OPINI

Menyelamatkan Mangrove Terabek dari Jerat Tambang Ilegal: Ujian Hukum dan Integritas Aparat di Bangka Barat

Oleh : Rikky Fermana,.S.IP,C.Med,C.Par.,C.NG.

BANGKA BELITUNG, JOURNALARTA.COM – Kawasan mangrove di perairan Terabek, Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang menjadi paru-paru dunia, kini berada di ambang kehancuran akibat aktivitas penambangan ilegal. Puluhan ponton isap produksi (PIP) atau tambang inkonvensional (TI) apung beroperasi di wilayah ini, merusak ekosistem tanpa mengindahkan aturan hukum yang ada. Situasi ini menjadi cerminan dari lemahnya penegakan hukum yang seharusnya melindungi lingkungan dan generasi mendatang.

Kerusakan Ekosistem dan Pelanggaran Hukum

Kerusakan mangrove di Terabek tidak hanya menghancurkan habitat flora dan fauna, tetapi juga melanggar berbagai undang-undang. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas mengatur sanksi berat bagi pelaku perusakan lingkungan. Pasal 98 dan 99 undang-undang ini mengancam pelaku dengan pidana penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp15 miliar.
Selain itu, aktivitas tambang ilegal ini juga bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pasal tersebut mengamanatkan perlindungan ekosistem pesisir, dengan ancaman pidana bagi perusak lingkungan. Lebih jauh, Pasal 109 UU Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa kegiatan tanpa izin lingkungan dapat dipidana tiga tahun penjara dan denda Rp3 miliar.
Namun, kendati dasar hukum yang jelas telah tersedia, pelanggaran terus berlangsung tanpa tindakan tegas dari aparat penegak hukum.

Koordinator dan Aktor Utama: Kebal Hukum?

Sumber-sumber terpercaya mengungkapkan bahwa aktivitas tambang ilegal ini dikendalikan oleh tokoh-tokoh tertentu yang diduga kebal hukum. Nama IW dan SN mencuat sebagai koordinator utama. IW, yang dikenal dengan julukan ‘IW Boncel,’ bahkan dikabarkan menggunakan nama Polres Bangka Barat sebagai tameng untuk melegitimasi operasinya.
Tambang ilegal ini menghasilkan timah yang kemudian ditampung oleh cukong berinisial AJ dan AT. Dugaan kuat menunjukkan bahwa mereka memiliki jaringan luas hingga melibatkan oknum aparat penegak hukum (APH), LSM, dan media. Struktur yang mapan ini membuat aktivitas ilegal terus berjalan tanpa hambatan.

Jika aparat penegak hukum tidak segera bertindak, situasi ini akan menjadi preseden buruk yang menunjukkan lemahnya supremasi hukum di Indonesia, khususnya dalam melindungi lingkungan.

Polri dan Ujian Ketegasan Penegakan Hukum

Polri sebagai institusi penegak hukum harus menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk menunjukkan integritas dan komitmennya terhadap perlindungan lingkungan. Ketidakmampuan atau kelambanan dalam menangani kasus ini hanya akan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara.
Penegakan hukum tidak hanya sekadar menangkap para pelaku di lapangan, tetapi juga menyasar aktor intelektual yang berada di balik kegiatan ilegal ini. Mereka yang menikmati keuntungan besar dari perusakan lingkungan harus diadili sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Penerapan sanksi yang tegas juga harus menjadi prioritas untuk memberikan efek jera. Dalam hal ini, Polri dapat bersinergi dengan Gakum KLHK (Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan) untuk memastikan bahwa setiap pelanggaran tidak dibiarkan tanpa konsekuensi.

Tanggung Jawab Semua Pihak

Kerusakan mangrove di Terabek bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga tanggung jawab moral semua pihak, termasuk masyarakat, media, dan pemerintah daerah. Masyarakat perlu diberdayakan untuk memahami pentingnya menjaga lingkungan sebagai warisan bagi generasi mendatang.
Media, sebagai pilar keempat demokrasi, harus terus menyoroti kasus ini secara kritis, sehingga tekanan publik dapat mendorong aparat bertindak lebih tegas. Pemerintah daerah juga perlu mengambil langkah nyata dengan memantau dan mengawasi aktivitas di kawasan pesisir secara ketat.

Menjaga Masa Depan Generasi Mendatang

Mangrove di Terabek bukan sekadar hamparan tanaman, tetapi benteng alami yang melindungi pesisir dari abrasi, menjaga kualitas air, dan menjadi habitat bagi berbagai spesies. Kehancurannya akan berdampak panjang, mengancam keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku tambang ilegal adalah langkah awal untuk menyelamatkan kawasan ini. Jika tidak ada tindakan nyata, kita semua akan menjadi saksi dari sebuah tragedi lingkungan yang sulit dipulihkan.
Kini, semua mata tertuju pada aparat penegak hukum. Apakah mereka akan menunjukkan keberanian dan integritas, atau justru tunduk pada tekanan dari kepentingan tertentu? Jawabannya akan menjadi tolok ukur sejauh mana negara ini mampu melindungi masa depannya.

———————————————————
Penulis : Rikky Fermana, Ketua DPD PJS Bangka Belitung/Penanggungjawab Kantor Berita Online Bangka Belitung (KBO Babel)

Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan atau keberatan dalam penyajian artikel, opini atau pun pemberitaan tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan atau berita berisi sanggahan atau koreksi kepada redaksi media kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan ayat (12) undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.

Baca berita kami yang lainnya di Google News dan Halaman Utama

What's your reaction?

Related Posts

1 of 1,052

Beri Komentar Anda