Oleh : A. Handira Shandy
BANGKA BELITUNG, JOURNALARTA.Com – Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang melibatkan oknum wartawan di Bangka Belitung baru-baru ini menyoroti pentingnya pemahaman mendalam tentang etika jurnalistik serta kerangka hukum yang mengaturnya. Ketika seorang wartawan terlibat dalam tindak pemerasan, sebagaimana terungkap dalam kasus OTT, hal ini bukan hanya merusak nama baik individu tersebut, tetapi juga mencoreng citra profesi jurnalistik secara keseluruhan.
Melihat kejadian ini dari perspektif hukum dan kode etik jurnalistik, penting untuk memahami bagaimana kita bisa memperbaiki dan menjaga integritas profesi ini.
Etika Jurnalistik dan Undang-Undang Pers
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers berfungsi sebagai lembaga sosial dan kontrol publik. Dalam konteks ini, wartawan memiliki peran sebagai pengontrol sosial, yang artinya mereka bertugas untuk mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah serta praktik-praktik di sektor publik dan privat.
Fungsi ini mencakup tanggung jawab untuk mengungkap kebenaran dan memastikan informasi yang disajikan kepada publik adalah akurat dan tidak terdistorsi.
Kode Etik Jurnalistik, yang diterbitkan oleh Dewan Pers, menegaskan bahwa wartawan harus menjunjung tinggi prinsip independensi, akurasi, dan integritas.
Dalam Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik disebutkan bahwa wartawan harus menyajikan berita secara akurat, jujur, dan berimbang.
Setiap tindakan pemerasan, seperti yang diduga dilakukan oleh oknum wartawan dalam kasus OTT ini, jelas melanggar prinsip-prinsip dasar ini.
Lebih lanjut, Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik menegaskan bahwa wartawan harus menghindari konflik kepentingan.
Menggunakan jabatan sebagai wartawan untuk meminta uang atau keuntungan pribadi bertentangan langsung dengan ketentuan ini.
Ketika oknum wartawan melakukan tindakan pemerasan dengan iming-iming tidak memuat berita, mereka secara jelas melanggar kode etik yang mengatur profesi ini.
Tindakan Hukum dan Penerapan KUHP
Kasus pemerasan oleh wartawan juga melibatkan pelanggaran hukum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 368 KUHP menyebutkan bahwa tindakan pemerasan atau ancaman merupakan tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi pidana.
Dalam hal ini, jika terbukti bahwa oknum wartawan meminta uang dari kontraktor dengan ancaman tidak memberitakan sesuatu, maka tindakan tersebut bisa dikenakan pidana berdasarkan ketentuan ini.
Penting untuk diingat bahwa sistem hukum di Indonesia memisahkan ranah hukum dengan profesi jurnalistik.
Penegakan hukum terhadap pelanggaran pidana dilakukan oleh aparat penegak hukum, sementara kode etik jurnalistik diatur oleh Dewan Pers dan asosiasi wartawan.
Namun, penegakan kode etik dan hukum harus berjalan bersamaan untuk memastikan bahwa tindakan yang merusak integritas profesi dapat ditindak dengan tegas.
Dampak dan Implikasi Kasus OTT
Kasus OTT yang melibatkan wartawan ini bukan hanya mencoreng citra individu tetapi juga mempengaruhi persepsi publik terhadap profesi jurnalistik secara keseluruhan.
Masyarakat mungkin mulai mempertanyakan keabsahan dan integritas berita yang disajikan oleh wartawan, terutama jika mereka terlibat dalam tindakan yang merusak kepercayaan publik.
Untuk memperbaiki citra profesi, langkah-langkah konkret harus diambil.
Pertama, perlu adanya penguatan mekanisme pengawasan internal dalam organisasi pers. Ini mencakup pelatihan yang lebih intensif mengenai kode etik jurnalistik dan penegakan disiplin yang ketat terhadap pelanggaran kode etik.
Kedua, organisasi pers harus bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa tindakan pidana yang melibatkan wartawan diproses secara hukum.
Selain itu, penting bagi wartawan dan media untuk aktif melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai hak-hak mereka dan bagaimana melaporkan pelanggaran kode etik.
Upaya ini akan membantu membangun kepercayaan publik dan memastikan bahwa masyarakat dapat membedakan antara wartawan profesional dan oknum yang merusak nama baik profesi.
Kasus OTT yang melibatkan oknum wartawan di Bangka Belitung harus menjadi cermin bagi seluruh profesi jurnalistik untuk mengevaluasi kembali komitmen mereka terhadap etika dan integritas.
Memastikan bahwa semua wartawan mematuhi kode etik dan hukum yang berlaku adalah tanggung jawab bersama.
Hanya dengan penegakan hukum yang konsisten dan penguatan kode etik jurnalistik, profesi ini dapat pulih dari noda-noda yang merusak kepercayaannya dan kembali berfungsi sebagai pengontrol sosial yang efektif. (*)
Penulis : A Handira Shandy, Reporter KBO Babel, Jika ada masukan dan saran atas artikel atau opini silahkan disampaikan kepada redaksi
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.