JAKARTA, JOURNALARTA.COM – Kejaksaan Agung (Kejagung) membantah tuduhan plagiat atas pendapat tertulis dua ahli hukum pidana yang diajukan dalam persidangan praperadilan perkara impor gula atas tersangka Thomas Lembong (TTL) yang berlangsung pada Jumat, 22 November 2024 lalu.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Dr. Harli Siregar, S.H., M.Hum menyebut, tuduhan plagiat tersebut dilontarkan oleh kuasa hukum Thomas Lembong terhadap dua ahli hukum pidana yaitu Prof. Hibnu Nugroho dan Taufiq Rahman, Ph.D. Keberatan kuasa hukum ini didasarkan pada adanya kemiripan poin-poin dalam pendapat tertulis kedua ahli tersebut.
“Kami menegaskan bahwa tuduhan plagiat ini adalah upaya yang keliru dalam memahami proses hukum dan peran pendapat ahli di persidangan,” tegas Harli dalam keterangannya dikutip, Selasa (26/11/2024).
Dalam persidangan praperadilan, Kejagung sebagai pihak termohon menghadirkan lima ahli yang memberikan keterangan. Kelimanya adalah Ahli Hukum Pidana Prof. Hibnu Nugroho, Taufiq Rahman Ph.D, dan Prof Agus Surono, Ahli Hukum Administrasi Negara Dr. Ahmad Redi, Auditor pada BPKP, Evenry Sihombing.
Selain Prof. Agus Surono yang menyampaikan pendapat hukum secara tertulis, seluruh ahli yang diajukan Kejagung hadir di persidangan.
5 Alasan Kejaksaan Agung
Menurut Harli, ada lima alasan yang mendasari penilaian Kejagung bahwa tuduhan plagiat oleh kuasa hukum Thomas Lembong tidak berdasar. Alasan pertama adalah pendapat tertulis yang diajukan ahli hanya berfungsi sebagai pointer dan bukan bukti tertulis. Pointer tersebut dibuat untuk merangkum poin-poin penting sesuai arahan Hakim guna mendukung efisiensi persidangan.
“Pointer tersebut bukan alat bukti surat sebagaimana diatur dalam KUHAP, melainkan referensi bagi Hakim dan pihak-pihak terkait,” ujar Harli.
Alasan kedua adalah adanya perbedaan jumlah halaman dan pokok bahasan dari dua pendapat tertulis ahli yang diajukan Kejagung. Pendapat tertulis dari Prof. Hibnu Nugroho diketahui terdiri dari lima halaman dengan sembilan pokok persoalan. Sementara Taufik Rahman memberikan pendapat tertulisnya sebanyak tujuh halaman dengan 18 pokok persoalan.
“Hal ini menunjukkan adanya perbedaan substansi, meskipun terdapat kesamaan pandangan dalam beberapa aspek, seperti dasar hukum penetapan tersangka yang mengacu pada PERMA Nomor 4 Tahun 2016 dan Putusan MK Nomor: 21/PUU-XII/2014,” kata Harli.
Kejagung juga berpandangan nilai hukum terletak pada keterangan langsung di persidangan sebagimana ketentuan Pasal 186 KUHAP.
Dalam kasus ini, kedua ahli hadir di persidangan dan menyampaikan pandangannya sesuai keahlian masing-masing. Hakim juga telah menyatakan bahwa pointer tertulis tersebut dapat menjadi rujukan dalam penilaian perkara.
Sementara terkait kesamaan pandangan di kalangan ahli, Kapuspenkum menilai, hal itu mencerminkan konsistensi interpretasi hukum dari para ahli terhadap isu yang dibahas.
Alasan terakhir, lanjut Harli adalah pemohon tidak bisa membedakan antara pendapat ahli dan jawaban tertulis.
“Pendapat ahli diberikan di persidangan untuk menjawab berdasarkan pendapatnya atas objek gugatan Praperadilan, sementara jawaban dibuat secara tertulis yang dituangkan point utama saja atas pertanyaan,” jelasnya.
Dengan pertimbangan tersebut, Harli menegaskan para ahli yang hadir di persidangan pada dasarnya tidak perlu dan tidak ada keharusan untuk membuat keterangan secara tertulis.
Namun untuk efektifitas persidangan, Hakim yang memeriksa permohonan Praperadilan dalam perkara a quo meminta kepada Pemohon maupun termohon agar disiapkan pointer keterangan ahli.
“Kejaksaan Agung tetap berkomitmen untuk menjalankan tugas dengan profesionalisme dan menjunjung tinggi asas keadilan,” tegas Harli.(*)