Oleh : Putri Utami, S.P., C.IJ
PANGKALPINANG, JOURNALARTA.Com – Dalam dunia jurnalistik, wartawan kritis memiliki peran penting sebagai penjaga demokrasi dan pengungkap kebenaran. Mereka berdiri di garis depan untuk mengangkat fakta-fakta yang tidak selalu menyenangkan bagi sebagian pihak, terutama mereka yang berada di posisi kekuasaan.
Namun, muncul pertanyaan: Apakah setiap berita yang mengklaim diri sebagai kritis dan berani, dapat disebut sebagai produk jurnalistik yang profesional, terutama ketika narasumber tidak jelas atau berita tersebut tidak melalui proses yang sesuai dengan kaidah jurnalistik?
Apakah wartawan yang tidak mengikuti prinsip “cover both sides” masih bisa disebut sebagai wartawan kritis, atau justru menodai profesi mulia ini?
Wartawan sejati selalu menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dalam setiap peliputan dan penulisan berita. KEJ bukan sekadar dokumen tertulis, tetapi merupakan pedoman etis yang mengatur bagaimana wartawan harus bertindak secara profesional dan bertanggung jawab.
Salah satu prinsip penting yang diatur dalam KEJ adalah keberimbangan, atau yang biasa dikenal dengan istilah “cover both sides”. Ini berarti bahwa setiap berita harus memberikan kesempatan yang adil bagi semua pihak yang terlibat, agar bisa menyampaikan pandangan atau klarifikasi mereka. Tanpa prinsip ini, berita menjadi bias, tendensius, dan dapat merusak kredibilitas media itu sendiri.
Namun, apa jadinya jika seorang wartawan mengklaim dirinya kritis tetapi mengabaikan prinsip dasar ini? Apakah layak wartawan yang tidak melakukan verifikasi dari sumber yang berimbang disebut sebagai “kritis”? Jawabannya tentu tidak!!!!.
Wartawan yang hanya menggali informasi dari satu sumber, apalagi sumber yang tidak jelas atau tidak dapat dipercaya, sama saja dengan melanggar KEJ dan tidak memenuhi standar jurnalistik yang diakui secara profesional.
Kredibilitas Narasumber dan Tanggung Jawab Wartawan
Di dalam setiap laporan berita, narasumber memegang peran penting dalam membangun kredibilitas berita tersebut. Namun, tidak semua narasumber bisa dianggap valid atau layak diandalkan.
Wartawan yang profesional harus bisa membedakan antara narasumber yang memiliki informasi relevan, bisa diverifikasi, dan memiliki otoritas atas isu yang diberitakan, dengan narasumber yang tidak memiliki kejelasan atau bahkan berpotensi menyesatkan.
Ketika seorang wartawan mengutip narasumber yang tidak jelas atau memiliki kepentingan tersembunyi, kredibilitas berita yang dihasilkan menjadi dipertanyakan.
Dalam hal ini, wartawan yang hanya mengambil informasi dari narasumber tersebut tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut sebenarnya melanggar prinsip-prinsip jurnalistik.
Apakah wartawan yang bekerja dengan metode ini layak disebut kritis? Atau hanya sekadar mencari sensasi dan menyebarkan opini tanpa dasar yang kuat?
Di sinilah letak perbedaan antara wartawan kritis yang sebenarnya dengan mereka yang hanya mengklaim diri kritis.
Wartawan kritis sejati akan selalu memastikan bahwa narasumber yang mereka kutip memiliki legitimasi, akurasi, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Mereka akan menghindari penyebaran informasi yang tidak diverifikasi, karena mereka paham betul bahwa informasi yang salah atau tidak akurat dapat merugikan banyak pihak dan merusak reputasi media yang mereka wakili.
Asas Praduga Tidak Bersalah Dalam Pemberitaan
Selain prinsip “cover both sides“, wartawan kritis juga harus selalu memegang teguh asas praduga tidak bersalah. Dalam konteks hukum dan jurnalistik, asas ini sangat penting untuk menjaga integritas peliputan dan memastikan bahwa berita yang disampaikan tidak menjadi alat untuk menghakimi seseorang tanpa bukti yang sah.
Menyampaikan berita dengan asumsi bahwa seseorang sudah bersalah, tanpa adanya keputusan hukum yang sah, merupakan pelanggaran serius terhadap kode etik dan asas keadilan.
Wartawan yang melanggar asas praduga tidak bersalah tidak hanya merugikan individu yang diberitakan, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap media itu sendiri.
Ketika sebuah berita disajikan tanpa memperhatikan asas ini, publik akan melihat media tersebut sebagai alat propaganda atau bahkan alat politik yang digunakan untuk menghancurkan reputasi seseorang.
Wartawan yang kritis sejati harus memahami bahwa keadilan dan kebenaran harus selalu menjadi tujuan akhir dari setiap laporan berita yang mereka hasilkan.
Tuduhan “Wartawan Bayaran” dan “Penjilat“: Serangan Tanpa Dasar
Tidak jarang, wartawan kritis yang menjalankan tugasnya dengan baik justru menghadapi tuduhan sebagai “media bayaran” atau “penjilat“. Tuduhan ini sering kali dilontarkan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh kebenaran yang diungkap oleh wartawan.
Namun, tuduhan tersebut, tanpa bukti yang jelas, justru mencerminkan ketakutan pihak yang bersangkutan terhadap kebenaran yang diungkapkan.
Wartawan kritis sejati, yang bekerja berdasarkan Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, tidak memiliki niat untuk menjatuhkan atau merusak reputasi seseorang tanpa dasar.
Mereka bekerja untuk mengungkap kebenaran, memberikan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, serta menjaga integritas profesi mereka. Tuduhan bahwa mereka adalah “wartawan bayaran” sering kali tidak lebih dari upaya untuk membungkam kebebasan pers dan menghindari tanggung jawab atas kesalahan yang diungkap oleh media.
Apakah Wartawan yang Tidak Berimbang Layak Disebut Kritis?
Pada akhirnya, wartawan yang tidak menjalankan prinsip “cover both sides“, yang mengabaikan verifikasi narasumber, dan yang tidak memegang asas praduga tidak bersalah, tidak pantas disebut sebagai wartawan kritis.
Mereka mungkin hanya mengklaim sebagai wartawan kritis untuk membenarkan pemberitaan yang tendensius dan tidak profesional.
Wartawan kritis yang sejati selalu berpegang pada kebenaran, objektivitas, dan integritas. Mereka tidak memiliki agenda tersembunyi, dan tidak menggunakan profesi mereka sebagai alat untuk menjatuhkan seseorang secara tidak adil.
Produk jurnalistik yang baik adalah hasil dari proses investigasi yang mendalam, akurasi dalam pelaporan, dan keberimbangan dalam menyajikan semua perspektif.
Wartawan kritis harus mampu menyeimbangkan tugas mereka sebagai pengawas sosial dengan tanggung jawab untuk tidak menciptakan opini yang bias atau memihak.
Mereka tidak boleh menilai narasumber berdasarkan kedekatan atau kepentingan politik, tetapi harus berdasarkan kejelasan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menjadi wartawan kritis adalah tanggung jawab besar yang memerlukan keberanian dan integritas. Namun, wartawan kritis sejati tidak akan pernah mengabaikan prinsip-prinsip dasar jurnalistik, seperti “cover both sides” dan asas praduga tidak bersalah.
Wartawan yang tidak memenuhi prinsip-prinsip ini tidak dapat dianggap sebagai kritis, melainkan hanya sekadar menyajikan informasi yang tidak seimbang dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam dunia jurnalistik, kebenaran dan keadilan selalu menjadi tujuan utama, dan hanya wartawan yang berpegang pada prinsip-prinsip ini yang pantas disebut sebagai wartawan kritis.
Penulis : Putri Utami, S.P., C.PW Alumni Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (UNSRI) Tahun 2023 saat ini menjadi editor di Jejaring Media KBO Babel, Artikel/Opini ini dibuat berdasarkan pemberitaan dari media online Babel tanggal 20 Agustus 2024.
Saran & Masukan terkait dengan tulisan opini silahkan disampaikan ke nomor redaksi 0812-7814-265 atau 0821-1227-4004
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.