JAKARTA, JOURNALARTA.COM – Kejaksaan Agung RI (Kejagung) menegaskan penetapan status tersangka kepada Eks Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Lembong (TTL) dalam perkara impor gula telah sah dan berdasar hukum karena dilakukan sesuai prosedur. Penegasan dari Kejagung sebagai termohon tersebut disampaikan sebagai jawaban keterangan dalam sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada Selasa, 19 November 2024.
Kejagung meminta seluruh permohonan pemohon Thomas Lembong ditolak dan tidak dapat diterima pengadilan. Permohonan praperadilan tersebut teregister di PN Jakarta Selatan Nomor: 113/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel tanggal 5 November 2024 perihal Permohonan Praperadilan Tentang Sah atau Tidaknya Penahanan dan Penetapan tersangka Thomas Lembong.
“Dalam Jawaban/Keterangan Termohon, disampaikan bahwa Termohon dalam hal ini Kejaksaan Agung menolak seluruh dalil yang disampaikan oleh Pemohon atau pihak Tersangka TTL kecuali terhadap hal-hal yang secara tegas diakui oleh Termohon dalam jawaban,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Dr. Harli Siregar, S.H., M.Hum dalam keterangan tertulisnya dikutip, Selasa (19/11).
Kejagung menegaskan bahwa penetapan tersebut sudah sah dan berdasar hukum karena didahului dengan adanya penyidikan untuk mengumpulkan alat bukti, serta adanya minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP.
Menurut Harli, dalam proses penyidikan perkara tersebut, termohon selaku penyidik telah mendapatkan bukti permulaan yaitu tercukupinya minimal dua alat bukti. Bahkan, penyidik memperoleh empat alat bukti berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang didapatkan dari Alat Bukti Keterangan Saksi, Alat Bukti Keterangan Ahli, Alat Bukti Surat, dan Alat Bukti Petunjuk maupun Barang Bukti Elektronik berdasarkan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
“Oleh karena itu selanjutnya Termohon selaku Penyidik melaksanakan proses penetapan tersangka dalam perkara a quo,” ujar Harli.
Dalam jawabannya, Kejagung juga menyatakan penetapan Thomas Lembong sebagai tersangka sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 yaitu tersangka telah terlebih dahulu diperiksa sebagai saksi oleh termohon selaku penyidikan.
Pemeriksaan Thomas Lembong sebagai saksi telah dilakukan sebanyak empat kali pada Oktober 2024 yaitu pada tanggal 8, 16, 22, dan 29.
Dari pengumpulan Alat Bukti Keterangan Saksi, Alat Bukti Keterangan Ahli, Alat Bukti Surat, dan Alat Bukti Petunjuk maupun Barang Bukti Elektronik, Kejagung menyimpulkan bahwa terdapat perbuatan melawan hukum berupa penyimpangan dalam kegiatan importasi gula kristal mentah (GKM) untuk diproduksi menjadi gula kristal putih (GKP) yang tidak sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Kepmenperindag Nomor: 527/Mpp/Kep/9/2024, Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Permendag Nomor 117 Tahun 2015 yang mengakibatkan kerugian keuangan negara oleh karena itu penyidik telah mendapatkan Alat Bukti Surat.
Terkait Perhitungan Kerugian Keuangan Negara oleh BPKP tersebut telah sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 31/PUU-X/2012 tanggal 8 Oktober 2012 pada halaman 53-54, yang pada pokoknya menentukan bahwa Penyidik Tindak Pidana Korupsi bukan hanya dapat berkordinasi dengan BPK dan BPKP dalam rangka pembuktian Tindak Pidana Korupsi, melainkan dapat berkordinasi dengan instansi lain.
“Bahwa dalil-dalil dari Pemohon tidak didasarkan pada argumentasi hukum dan dasar hukum yang memadai serta hanya merupakan asumsi dari pemohon. Oleh karenanya dalil Pemohon haruslah ditolak. Penahanan terhadap Pemohon telah berdasar hukum dan sah menurut hukum,” tegas Kapuspenkum.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Kejagung menilai semua dalil yang dijadikan alasan kuasa hukum Thomas Lembong dalam permohonan praperadilan tidak benar.
Dengan kesimpulan tersebut, Kejagung dalam eksepsinya memohon Pengadilan Praperadilan Penahanan dan Penetapan tersangka Thomas Lembong menerima eksepsi dari termohon untuk seluruhnya menyatakan PN Jaksel tidak berwenang memeriksa, mengadili dan memutuskan Permohonan Praperadilan Nomor: 113/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel, karena cacat formil dan bukan merupakan objek kewenangan Praperadilan serta menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).(*/Puspenkum)
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.