripada produk jurnalistik yang objektif.

 

Ketika Narasumber Tidak Jelas: Bahaya Kehilangan Kredibilitas

Salah satu aspek penting dalam jurnalistik adalah kejelasan dan kredibilitas narasumber. Narasumber yang tidak jelas atau anonim hanya dapat digunakan dalam kondisi tertentu yang sangat terbatas, misalnya dalam kasus di mana keamanan narasumber terancam.

Dalam kondisi normal, wartawan memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk menyajikan narasumber yang sah dan dapat dipercaya. Jika tidak, kredibilitas berita yang disampaikan akan hancur.

Menjadi wartawan kritis bukan berarti asal mengkritik tanpa dasar yang kuat. Kritik yang konstruktif adalah kritik yang didasarkan pada fakta yang terverifikasi dan narasumber yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kritik tanpa dasar tidak hanya merugikan kredibilitas wartawan itu sendiri, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap media secara keseluruhan. Dalam era di mana disinformasi begitu mudah menyebar, wartawan justru harus menjadi benteng terakhir yang menjaga kebenaran informasi.

Mereka yang menyebut diri wartawan kritis namun menggunakan narasumber yang tidak jelas atau gagal memenuhi prinsip cover both sides, pada dasarnya melanggar KEJ dan merendahkan profesi mereka sendiri.

Pemberitaan yang mereka hasilkan hanya akan memperkeruh suasana, memancing perdebatan yang tidak sehat, dan mungkin secara tidak adil menyerang pihak-pihak yang mereka beritakan.

 

Asas Praduga Tidak Bersalah: Fondasi Penting Bagi Wartawan

Selain cover both sides, asas praduga tidak bersalah merupakan prinsip penting dalam pemberitaan, terutama yang menyangkut dugaan pelanggaran hukum. Wartawan yang baik tidak boleh melakukan penghakiman terlebih dahulu, apalagi dalam kasus yang belum diputuskan oleh pengadilan.

Wartawan yang kritis harus bisa membedakan antara fakta, opini, dan dugaan. Pemberitaan yang memuat tuduhan terhadap seseorang tanpa memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk memberikan klarifikasi adalah pelanggaran serius terhadap KEJ.

Namun, ada beberapa wartawan yang justru mengabaikan prinsip ini dengan tujuan tertentu, misalnya untuk menjatuhkan seseorang secara politis atau menurunkan reputasi mereka. Mereka bersembunyi di balik label “Wartawan Kritis” padahal tindakannya lebih menyerupai pembunuhan karakter.

Jurnalisme yang sehat adalah jurnalisme yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, bukan sekadar alat untuk menyerang pihak tertentu dengan alasan-alasan yang tidak jelas.

Asas praduga tidak bersalah bukan sekadar jargon hukum, melainkan prinsip yang juga melindungi wartawan dari tuntutan hukum. Wartawan yang menuduh seseorang secara langsung tanpa bukti atau tanpa memberi ruang klarifikasi pada dasarnya membahayakan dirinya sendiri dan medianya.

Apalagi dalam iklim politik yang memanas, pemberitaan seperti ini bisa memicu konflik yang lebih besar dan merusak reputasi media sebagai institusi yang netral dan obyektif.

 

Wartawan Kritis: Pedoman atau Tendensi?

Salah satu ciri utama wartawan kritis yang sesungguhnya adalah bekerja dengan pedoman yang jelas, bukan tendensi atau tujuan tersembunyi. Mereka melaporkan fakta, bukan mengarahkan opini. Tuduhan bahwa wartawan kritis kerap diiringi dengan motif tendensius atau dibayar untuk memojokkan pihak tertentu sering kali tidak berdasar.

Namun, jika seorang wartawan gagal memenuhi prinsip-prinsip jurnalistik seperti cover both sides, verifikasi, dan asas praduga tidak bersalah, tuduhan semacam itu bisa menjadi masuk akal.

Wartawan kritis sejati tidak akan menggunakan medianya untuk tujuan pribadi atau untuk memaksakan opini bahwa seseorang telah bersalah sebelum proses hukum berjalan. Mereka paham betul bahwa kekuatan terbesar mereka ada pada kebenaran yang disajikan secara obyektif, bukan pada manipulasi opini publik.

Jurnalisme yang bertanggung jawab adalah jurnalisme yang berani mengkritik tetapi tetap menjaga integritas dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Apakah wartawan yang menggunakan narasumber tidak jelas dan gagal melakukan cover both sides pantas disebut wartawan kritis? Jawabannya jelas: Tidak!!!.

Wartawan yang benar-benar kritis adalah mereka yang bekerja berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik yang sudah diatur dalam Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers.

Mereka yang melaporkan fakta secara akurat, memberikan ruang bagi semua pihak untuk klarifikasi, serta menghormati asas praduga tidak bersalah.

Pemberitaan yang hanya mengandalkan narasumber tak jelas dan tendensi politik bukanlah produk jurnalistik yang kritis, melainkan propaganda yang merusak kredibilitas media dan profesi wartawan. Di era keterbukaan informasi ini, sangat penting bagi wartawan untuk mempertahankan integritas dan kejujuran dalam melaporkan kebenaran, demi menjaga kepercayaan publik terhadap media dan demokrasi. (*)

 

——————————————————————————————————————————————————–
Penulis : K. Revandi Antoni, Ketua Koordinator Liputan KBO Babel dan Pimpred Media Online Journalarta.com.
Saran dan Masukan terkait dengan tulisan ini silahkan disampaikan ke nomor redaksi 082278525258, 0812-7814-265 atau 0821-1227-4004

Eksplorasi konten lain dari Journalarta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Related Posts