DAERAHEKONOMINEWS

Dr. Marshal : Persoalan Beriga Merupakan Golden Moment Untuk Babel Dalam Mendapatkan Royalti 10%

PANGKALPINANG, JOURNALARTA.Com – Penolakan masyarakat terhadap pelaksanaan pertambangan laut di kawasan Batu Beriga dinilai dapat menjadi ‘Golden Moment’ dalam mendorong royalti PT Timah Tbk ke Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi lebih layak.

Dalam hal ini, salah satu ahli ekonomi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Dr. Marshal Imar Pratama mengatakan penolakan terhadap aktivitas pertambangan laut seharusnya juga merambat ke desa-desa lain, sehingga dapat menjadi salah satu dasar mengkaji ulang kehadiran pertambangan di Bangka Belitung mulai dari tata kelolanya sampai pembagian hasilnya untuk daerah.

“Sudah cukup selama ratusan tahun Babel dibodohi. Saya berharap Babel memiliki nilai tawar yang tinggi, yang bisa berdampak pada didapatkannya royalti 10% saat posisi PT Timah sedang dilematis. Terkadang manajemen konflik itu harus diciptakan dalam menggapai tujuan, apalagi ini tujuannya baik untuk Babel,” kata Marshal, kepada awak media, dikutip, Minggu (3/11/2024).

Menurut Marshal, PT Timah Tbk selalu berdalih pada kontribusinya yang besar terhadap Bangka Belitung, namun kenyataannya masih jauh dari yang diharapkan dan tidak sesuai dengan kerusakan lingkungan akibat pasca tambang tersebut.

“Begitu sulitnya PT Timah memberikan royalti 10% dengan alasan klasik, sampai mereka rela bocor Rp 300 triliun ketimbang memberikan kepada Babel,” ungkapnya.

Lebih lanjut dikatakan Marshal, dengan kerusakan yang telah ditimbulkan pasca tambang selama ini, Bangka Belitung haruslah memiliki nilai tawar yang lebih tinggi sehingga nantinya dari royalti itu Bangka Belitung dapat memperbaiki diri serta mensejahterakan masyarakat.

“Kita harus punya nilai tawar yang kuat, untuk mendapatkan hak secara permanen dari Timah di Babel, minimal 10 persen lah,” jelasnya.

Marshal juga menjelaskan bahwa royalti bisa saja dalam wujud obligasi atau surat berharga lainnya yang sudah menjadi aset dan saham bagi Bangka Belitung dalam bentuk investasi jangka panjang.

Ia menilai apa yang menjadi tuntutan ini sangatlah setimpal karena menurutnya selama ratusan tahun adanya aktifitas pertambangan timah, tidak ada yang didapatkan masyarakat Bangka Belitung. Artinya tidak ada kebermanfaatan untuk Bangka Belitung dari penambangan timah itu sendiri, kecuali hanya untuk menopang makan sehari-hari masyarakat saja.

“Kenyataanya Babel juga tidak bisa maju oleh masyarakatnya sendiri yang konservatif dalam berpikir serta bertindak, karena ada saja masyarakat yang berdalih pada lapangan pekerjaan bila pertambangan itu ditutup,” katanya.

“Padahal Babel bisa maju dengan sektor-sektor lainnya, dan isu seperti ini selalu dimunculkan pada saat terjadinya konflik antara pelaku pertambangan dengan masyarakat yang menolak pertambangan,” tambahnya.

Sementara itu terkait dalam menangani persoalan tambang ilegal, menurut Doktor Ilmu Ekonomi ini haruslah dilakukan pendekatan yang komprehensif terhadap masyarakat, khususnya yang terdampak secara langsung.

Kendati begitu, Marshal juga tak menampik bahwa hingga saat ini masih begitu banyak masyarakat yang mejadikan sektor tambang sebagai mata pencarian utama dan penutupan tambang tanpa alternatif dapat berdampak buruk terhadap ekonomi lokal.

Berikut contoh solusi yang ditawarkan dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat :

  1. Pelatihan dan Pendidikan Keterampilan Alternatif kepada masyarakat sesuai latar belakang pendidikan masyarakat, seperti pertanian, peternakan, atau usaha kecil dan Program ini bisa disesuaikan dengan potensi daerah setempat.

  2. Dukungan untuk Usaha Mikro dalam bentuk bantuan modal atau akses ke kredit mikro bisa diberikan bagi mereka yang ingin memulai usaha baru setelah tambang ditutup.

  3. Pengembangan Ekonomi Lokal perlu mengidentifikasi potensi lain yang ada di daerah tersebut, seperti pariwisata, kerajinan, atau pertanian berkelanjutan, dan mendukung perkembangan sektor tersebut untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru.

  4. Keterlibatan Komunitas dalam Keputusan yang melibatkan komponen dan elemen masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan terkait penutupan tambang. Dengan adanya dialog, solusi yang lebih adil dan berkelanjutan dapat dirancang bersama.

“Pendekatan seperti ini menunjukkan bahwa kebijakan tidak hanya memikirkan kelestarian lingkungan, tetapi juga kesejahteraan masyarakat itu sendiri,” ungkapnya.

Kendati demikian, Marshal kembali menegaskan bahwa tujuan pembahasan kali ini tak lepas dari kontribusi PT Timah untuk Bangka Belitung, bahkan bila perlu ‘manajemen konflik’ akan dimunculkan sebagai nilai tawar bagi Bangka Belitung kepada PT Timah Tbk, agar keinginan dalam menaikan royalti dapat terwujud.

“Kita hanya menginginkan nilai tawar yang tinggi dalam kontribusi timah melalui royalti 10% tersebut, karena lambat laun Timah akan habis dan pengangguran pasti akan terjadi, bila hanya mengandalkan 1% dari royalti timah, kapan kita bisa membangun Babel kembali,” tutupnya.(*)


Eksplorasi konten lain dari JournalArta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

What's your reaction?

Related Posts

Tinggalkan Komentar