Oleh: AHMADI SOFYAN
“Istilah Rusep berasa Tempoyak ternyata ada yang hatinya terkoyak. Justru semakin dipermak, semakin semarak….”
BANGKA BELITUNG, JOURNALARTA.Com – SEJAK tulisan saya di harian Babel Pos yang berjudul “Kotak (tidak) Kosong” yang didalamnya memuat istilah “Rusep Berasa Tempoyak”, ternyata kalimat tersebut menjadi bahan pembicaraan, ada yang dukung dengan menjadikan status di medsos, ada yang cuek, ada yang marah, tak sedikit yang gerigit ati tapi nahan ati. Suasana dalam politik kekuasaan memang kadangkala komedi berubah jadi tragedi atau sebaliknya. Padahal seribu kata sepadan “Rusep berasa Tempoyak” tidak akan sampai anak negeri terkoyak sebab Melayu asli Bangka punya rasa dan cinta, yakni “Seperadik Gale” serta slogan “Fan ngin Thongin jit jong”.
Karena ramainya komentar, bahkan masuk dalam ruang diskusi atau bahkan sampai ada ASN yang sekaligus Ketua Ormas Keagamaan membuat pernyataan. Saya yang sedang nyangkul dan bersihin rumput di kebun, harus berulangkali berhenti hanya untuk menerima telpon dan membalas WA dari banyak orang, termasuk Tokoh-tokoh senior Presidium Perjuangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, baik yang di Bangka maupun di Jakarta. Juga ada kawan-kawan Tionghua yang menelpon dan WA yang juga semuanya memberikan dukungan kata dan pastinya dengan kata canda. Ada pula yang rela jauh dari Pangkalpinang datang ke kebun untuk bekisah soal ini dan akhirnya menyatakan diri bahwa berubah pilihan karena semakin terlihat arogan dalam kekuasaan.
Istilah “Rusep berasa Tempoyak” ternyata ada yang hatinya luka terkoyak. Padahal ini sekedar istilah atau ungkapan lucu-lucuan yang jika dicermati dalam tata bahasa, bagian dari kalimat Satir atau ungkapan tradisional. Inilah perlunya orang yang sudah merasa tokoh atau orang-orang terpelajar kembali menela’ah pelajaran lama bahasa Indonesia. Misalnya padanan kata, istilah, pantun, gurindam & ungkapan-ungkapan tradisional.
Harus kita akui, Bangka Belitung memiliki sejarah panjang dalam pergolakan untuk menjadi tuan di tanahnya sendiri. Perjuangan panjang ini tidak pernah meneteskan darah, tapi menguras pikiran, tenaga, dana dan segala patriotisme kedaerahan yang tergabung dalam satu kata, Perjuangan Pembentukan Provinsi Kep. Babel dengan cara berpisah dari Sumatera Selatan.
Dari pergolakan bathin, lingkungan sosial yang terjadi, maka seringkali istilah-istilah atau ungkapan masyarakat, terutama di Pulau Bangka itu terjadi. Berbau rasis dan mengarah ke SARA? Iya. Itu pasti dan sudah terjadi. Namun tidak pernah jadi masalah apapun sebab semua adalah bagian dari ungkapan atau istilah masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi sosial.
Contoh istilah-istilah kalimat rasis dari para orangtua kita tempo doeloe yang mengandung SARA, tapi justru jadi bahan warning serta introspeksi diri bagi kita. Ungkapan-ungkapan tradisional ini sudah diterbitkan menjadi buku yang dihimpun oleh Budayawan senior, Suhaimi Sulaiman & Dra. Hartini. Buku yang diberikan Kata Pengantar Walikota Pangkalpinang, Zulkarnain Karim dengan Editor sejarawan terkemuka, Akhmad Elvian. Judul buku tersebut “Ungkapan Tradisional Kota Pangkalpinang” (2006).
Beberapa Ungkapan yang bisa dinilai rasis atau mengandung SARA termaktub dalam buku tersebut misalnya: “Penabur Abis, Pelimbang Dak Kalah” (Peluru Habis, Palembang Tidak Kalah) atau “Samalah kek nunggun Belande Sunat” atau “Ancok Kurau” atau “Macem Singkek (orang Cina) Separit” atau “Macem Cin Pantet Mirah”. “Belande diberi tanah”. Nah, rasis dan mengandung SARA gak?
Kalimat-kalimat itu keluar dan bahkan dibukukan oleh para Budayawan & Sejarawan bukan berarti untuk menjadi ungkapan pemecah belah, itu bagian dari kekayaan tutur lisan masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi sosial yang dialami saat itu. Contoh lagi misalnya populer kalimat: “Cen ari rayo, melayu mabuk” atau masih banyak lagi ungkapan-ungkapan yang ada ditengah masyarakat kita yang bahkan berupa tutur lisan yang bahkan sudah menjadi tulisan (dibukukan).
Terlebih lagi kita masyarakat Melayu yang dikenal kaya akan ungkapan atau istilah. Misalnya: “Pukul anak sindir menantu” atau “Beras abis, tungku ilang” atau “Agik ijau lah nek bekecak” atau “Aek laot dak sapa lah ngasen e” atau “Kayu abis, nasi dak masak” atau “Abis beras sumpit digulung” atau “Ke atas dak mucuk, ke bawah dak bejangkar” dan ratusan istilah atau ungkapan-ungkapan lainnya.
Juga ada kalimat “Lom laher lah ditimang” yang bermakna belum berbuat tapi sudah menghitung hasil. Ini adalah ungkapan kepada orang yang dungu namun sombong sehingga terlalu percaya diri. Misalnya belum masuk masa kampanye, sudah bilang “tiduk ge menang” atau “tiduk bae, bangun-bangun langsung dilantik”. Ini contoh.
Karena memang, Melayu itu selalu menggunakan istilah dan padanan kata dalam memberikan pernyataan, termasuk berpantun & bersyair kala memuji atau mengkritisi. “Perang” istilah atau ungkapan itu sangat menarik untuk kembali kita lakukan di era sekarang. Lihatlah orangtua kita yang katanya pendidikan rendah, namun begitu indah membuat istilah-istilah, ungkapan-ungkapan, kalimat sastra, pantun, gurindam dan sebagainya. Bahkan tak sedikit menjadi bagian dari isi pelajaran kita dalam pelajaran Bahasa Indonesia.
Sekarang bagaimana? Justru sebaliknya…., kita tak menemukan lagi hal demikian dari orang-orang yang katanya alim, tokoh, intelektual, melayu dan seabrek gelar yang disandang. Selain kedunguan, politik praktis & mental menjilat salah satu sebabnya. Akhirnya orang yang cenderung cacat logika jika disuruh berbicara memang sering panik kata, surplus curiga yang akhirnya defisit akal.
Dalam kepemimpinan, pernah terjadi akibat kondisi sosial dan pemerintahan di Bangka kala itu hingga keluar kalimat: “Bagi kami urang Bangka, dak sapa negah ikak nek jadi Raje, asal jangen ngeraje” yang mana sebelum kalimat tersebut sudah populer kalimat seperti dalam Buku yang saya sebutkan tadi, yakni: “Penabur abis, Pelimbang dak kalah”. Hayooo…. apa ini disebut ungkapan pemecah belah? Jelas menyebut nama daerah, suku (Cen) dan tempat seperti “Ancok Kurau” sebagainya. Jadi “Rusep berasa Tempoyak” menjadi lucu ketika disebut sebagai ungkapan pemecah belah atau SARA. Inilah pentingnya… ah sudahlah.
Pesan ringan saja sebagaimana ungkapan tradisional orangtua kita dulu buat kita semua, Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”. Sederhana, tapi penuh makna. Tapi…. sudahlah, saya mau nyangkul lagi di kebun. Di riuh kota terlalu banyak drama komedi berakhir tragedi, sedangkan hutan selain melahirkan kesunyian ia juga menciptakan kehidupan yang damai serta kejujuran. Sebagaimana Rusep yang sederhana namun bisa membangkitkan selera rasa….
Salam Rusep!
===
AHMADI SOFYAN (Atok Kulop). Bukan tokoh atau ketua Ormas apapun apalagi Timses Calon Tunggal maupun Timses Kotak Kosong. Tinggal di kebun ditepi sungai dengan memiliki hobi mentertawakan kondisi dan kehidupan sosial orang-orang besar maupun yang ingin membesarkan diri.
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.