BANGKA BELITUNG, JOURNALARTA.Com – Si Kelingking merupakan Cerita Rakyat Bangka Belitung. Si Kelingking adalah seorang pria berukuran kecil, tapi kuatnya melebihi orang dewasa pada normalnya. Kedua orang tuanya sempat ingin menyingkirkannya dengan cara membunuhnya dikarenakan memiliki fisik kecil tapi kuat makan. Namun pada akhirnya mereka menerima anak itu dengan segala kekurangan fisiknya. Cerita ini juga memiliki pesan moral sebagai pedoman hidup sehari-hati yang tercantum diakhir kisah. Berikut kisahnya…
Dikisahkan, pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri yang tinggal di sebuah gubuk sempit di Pulau Belitung. Mereka hidup sangat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sang suami mencari kayu bakar dan menjualnya di pasar. Sementara sang istri bekerja di ladang dengan penghasilan yang tak seberapa.
Selama bertahun-tahun menikah, pasangan suami istri ini sama sekali belum pernah memiliki anak. Padahal, sepanjang malam mereka selalu berdoa agar mendapatkan momongan,
“Ya, Tuhan! Karuniakanlah kami seorang anak,” doa sang istri pada suatu sepertiga malam.
“Jika Tuhan memberi anak, kami janji akan merawatnya dengan sepenuh hati dan menyayanginya dengan kasih yang penuh,” pinta sang suami.
Setelah berdoa, pasangan suami istri tersebut pun menatap nanar pada bintang yang bersinar di langit gelap melalui jendela kamar mereka.
“Seandainya kita punya anak, hidup ini pasti tak terasa begitu sepi ya, Bu,” kata sang suami.
“Benar sekali, Suamiku. Kebahagiaan ini terasa kurang lengkap tanpa kehadiran anak. Tuhan kapan mengabulkan doa kita, ya?” ucap sang istri bersedih.
Waktu terus berlalu, tapi doa mereka tak kunjung Tuhan kabulkan.
“Kita sudah semakin tua, Suamiku. Apakah ini tandanya kita tak bisa memiliki momongan?” ucap sang istri.
“Kita harus bersabar dan jangan pernah berhenti berdoa. Kita tak akan tahu doa mana yang didengar oleh Tuhan,” jawab sang suami mencoba menenangkan sang istri.
Pada suatu malam, turunlah hujan yang sangat deras. Petir menyambar-nyambar. Sang istri pun terbangun. Ia lalu berdoa pada Tuhan.
“Tuhan, kali ini hamba tak muda lagi. Mohon kabulkanlah permintaan hamba. Berikan anak dalam keluarga ini, walau sekecil kelingking pun tak masalah, Tuhan,” pinta sang istri sambil menangis.
Mendengar istrinya menangis, sang suami pun terbangun dan turut berdoa.
“Tuhan, kabulkanlah doa kami. Jika Kau memberi momongan, apa pun bentuknya, kami berjanji akan menjaganya dengan sepenuh hati dan mencintainya dengan kasih yang penuh,” ucap sang suami yang juga menangis.
Ternyata doa mereka dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Tak lama setelah doa itu dipanjatkan, Sang istri mengandung. Ia pun berhenti bekerja di ladang dan tak ingin melakukan pekerjaan berat.
Sembilan bulan pun telah berlalu. Sudah waktunya untuk wanita tua itu melahirkan seorang anak. Namun, alangkah terkejutnya mereka karena bayi yang lahir sangat kecil. Ukurannya hanya sebesar Kelingking.
“Suamiku, kenapa anak kita sangat kecil?” tanya sang istri sedih.
Mendengar pertanyaan istrinya, lelaki itu hanya bisa termenung. Ia pun tak menyangka akan mendapatkan seorang anak yang sangat kecil. Lalu, ia pun teringat dengan doa pada malam badai.
“Istriku, bukankah kita pernah berdoa pada Tuhan jika tak masalah punya anak sebesar kelingking?” ujar sang suami.
“Ah, benar sekali, Suamiku. Tuhan ternyata mendengar doa kita itu,” ucap sang istri dengan wajah sedikit kecewa.
Karena ukuran tubuhnya yang sangat kecil, anak pasangan suami istri itu diberi nama si Kelingking. Mereka menjaga dan merawat sang anak dengan baik dan sepenuh hati.
Mereka pun merasa sangat bahagia karena pada akhirnya memiliki anak. Namun, ada satu hal yang membuat mereka risau.
Meski badannya kecil, si Kelingking makan dengan sangat rakus. Ia bahkan bisa menghabiskan secanting nasi dan kadang masing kurang.
“Anakku, tidak bisakah kau mengurangi porsi makanmu? Apa kau tak takut perutmu yang kecil itu kesakitan karena makan terlalu banyak?” tanya sang ibu.
“Tapi, aku masih merasa sangat lapar, Bu. Aku tak bisa berhenti makan,” ucap si Kelingking sambil mengunyah makanannya.
Setiap hari, sang ayah dan ibu bingung karena penghasilan mereka tak cukup untuk memenuhi nafsu makan si Kelingking. Terkadang, sang ibu rela hanya makan sesuap nasi demi memberi makan untuk anaknya.
Pada suatu malam, di saat Kelingking terlelap, sang ibu mengeluh pada suaminya.
“Suamiku, kita tak bisa terus-terusan begini. Aku tak sanggup bila harus memenuhi kebutuhan si Kelingking,” keluh sang istri.
“Apakah kita harus menyingkirkannya? Aku juga sudah tak sanggup merawatnya. Dengan tubuhnya yang sekecil itu, ia pasti tak bisa membantu kita bekerja,” ucap lelaki tua itu.
“Tapi, bagaimana caranya menyingkirkan si Kelingking?” tanya sang istri penasaran.
Mereka lalu terdiam sejenak untuk memikirkan cara yang tepat menyingkirkan Kelingking. Bukan anak yang seperti ini yang mereka pinta. Tapi, seorang anak yang bertubuh normal dan bisa membantu mereka.
Tak lama kemudian, sang ayah pun mendapatkan ide untuk menyingkirkan anaknya.
“Aku punya ide cemerlang, Istriku!” ucap sang ayah dengan tatapan berbinar.
“Ide apa itu? Aku sudah tak sabar ingin mendengarnya,” tanya sang ibu.
“Besok pagi aku akan mengajak si Kelingking pergi ke hutan. Lalu, aku akan membuangnya di tengah hutan dan menimpanya dengan sebatang kayu besar. Aku akan berpura-pura jika semua itu adalah kecelakaan,” jelas lelaki tua itu.
Ibu si Kelingking pun mengangguk mendengar ide itu. Ia tak peduli bila harus menyakiti anaknya. Yang pasti, ia tak sanggup lagi merawat anaknya.
Keesokan harinya, sang ayah pun mengajak si Kelingking pergi ke hutan.
“Anakku, hari ini ayah akan mengajakmu ke hutan untuk menebang pohon besar. Kau harus membantu ayah,” ucapnya.
“Pohon besar untuk apa, Yah?” tanya Kelingking penasaran.
“Ayah ingin memperbaiki rumah kita,” jawab sang ayah berbohong.
Lalu, mereka pun berangkat ke hutan. Si Kelingking naik ke pundak sang ayah dan berangkat dengan hati yang gembira. Ia tak tahu bila sang ayah akan menyakitinya.
Setibanya di hutan, sang ayah pun berdiri di depan pohon yang besar.
“Kamu berdirilah di depan pohon ini dan jangan pergi ke mana-mana, ya. Ayah, akan menebang pohonnya,” ucap sang ayah sambil menurunkan anaknya.
“Baik, Ayah!” ucap si Kelingking dengan semangat tanpa mengetahui kejadian buruk yang akan menimpanya.
Tanpa disadari Kelingking, ternyata ayahnya menebang pohon yang kan jatuh mengarah padanya. Tak lama kemudian, pohon itu pun berhasil tumbang dan menimpa si Kelingking.
Melihat hal itu, tentu saja sang ayah merasa lega dan bahagia.
“Ah, akhirnya aku bisa menyingkirkan anak ini. Matilah kau kerdil! Hahaha,” ucapnya sambil tertawa.
Ia lalu pulang meninggalkan anaknya begitu saja. Sesampainya di rumah, sang ibu langsung menyambutnya.
“Bagaimana? Kau berhasil menyingkirkannya?” tanya istrinya.
“Tentu saja! Dia kan hanya sekecil kelingking. Membuangnya bukanlah hal yang sulit,” jawab sang ayah.
“Ah, syukurlah. Kita jadi bisa hidup tenang sekarang,” ucap sang ibu dengan senyuman yang lebar menyiratkan perasaan lega.
Sepasang ayah dan ibu itu pun bersantai-santai di rumah mereka. Ada perasaan lega juga sedikit kehilangan karena si Kelingking telah tiada.
Namun, menjelang siang hari rupanya si Kelingking kembali.
“Ayah! Ayah! Harus kuletakkan di mana kayu ini?” teriak pria kecil itu.
“Suamiku, sepertinya itu suara Kelingking? Apa kau sudah memastikan bahwa ia sudah mati?” tanya sang ibu heran.
“Ayo kita lihat langsung saja,” ucap sang ayah.
Betapa terkejutnya mereka menyaksikan si Kelingking mengangkat batang kayu yang teramat besar. Padahal, batang sebesar itu umumnya dipikul oleh 3 sampai 5 orang pria dewasa.
Ayah dan ibu hanya bisa melongo melihat si Kelingking pulang membawa kayu begitu besarnya seorang diri.
“Ayah, aku harus meletakkan kayu ini di mana?” tanyanya.
“Emm, letakkan di depan rumah saja,” perintah sang ayah sambil menunjukkan tempat.
Setelah meletakkan kayu, si Kelingking langsung masuk ke rumah dan menghabiskan makanan. Kali ini, ia makan dengan sangat lahap dan banyak karena merasa lelah.
Ayah dan ibunya tak tahu lagi harus berbuat apa. Sejak Kelingking kembali ke rumah, suasana jadi sangat dingin. Keduanya diam karena memikirkan cara lain untuk menyingkirkan Kelingking.
Pada suatu malam, mereka kembali berunding perihal cara menyingkirkan sang anak.
“Suamiku, apalagi yang harus kita lakukan untuk menyingkirkan anak itu?” tanya si istri panik.
“Bagaimana kalau besok aku mengajaknya pergi ke gunung yang tinggi. Lalu, aku akan mengambil batu besar dan menindihnya?” jelas sang suami.
“Akankah rencana ini berhasil? Aku tak bisa hidup begini terus,” jawab sang ibu.
“Tenang, Istriku. Kali ini aku akan berhasil,” ucap sang ayah dengan penuh keyakinan.
Keesokan harinya, sang ayah mengajak ke gunung untuk mengambil batu.
“Anakku, kali ini kita harus ke gunung tuk mencari batu besar. Rumah kita tak bisa diperbaiki bila belum ada batu,” kata sang ayah.
“Baiklah, Yah! Aku akan membantumu,” ucap si Kelingking.
Sesampainya di gunung, sang ayah berkata, “Kelingking, ayah akan naik ke atas gunung dan mendongkel batu besar itu. Kamu tunggu di sini saja dan hadanglah batu yang ayah dongkel,” perintahnya.
“Baik, Ayah!” jawab si Kelingking dengan semangat.
Setelah itu, sang ayah pun pergi ke atas gunung dan membawa sebatang kayu tuk mendongkel batu besar. Ia sengaja memilih batu yang sangat besar agar Kelingking tertindih.
Saat berhasil mendongkel batu besar tersebut, ia langsung turun ke bawah untuk menyaksikan Kelingking telah tertindih batu.
Untuk memastikan apakah anaknya masih hidup atau sudah mati, ia pun memanggil sang anak.
“Kelingking! Kelingking! Anakku!” panggil sang ayah,
Namun, tak ada suara yang menjawab. Kali ini, sang ayah yakin bahwa anaknya telah mati. Ia pun bergegas pulang dengan perasaan yang sangat gembira.
Sesampainya di rumah, ia meyakinkan istrinya bila anak mereka telah tiada.
“Syukurlah kalau begitu, sekarang hidup kita benar-benar tenang,” ucap sang istri lega.
Namun, rasa lega itu sirna seketika. Saat sore tiba, mereka mendengar suara panggilan lirih, “Ayah! Ayah! Di mana aku harus meletakkan batu ini?”
Suara itu datang dari Kelingking. Mereka terkejut, bagaimana bisa bocah sekecil itu kuat mengangkat batu yang sangat besar.
“Letakkanlah di situ,” ucap sang ayah sambil menunjukkan tempat.
Wajah mereka kembali murung. Sungguh, mereka tak habis pikir dengan apa yang baru saja mereka lihat. Seorang anak sekecil itu kuat mengangkat batu yang sangat besar.
Setelah berhasil meletakkan batu, si Kelingking pun kebingungan.
“Ayah, Ibu, kenapa kalian tampak murung ketika aku kembali ke rumah? Kemarin juga begitu,” tanya Kelingking.
Tiba-tiba sang ibu jatuh terduduk sambil menangis.
“Ibu, Ibu, kenapa kau malah menangis?” tanya Kelingking.
“Aku tak bisa begini terus. Aku harus berkata sejujurnya padamu, Nak. Ibu memang menginginkan seorang anak. Sebelum kelahiranmu, Ibu selalu berdoa agar Tuhan memberi kami anak. Namun, tak pernah Tuhan mendengar doa Ibu. Tanpa sadar, Ibu memohon anak dengan bentuk apa pun, bahkan sekecil kelingking pun Ibu terima,” ucap sang ibu sambil menangis.
“Lalu, lahirlah kamu di dunia ini. Ibu yang memintamu. Ibu yang mendoakan kamu sekecil kelingking, tapi kenapa Ibu yang merasa tak siap dengan keadaan ini?” imbuhnya dengan tangisan.
Bukannya marah, si Kelingking justru merasa sangat bersalah pada ayah dan ibunya.
“Maafkan aku, Ayah dan Ibu yang tak mengerti keadaan ini. Namun, akan aku buktikan bahwa tubuh kecilku bukanlah penghalang untukku bekerja dan menjalani kehidupan normal. Aku akan menjadi kebanggaan kalian,” ucap Kelingking.
Mendengar ucapan anaknya, sang ibu tambah menangis. Ia merasa sangat bersalah pada anaknya.
“Maafkan aku Nak. Maafkan Ibu,” ucapnya memohon. Sang ayah pun turut meminta maaf.
Sejak saat itu, si Kelingking pun memutuskan tuk membantu sang ayah bekerja. Karena kekuatannya yang super besar, ia bisa mengangkut barang-barang berat seorang diri. Dengan begitu, kehidupan keluarga mereka pun semakin membaik.
Ayah dan ibu si Kelingking tak lagi kekurangan uang meski harus menyiapkan makanan yang begitu banyak. Mereka pun hidup dengan bahagia dan menjadi keluarga yang harmonis.(*)
Ada beberapa pesan moral yang disampaikan melalui kisah Si Kelingking ini salah satunya adalah Jagalah Perkataanmu.
Perkataan adalah doa. Jadi, jangan asal berucap tanpa memikirkannya dahulu.
Kemudian Jangan menilai seseorang dari fisiknya saja. Orang yang kamu anggap lemah, bisa saja lebih tangguh dan kuat dari dirimu. Kenalilah seseorang terlebih dahulu sebelum menilainya.
Terakhir, jadilah seperti Kelingking yang mudah memaafkan. Ia bisa saja marah ketika mendapati ayah dan ibunya berbuat demikian kepadanya, namun dia tetap memaafkannya.
Sumber Artikel : Poskata.com
Sumber Foto : Dongeng Cerita Rakyat Penulis : Rinta Nariza Editor : Rev
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
1 Komentar