OPINI

Bekelai Kek Kutak Kusong

Oleh: AHMADI SOFYAN

 

 

 

“Demokrasi itu artinya kompetisi manusia dengan manusia atau otak dengan otak, pikiran dengan pikiran, bukan manusia dengan benda seperti kardus, kosong pula!”

BANGKA BELITUNG, JOURNALARTA.Com – KOTAK KOSONG itu biasa saja, tak ada yang istimewa. Ia bisa dimiliki dan diisi oleh siapapun dan dengan apapun. Kotak kosong dalam demokrasi pun demikian adanya. Tidak ada yang wah atau spesial seperti Martabak Spesial yang dikotakin. Hampir semua orang yang pernah hidup, bahkan anak-anak sekalipun, pasti pernah membutuhkan kotak kosong, apalagi yang pernah merantau. Saya yang di kebun saja punya banyak kotak kosong untuk barang-barang yang harus disimpan agar pondok jadi rapi. So, keberadaan Kotak Kosong begitu berarti, salah satunya untuk menyatukan barang kesayangan sehingga tertata rapi.

Dalam perhelatan demokrasi yang sedang terjadi di Bangka Belitung, 3 daerah Paslon Tunggal melawan Kotak Kosong. Bangka dan Bangka Selatan nampaknya adem ayem saja. Baik Paslon maupun Timsesnya, tidak bereaksi terlalu berlebihan alias “dak bekelai” dengan benda bernama Kotak Kosong. Berbeda jauh dengan Kota Pangkalpinang. Fenomena seperti saling olok dan playing victim, jadi semakin membuat suasana demokrasi kian seru untuk dinikmati.

Padahal, demokrasi adalah kebebasan bagi pemilik suara untuk menentukan kemana suaranya diserahkan. Ketika ada Paslon Tunggal versus Kotak Kosong, artinya Paslon Tunggal punya kesempatan besar untuk menang. Sebab Kotak Kosong tak ada mesin partai yang berisikan para ahli politik dan strategi. Kotak Kosong tidak bisa konsolidasi Partai. Bahkan Kotak Kosong tidak ada penyampaian visi misi. Sehingga Kotak Kosong tidak bisa menebar janji kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, apalagi seribu senyuman dengan pendataan door to door ke warga serta janji lembaran uang jika memilih sesuai yang diarahkan. Kotak kosong ya kotak kosong, ia hanyalah sekedar benda, tak bisa apa-apa.

Jika saja, pemahaman demokrasi & pengaturan strategi Timses Paslon Tunggal berada pada level yang sedikit lebih baik, keberadaan Kotak Kosong seharusnya bukanlah sesuatu yang menakutkan. Tapi ketakutan (kepanikan) itu sudah terjadi karena mungkin seperti ungkapan orangtua kita dulu: “Anak lom lahir, lah ditimang”. Sebab kepercayaan diri yang terlalu besar, lalu mengolok-olok, mentertawakan bahkan meremehkan orang-orang yang berpihak pada Kotak Kosong bisa menjadi bumerang. Karena kepercayaan diri itu lebih dekat dengan keangkuhan dan kesombongan. “Tiduk bae menang” dan “Tiduk bae lah, bangun-bangun langsung dilantik”. 2 kalimat ini kerap terdengar sayup-sayup dihembus angin hingga masuk disela-sela dedaunan pohon di kebun saya.

Fenomena seperti menguatnya Kotak Kosong sebab masyarakat yang terdidik memandang bahwa demokrasi sedang dikebiri akibat pragmatisme kawin dengan keserakahan dan berpenghulu kebodohan. Kotak Kosong pun menjadi alternatif. Dari 3 daerah di Babel tadi, semarak Kotak Kosong di Pangkalpinang karena awal kemunculan para relawan dan simpatisan yang “mengkampanyekan” Kotak Kosong kerap diejek, diremehkan, ditertawakan oleh segelintir oknum atau kelompok.

Hal ini justru menjadi simpati besar bagi masyarakat yang awalnya hanya memendam pilihan dalam hati atau belum menentukan pilihan. Akhirnya fenomena Kotak Kosong semakin besar, bak bola salju. Sebab karakter masyarakat asli Bangka Belitung itu jangan diejek, diremehkan, ditertawakan, sebab pasti ia menjadi besar. Tapi seringkali karena dipuji, diagung-agungkan, diangkat-angkat, ditimang-timang, dibesar-besarkan, justru membuat jatuh dan akhirnya tenggelam oleh putaran kehidupan yang begitu cepat.

“Kotak Kosong dibilang ruang hampa bisa bikin linglung & bisa bikin gila….” ini yang bikin kata-katanya siapa ya, kok sepertinya menampakkan kedunguan (istilah Rocky Gerung) karena mungkin terjadi defisit intelektual. Ada lagi kalimat perbandingan yang jadi bahan mengolok-olok masyarakat kecil yang memilih Kotak Kosong. Kalimatnya bikin saya geleng kepala sebab kedunguan yang luar biasa diatas rata-rata kedunguan yang pernah terjadi di negeri ini, yakni: “Lebih baik Kotak Amal daripada Kotak Kosong dan bla-bla….. Mengapa pandangan saya bahwa ini kalimat kedunguan luar biasa?

Pertama, kalimat tersebut membandingkan sesuatu yang sebenarnya adalah sama. Sebab kotak amal ya memang kotak dan ia pasti berawal dari kekosongan sehingga harus diisi oleh orang-orang baik agar terjadi kebermanfaatan atau kemaslahatan. So, kotak kosong bisa menjadi kotak amal untuk orang-orang yang baik.

Kedua, muncul kalimat tersebut dan dibuatkan flayer serta ditampilkan di medsos-medsos, terlihat betapa Kotak Kosong bukan hanya dilawan dalam bilik suara, tapi juga dilawan oleh Timses Paslon Tunggal, terutama di Medsos. Padahal mentertawakan, mengejek dan meremehkan Kotak Kosong serta menyebarkannya beruapa flyer di medsos, adalah tindakan yang sangat tidak produktif. Justru tindakan seperti inilah yang akan membuat orang semakin mengenal dan ingin tahu mengapa ada istilah atau pilihan Kotak Kosong. Gen Z dan Milenial, adalah generasi yang memiliki kreativitas tinggi untuk ingin tahu yang besar.

Ketiga, Dari kalimat tersebut, keberadaan Kotak Kosong dianggap kebalikan dari Kotak Amal. Sehingga perbandingan yang dibuat masih tataran mengolah kata, karena sama sama disebut kotak. Inilah pentingnya memahami kalimat bukan sekedar ada persamaan tulisan atau ucapan, lalu dijadikan perbandingan agar tidak cacat logika. Mentang-mentang awalanya kotak, yang satu diiringi kalimat “kosong” yang satu kalimat “amal”. Lalu dianggap yang kalimat amal lebih baik dari kalimat kosong. Padahal Kotak Kosong adalah netral, yang bisa diisi apapun bahkan oleh Kotak Amal itu sendiri. Sebab kotak amal berasal dari kotak kosong yang harus diisi.

Ah sudahlah, gara-gara turun gerimis di kebun, saya jadi iseng menulis ini dilayar handphone. Tapi apapun itu, nggak usah diseriusin, toh ini demokrasi dan kite semua adalah _”Seperadik Gale” yang masih gemar makan Rusep. Pilkada hanya sesaat, jadikan hiburan asyik saja. Lalu apapun yang sudah terjadi ya dimaklumi, karena pikiran bekelai dengan pikiran bukan dengan benda seperti kardus alias Kotak, kosong pula tanpa isi. Karena hanya orang sakit yang bekelai kek benda. Kalau orang waras, benda itu bukan lawan, tapi sesuatu yang dimanfaatkan untuk kemaslahatan. So, masih adakah kotak kosong? Saya butuh untuk mengisi barang-barang sebab itu sangat bermanfaat.

Oya, jika saja saya maju calon Ketua RT atau Ketua RW (sayangnya di kebun saya nggak ada RT apalagi RW), saya pastikan tidak akan maju kalau melawan Kotak Kosong. Mengapa? Karena selain saya masih manusia dan tentunya harus melawan manusia. Yang pasti kalau melawan Kotak Kosong, pastinya menang tidak terhormat, kalah tercela dan jadi bahan tawa.

Salam Kotak Kosong!

 

 

====
AHMADI SOFYAN (Atok Kulop) bukan Timses Pilkada 2024. Tinggal dikebun, nyangkul rumput, sesekali pulang ke Kota untuk menyaksikan riuh kota yang tak ada lagi senyuman tulus warganya dan sapa ramah sebagaimana dulu pernah didapatkan semua orang. Mengaku diri sebagai Penulis dan Pemerhati Sosial Budaya, padahal nggak sama sekali.


Eksplorasi konten lain dari Journalarta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Related Posts

Tinggalkan Komentar