OPINI

Kampanye Kolom Kosong Dalam Pilkada: Fenomena Demokrasi atau Kekosongan Hukum?

Oleh : Tomi Permana (Ketua Umum Pemuda Pangkalpinang Bersuara)

 

 

PANGKALPINANG, JOURNALARTA.Com – Fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang memunculkan kolom kosong di surat suara telah menimbulkan perdebatan luas, termasuk tanggapan dari Koordinator Divisi Hukum, Pencegahan, Parmas, dan Humas Bawaslu Kota Pangkalpinang, Wahyu Saputra.

Keberadaan kolom kosong ini menjadi ruang alternatif bagi pemilih yang tidak setuju dengan calon tunggal yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, fenomena ini juga membawa sejumlah pertanyaan serius tentang regulasi hukum, legitimasi demokrasi, dan dinamika kampanye.

Kolom Kosong: Ruang Alternatif Tanpa Kekosongan Hukum

Secara teknis, kolom kosong bukanlah pasangan calon resmi yang terdaftar dalam pemilihan. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PUU-XIII/2015 dan Nomor 14/PUU-XVII/2019, kolom kosong di surat suara bukanlah peserta pemilihan, tetapi “tempat” bagi pemilih yang tidak setuju dengan calon tunggal untuk menyuarakan pilihan mereka.

Meski demikian, eksistensi kolom kosong ini tetap diakui sebagai bagian dari sistem pemilu, yang memberikan ruang demokrasi bagi kelompok yang tidak setuju dengan kandidat tunggal tersebut.

Wahyu Saputra menegaskan bahwa karena kolom kosong bukan peserta pemilu, Bawaslu tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penertiban terhadap spanduk atau baleho yang mengajak pemilih untuk memilih kolom kosong.

Meskipun ada berbagai norma hukum terkait kolom kosong, seperti putusan MK, yang menegaskan bahwa kolom kosong bukan pasangan calon, namun hal ini menciptakan “kekosongan hukum” dalam konteks kampanye.

Kampanye Kolom Kosong: Tindakan Demokrasi atau Pelanggaran Hukum?

Kampanye dalam pilkada diatur ketat oleh hukum kepemiluan, dan hanya pasangan calon yang secara resmi terdaftar yang berhak melakukan kampanye.

Dalam hal ini, kolom kosong tidak bisa dianggap sebagai pihak yang dapat melakukan kampanye karena kolom kosong bukan pasangan calon, tidak memiliki visi-misi, dan tidak dapat menunjuk tim kampanye yang resmi.

Namun, dalam praktiknya, banyak relawan atau kelompok masyarakat yang memasang spanduk atau baleho untuk mengajak pemilih memilih kolom kosong.

Ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah ajakan memilih kolom kosong bisa dianggap sebagai bentuk kampanye?

Dari perspektif hukum, ajakan memilih kolom kosong bukanlah kampanye formal karena tidak ada visi-misi atau program yang disampaikan. Kolom kosong hanya menjadi opsi bagi pemilih yang ingin menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap calon tunggal yang ada, sebagaimana dijelaskan dalam putusan MK.

Bawaslu, sebagai lembaga pengawas pemilu, menghadapi dilema dalam hal ini. Di satu sisi, Bawaslu tidak memiliki kewenangan untuk menindak ajakan memilih kolom kosong karena tidak ada dasar hukum yang mendukung hal tersebut.

Di sisi lain, masifnya ajakan memilih kolom kosong dapat mempengaruhi proses demokrasi yang sehat dan kondusif.

Wahyu Saputra mengingatkan bahwa meskipun kampanye kolom kosong tidak diatur secara spesifik, masyarakat tetap harus menjaga iklim demokrasi yang damai, sejuk, dan tidak menimbulkan gangguan bagi pihak lain.

Kekosongan Hukum: Kegagalan Regulasi atau Ruang Partisipasi?

Ketidakjelasan hukum terkait fenomena kolom kosong dalam pilkada calon tunggal mencerminkan kegamangan regulasi pemilu di Indonesia. Pada satu sisi, kolom kosong diakui oleh putusan MK sebagai pilihan sah bagi pemilih yang menolak calon tunggal.

Namun, di sisi lain, tidak ada aturan jelas yang mengatur bagaimana kolom kosong dapat dipromosikan atau diajak dalam konteks kampanye.

Fenomena ini menunjukkan kegagalan regulasi pemilu dalam mengantisipasi dinamika politik lokal. Ketika hanya ada satu calon yang maju, partisipasi politik masyarakat yang tidak setuju dengan calon tersebut tidak memiliki ruang untuk berekspresi secara aktif kecuali melalui kolom kosong.

Sayangnya, kolom kosong, meskipun diakui secara hukum, tidak diatur dengan baik dalam hal kampanye dan promosi, yang membuatnya menjadi ruang abu-abu dalam regulasi pemilu.

Kampanye kolom kosong yang dilakukan oleh relawan atau masyarakat bisa dipandang sebagai bentuk partisipasi demokrasi yang sah. Meskipun demikian, tanpa regulasi yang jelas, fenomena ini dapat menimbulkan distorsi dalam pelaksanaan pemilu yang adil dan transparan.

Ada risiko bahwa kolom kosong justru digunakan oleh kelompok tertentu untuk mengganggu proses demokrasi yang seharusnya fokus pada pilihan antara kandidat yang kompeten.

Menjaga Iklim Demokrasi yang Sehat

Wahyu Saputra mengingatkan masyarakat untuk tetap menjaga kondusifitas iklim demokrasi, meskipun fenomena calon tunggal dan kolom kosong semakin sering muncul di berbagai daerah.

Kampanye kolom kosong harus dilakukan dengan cara yang tidak melanggar hukum atau mengganggu hak orang lain.

Ajakan untuk memilih kolom kosong sebaiknya dipandang sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan partisipasi dalam demokrasi, namun dengan tetap memperhatikan etika dan regulasi yang berlaku.

Di tengah fenomena calon tunggal, penting bagi pemerintah dan pembuat undang-undang untuk segera memperjelas regulasi terkait kolom kosong. Aturan yang jelas akan membantu Bawaslu dalam menegakkan pengawasan yang efektif, serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang ingin menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap calon tunggal.

Tanpa regulasi yang memadai, fenomena kolom kosong akan terus menjadi isu yang membingungkan dan berpotensi merusak integritas pemilu.

Fenomena kolom kosong dalam pemilihan calon tunggal adalah cerminan dari kegagalan regulasi pemilu dalam mengakomodasi dinamika politik lokal.

Meskipun diakui oleh putusan Mahkamah Konstitusi, kampanye kolom kosong tidak diatur dengan jelas dalam regulasi yang ada. Ini menciptakan kekosongan hukum yang membingungkan bagi Bawaslu dan masyarakat.

Untuk menjaga integritas demokrasi, perlu adanya aturan yang lebih tegas dan jelas terkait kampanye kolom kosong, serta upaya untuk mendorong partisipasi politik yang sehat dan berkeadaban.

Keberadaan kolom kosong harus dipandang sebagai bagian dari hak politik masyarakat, tetapi perlu dikelola dengan bijak agar tidak merusak proses pemilu yang adil dan transparan.

Salam Kotak Kosong, Pangkal Kemenangan. (*)


Eksplorasi konten lain dari JournalArta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Beri Komentar Anda

Related Posts