Oleh : Eka Mulya Putra (Ketua Rumah Aspirasi Kotak Kosong Kota Pangkalpinang)
PANGKALPINANG, JOURNALARTA.Com – Tindakan pasangan calon (paslon) walikota dan wakil walikota, Maulan Aklil – Masagus M Hakim (Molen-Hakim) yang menggelar orasi di RSUD Depati Hamzah menimbulkan banyak pertanyaan. Tidak mungkin mereka tidak tahu aturan, namun tampaknya mereka sengaja melanggar ketentuan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sangat bertanggung jawab dalam hal ini.
Ketidakhadiran Bawaslu yang hanya diwakili oleh dua staf tanpa pimpinan atau pengawas yang seharusnya mengawasi pelanggaran, menimbulkan kecurigaan. Apakah ada hubungan tertentu antara Bawaslu dan calon tunggal ini? Indikasi bahwa Bawaslu terlihat masa bodoh atau “dak retak” terhadap pelanggaran yang sangat mencolok dan ini patut dicurigai ada apa bawaslu kota Pangkalpinang dengan calon tunggal?.
Lebih mengecewakan lagi, tindakan memanfaatkan fasilitas kesehatan dan memanfaatkan orang yang sakit untuk menyampaikan kampanye politik merupakan tindakan yang sangat tidak beretika. Ini menunjukkan hilangnya jiwa kemanusiaan dan kepedulian terhadap masyarakat yang seharusnya dilindungi.
Di sisi lain, pernyataan PJ Wali Kota yang menekankan netralitas terasa hampa ketika pelanggaran terjadi tepat di depan hidungnya. Apakah PJ Walikota sedang diserang pilek atau sengaja pilek? atau memang PJ walikota tidak menyadari situasi tersebut, ataukah ada alasan lain di balik keheningannya?
Tindakan dan sikap yang ambivalen ini patut dipertanyakan, bahwa mereka telah menunjukkan sikap arogansi, melanggar aturan dan memanfaatkan fasilitas kesehatan milik pemerintah daerah untuk kepentingan politik adalah perilaku calon pemimpin yang jauh dari perilaku orang melayu bangka yang memegang teguh adab dan adat di saat masyarakat menuntut keadilan dan integritas dalam proses pemilu.
Masyarakat perlu mendesak Bawaslu untuk mengambil tindakan tegas dan tidak hanya berpegang pada netralitas yang diucapkan, tetapi juga menunjukkan komitmen nyata dalam menjaga etika dan keadilan dalam kampanye. Keterlibatan Bawaslu yang lemah dapat berdampak buruk pada kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Masyarakat berhak mendapatkan pemilu yang adil dan transparan. Ketika pelanggaran jelas terjadi, seperti yang dilakukan oleh Molen-Hakim, tindakan Bawaslu menjadi sangat krusial. Namun, dengan pengawasan yang lemah dan kesan tidak peduli, kepercayaan publik terhadap lembaga pengawas ini semakin menurun.
Selain itu, penggunaan momen di rumah sakit untuk berorasi politik menunjukkan kurangnya empati dari para calon. Mereka seharusnya menyadari bahwa tidak semua tempat cocok untuk kampanye, terutama di lokasi yang berkaitan langsung dengan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Ini tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai moral yang patut dipertanyakan.
Sikap PJ Wali Kota yang terkesan menyepelekan pelanggaran di depan matanya menambah pertanyaan tentang integritasnya. Apakah ia benar-benar berkomitmen untuk menjaga netralitas, ataukah sikapnya hanya retorika belaka? Dalam konteks ini, kepemimpinan yang baik harus mencerminkan kesadaran dan tanggung jawab terhadap tindakan yang terjadi di sekitar.
Bawaslu perlu melakukan evaluasi internal untuk memastikan bahwa pengawasan tidak hanya ada di atas kertas, tetapi juga dijalankan dengan tegas. Langkah konkrit harus diambil untuk menyelidiki pelanggaran ini dan memberikan sanksi yang sesuai, agar ke depan tidak ada lagi calon yang berani melanggar aturan dengan cara yang sama.
Keterlibatan aktif masyarakat dalam mengawasi dan melaporkan pelanggaran juga sangat penting. Dengan meningkatkan kesadaran politik dan partisipasi masyarakat, kita dapat bersama-sama mendorong terciptanya pemilu yang lebih bersih dan berintegritas. Ke depan, mari kita tuntut komitmen semua pihak untuk menjaga etika dan keadilan dalam setiap aspek demokrasi kita.(*)
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.