OPINI

Daulat Rakyat : Evaluasi Kecil Pilkada Serentak 3 Wilayah di Babel

Oleh : AHMADI SOFYAN

 

 

BANGKA BELITUNG, JOURNALARTA.COM – SEJAK kemaren sore, banyak telpon, WA dan DM di instagram yang masuk ke HP saya. Semua berkaitan dengan hasil Quick Count Pilkada Serentak 2024 di Kepulauan Bangka Belitung. Bahkan malamnya salah satu Tokoh Nasional, Bang Fachry Ali cukup lama menelpon. Banyak kisah dan cerita serta analisa yang kita jadikan bahan diskusi via telpon tadi malam. Sambil mengurai tawa, pastinya.

Sedangkan yang WA dan DM di Instagram rata-rata anak muda. Nampak riang gembira dari komentar mereka, ternyata dimata mereka anak-anak muda ini, hasil dari buah demokrasi dalam Pilkada Serentak 2024 kali ini benar-benar menciptakan hasil riang gembira. Kepada semua yang berkomunikasi itu saya katakan, rakyat telah berdaulat, telah merdeka dalam memilih dan nampak hasilnya sangat membahagiakan, maka pahlawan dari semua ini adalah rakyat, bukan tokoh A bukan tokoh B dan sebagainya. Rakyat telah menentukan pilihan yang mereka inginkan. Kalau kita merasa menang, maka berterima kasih lah kepada rakyat. Kalau kita merasa kalah, maka interospeksi dirilah mengapa rakyat mengambil sikap tak seperti yang kita inginkan. Pasti ada banyak hal yang membuat rakyat memiliki alasan untuk berkata “tidak” pada keinginan kita, bahkan dengan mempercayakan kepada “Kotak Kosong” sekalipun.

Setidaknya ada 3 fenomena unik hasil Pilkada yang menarik banget untuk dikupas di Negeri Serumpun Sebalai, yakni Pangkalpinang, Bangka dan Pilgub Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sedikit saya ingin mengupas sisi menarik dari hasil 3 Pilkada ini dari kacamata saya sebagai “urang kebun” yang pastinya banyak salah ketimbang benar. So, nggak usah dilanjutin bacanya, sebab nggak penting banget kan?. Toh saya nulisnya juga iseng saat duduk ditepian sungai di kebun.

 

Pilwako Pangkalpinang

Pertama, seperti diprediksi bahwa bola salju kotak kosong terus menggelinding disebabkan oleh keangkuhan, ketamakan, kepedean, serta sikap-sikap mengolok-olok dari Tim Paslon Tunggal kepada kelompok kecil (awalnya kecil) yang mengusung pendaftaran Kotak Kosong ke KPU Pangkalpinang. Segelintir kelompok kecil yang dipimpin Eka Mulya, Muhammad Zen, Sukma Wijaya, Guru Natsir, Badaruddin Usman, dan lain-lain ini diperolok sedemikian rupa, baik di medsos maupun di warkop-warkop.

Kepedean Paslon Tunggal bersama Tim yang mayoritas bukan politisi, membuat rasa “gerem” masyarakat Kota Pangkalpinang yang awalnya tak terlalu mempedulikan soal demokrasi perebutan kekuasaan. Sikap yang memukul bukan merangkul, mengejek bukan mengajak, mengutamakan sentiment bukan argument membuat para tokoh masyarakat tergerak “melawan” dengan menebarkan segala kemampuan yang ada untuk menyatukan persepsi dan berakhir menyatukan pilihan yang satu, yakni Kotak Kosong. Pujian yang terlalu “mantak” alias berlebihan dari Tim Paslon Tunggal justru semakin membuat jauh dari rakyat pemilih. Seharusnya mereka tahu bahwa karakter masyarakat Bangka ini sangat “jijik” dengan seseorang atau kelompok yang terlalu memuji penguasa secara berlebihan, apalagi kita terlalu menunjukkan kedekatan pribadi dengan penguasa. Justru ini seringkali ditampilkan dan puja puji yang selalu berlebihan membuat rakyat pemilih mengembalikan karakter aslinya sebagai “urang Bangka tulen”.

Kedua, Semakin mendekati hari pencoblosan, kepanikan dari Paslon Tunggal sudah nampak, misalnya membentuk Satgas Anti Money Politic, padahal yang dilawan Kotak Kosong yang pastinya jauh banget akan ber-money politic, menebarkan beras dan minyak goreng berton-ton, mendata KTP warga, bahkan konon menggerakkan ASN dan honorer, semuanya disaksikan masyarakat. Hal ini justru menjadi barometer penilaian rakyat sebelum memberikan suara di TPS. Ada apa dengan kekuasaan yang begitu ingin didapatkan kembali?

Ketiga, Kepedean Paslon Tunggal sangat nampak ketika awal pencalonan. Kalimat “berpasangan dengan siapapun menang” digaungkan oleh orang-orang terdekat. Setelah pendaftaran ke KPU dan menjadi calon tunggal, kalimat lain disebarkan “Tiduk bae lah, bangun-bangun dilantik”. Akhirnya kalimat-kalimat itulah yang membangkitkan semangat para tokoh dan aktivis di Kota Pangkalpinang bergegas turun gunung membersamai kelompok kecil pelopor Kotak Kosong agar Palson Tunggal “dak pacak tiduk”. Ketika saya mendengar kalimat tersebut, langsung bibir ini mengeluarkan kata-kata: “Oke, kite bikin die dak pacak tiduk. Ko mulai dengan Rusep Berasa Tempoyak”. Selanjutnya keberadaan Pemuda Pangkalpinang Bersuara dengan kreativitas luar biasa, membuat semakin semarak Kotak Kosong ditengah masyarakat. Kreativitas anak-anak muda ini memiliki fans tersendiri dikalangan pengguna media sosial.

Keempat, salah gaya keliru cara. Begitulah saya menyebutnya dari masa kepemimpinan masa lalu hingga masa kampanye Pilkada 2024 oleh Paslon Tunggal ini. Salah gaya salah cara diawali dari orang-orang terdekat yang sangat berlebihan. Misalnya bagaimana perilaku para honorer yang lebih “berkuasa” dari ASN yang notabene atasan. Bagaimana kendaraan dinas dipakai oleh orang-orang dekat dan sebagainya. Lalu, yang sangat memperihatinkan adalah menjadikan pembangunan seakan-akan milik pribadi (diberitakan dan dipuja puji oleh orang-orang terdekat berlebihan, padahal semua rakyat tahu bahwa itu adalah uang negara bukan uang pribadi).

Kelima, menganggap yang tidak masuk kelompoknya adalah musuh. Tentu ini sangat berlawanan dengan ilmu politik di dunia manapun dan dalam periode atau abad mana pun. Orang yang tidak merapat belum tentu musuh, bahkan kelompok yang berseberangan sekalipun tak mau dianggap musuh. Hal ini terjadi selama masa kepemimpinan Paslon Tunggal 1 periode dan dilanjutkan pada masa pencalonan dan kampanye. Disinilah awal sekat besar itu menjadi sangat terlihat dan dirasakan oleh banyak tokoh serta anak-anak muda lainnya.

 

Pilbup Bangka

Senyap tapi mematikan, tak ada gerakan besar Kotak Kosong sebagaimana Kota Pangkalpinang. Ini murni rakyat masing-masing (pemilih) menentukan. Rakyat benar-benar berdaulat tanpa ada gerakan manapun bahkan tak ada saksi di TPS. Walau sosok Paslon Tunggal dianggap “dak taipau”, bermasyarakat, namun kalangan perkotaan (Sungailiat) dan ASN rata-rata tak sreg dengan kepemimpinan Mulkan periode lalu. Hal ini nampak dari desas desus defisit anggaran di Pemda. Pasangan Tunggal di Kabupaten Bangka sudah yakin memperoleh kemenangan, sehingga kampanyenya sangat standar yakni kampanye dialogis. Tak ada bazar beras & minyak goreng murah seperti di Pangkalpinang. Andaikata itu dilakukan, mungkin tak begini ceritanya sebab wilayah Kabupaten Bangka adalah wilayah pedesaan. Paslon Tunggal juga tidak menggerakkan Timses (atau memang tidak ada, kecuali Timses kader Partai) di Pedesaan, sehingga masyarakat pemilih menganggap Pilkada kali ini suasananya beda dan kurang seru. Akhirnya berimbas, sebab kepemimpinan Paslon tunggal, oleh karenanya pilih kotak kosong saja. Begitu yang banyak saya dengar dari mulut warga di kampung-kampung.

Kurangnya kreativitas dalam mengkampanyekan diri serta “tak ada oleh-oleh” kepada masyarakat yang disambangi cukup mempengaruhi pilihan walau hanya kotak kosong. Kabupaten Bangka berbeda dengan Pangkalpinang. Kalau di Pangkalpinang, warganya tak lagi mempan dengan pencitraan seakan-akan merakyat, diberi ini itu, dirangkul cem kek seperadik, dibuat ingel-ingel cem kek merakyat banget. Tidak semudah itu Ferguso menarik perhatian rakyat Pangkalpinang. Nah, kalau Kabupaten Bangka yang notabene pedesaan, hal tersebut masih laku. Inilah jawaban mengapa Paslon Tunggal Bangka Selatan berhasil bahkan meraih suara signifikan.

Pilgub Provinsi Kep. Babel

Hasil Quick Count Pilgub Babel benar-benar diluar prediksi, alias banyak yang kaget bahkan “tekangak”. Paslon serba lengkap, Erzaldi – Yuri yang notabene putra Sang Menteri, Yusril Ihza Mahendra harus menelan kenyataan pahit dengan dikalahkan oleh pasangan biasa-biasa saja, Hidayat Arsani – Hellyana. Kenapa saya katakan biasa-biasa saja? Hidayat Arsani dan Hellyana yang tak selengkap Erzaldi – Yuri dari sisi intelektual, spiritual, sosial, bahkan mungkin mental, akhirnya harus mengakui kesaktian Hidayat Arsani yang akrab disapa Panglima.

Ada beberapa catatan saya pribadi mengapa ini terjadi.

Pertama, pasangan Erzaldi – Yuri tidak menggerakkan mesin partai. Saya melihat dari jauh, Timses yang digunakan adalah anak-anak muda yang masih belajar politik medsos, bukan politik sosial kemasyarakatan. Erzaldi – Yuri dan Tim juga sepertinya sudah sangat yakin meraih kemenangan, bahkan saya yang bukan tim pun merasakan hal tersebut. Jujur, saya memprediksi pasangan Erzaldi – Yuri tak akan mampu dikalahkan oleh Hidayat Arsani – Hellyana. Cara kampanye Erzaldi jauh berbeda dengan kampanye periode pertama dulu. Dalam periode ini, tak ada lagi kalimat “minta tolong” kepada orang-orang atau tokoh-tokoh supaya membantu kemenangannya. Tak ada lagi kalimat “mengajak” dan sebagainya. Tapi lebih pada visi misi yang ditebarkan di media-media online yang memenuhi ruang “langok” pengguna media sosial. Sikap yakin dan pasti menang inilah yang justru tidak ada dalam pribadi Hidayat Arsani – Hellyana dan Timsesnya.

Kedua, mesin partai bahkan ketua partai dan para anggota dewan dari partai pendukung tidak dimanfaatkan untuk mengkampanyekan Erzaldi – Yuri. Justru banyak anak-anak muda baru nongol yang mengkampanyekan dengan cara “muat urang langok”, misalnya “nue igak nge-share berita-berita yang dianggap oleh kalangan masyarakat banyak, terlalu “wah”, tidak membumi. Beberapa kader partai pengusung dan Anggota Dewan pernah curhat hal ini kepada saya bahwa mereka tak pernah dihubungi dan dimintakan bantu Paslon yang diusung oleh partai mereka.

Ketiga, ramainya pemberitaan kasus Pertimahan di Kejagung dan beberapa kasus di Kejati dan Polda Babel, membuat nama Erzaldi sangat berpengaruh dikalangan pemilih. Hal ini tidak bisa dipungkiri, bahwa masyarakat menilai dan menganalisa bahwa Erzaldi akan terkekang oleh kasus-kasus yang dihadapi, sehingga tak banyak yang bisa dilakukan jika memimpin di periode kedua.

Keempat, Hidayat Arsani sebagai rival politik yang notabene praktisi dan apa adanya, blak-blakan, dak pintar berargument, dak lihai merangkai kata saat debat, lebih menarik minat masyarakat untuk “mencoba” pemimpin baru. Erzaldi yang agak sedikit otoriter dalam kepemimpinannya di periode pertama dianggap sebagian masyarakat bentuk dari keangkuhan. Walaupun sikap otoriter adalah salah satu karakter kepemimpinan.

Nah, inilah sedikit analisa dari tepian sungai di kebun yang pastinya “dak” semue e benar dan dak usah dijadikan patokan. Sebab saya bukan pengamat politik yang sesungguhnya.
Pointnya, berbuat baiklah dengan cara yang tulus kepada masyarakat, bukan demi pencitraan. Bersikap biasa saja, tak usah keliat pintar igak, manfaatkan orang-orang terdekat dan gunakan kemampuan orang-orang yang jauh, pahami dan dengarkan keinginan masyarakat dan tak perlu berjanji indah. Bisa katakan bisa, tidak katakan tidak, jangan sampai “aok dak betitik”. Selanjutnya oligarki dan nepotisme dalam politik itu sangat tidak disenangi di ranah Melayu. Partai politik hendaknya introspeksi diri (kalau bisa), tak semua yang punya duit bisa dijadikan figur pemimpin. Pilkada Serentak 2024, alhamdulillah dan terima kasih rakyat sudah berdaulat.

Salam Pilkada!

Pondok Kebun, 28 November 2024

=====
AHMADI SOFYAN alias Atok Kulop. Bukan tokoh apalagi pengamat politik, tapi lebih nyaman disebut tukang “ngeruce” pejabat negeri. Banyak menghabiskan waktunya di kebun tepi sungai.

What's your reaction?

Related Posts

1 of 1,041

Beri Komentar Anda