BANGKA BARAT, JOURNALARTA.COM – Kawasan Hutan Lindung di Daerah Aliran Sungai (DAS) mangrove Desa Belo Laut, Kecamatan Mentok, Kabupaten Bangka Barat, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung kembali menjadi sasaran tambang timah ilegal. Kamis (13/2/2025).
Aktivitas ini semakin mengkhawatirkan mengingat kawasan tersebut merupakan ekosistem yang seharusnya dilindungi, bukan dihancurkan demi keuntungan segelintir pihak.
Rekaman video yang diperoleh dari jaringan media KBO Babel menunjukkan puluhan ponton isap produksi (PIP) atau tambang ilegal apung (TI Rajuk) beroperasi bebas di luar izin usaha pertambangan (IUP).
Mereka secara terang-terangan menambang di kawasan hutan lindung yang jelas dilarang untuk aktivitas tambang, bahkan dengan adanya papan peringatan larangan yang seakan tidak dihiraukan oleh para penambang maupun pihak yang mengkoordinir operasi tersebut.
Siapa di Balik Tambang Ilegal Ini?
Berdasarkan informasi dari sumber yang enggan disebutkan namanya, tambang ilegal ini diduga dikelola oleh seseorang berinisial SY dan disebutkan pula nama IWN Bcl.
Kedua nama ini santer disebut sebagai aktor utama di balik perusakan kawasan mangrove tersebut. Bahkan, ada dugaan kuat bahwa mereka merasa kebal hukum, kemungkinan besar karena adanya perlindungan dari oknum aparat penegak hukum (APH) setempat.
Dugaan bahwa APH menerima dana “koordinasi” alias jatah atau setoran dari koordinator PIP semakin menguat dengan adanya pembiaran terhadap aktivitas ilegal ini. Publik pun mempertanyakan, sampai kapan praktik ilegal ini terus berlangsung tanpa ada tindakan tegas dari pihak berwenang?
Pelanggaran Hukum yang Terjadi
Aktivitas tambang ilegal ini jelas-jelas melanggar berbagai ketentuan hukum di Indonesia, di antaranya:
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
– Pasal 158: Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin usaha pertambangan (IUP) dapat dipidana penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
– Pasal 69 Ayat (1): Setiap orang dilarang melakukan perusakan lingkungan, termasuk ekosistem mangrove.
– Pasal 98: Pelanggaran terhadap aturan lingkungan hidup dapat berujung pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar.
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
– Pasal 50 Ayat (3) Huruf g: Setiap orang dilarang menambang dalam kawasan hutan lindung tanpa izin.
– Pasal 78: Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp5 miliar.
Aparat Bungkam, Publik Menunggu Tindakan Tegas
Tim media telah mencoba menghubungi Kapolres Bangka Barat untuk meminta klarifikasi terkait aktivitas ilegal ini. Namun, hingga berita ini dipublikasikan, tidak ada respons dari pihak kepolisian maupun instansi APH lainnya.
Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa aparat penegak hukum setempat telah menerima setoran dari penambang timah ilegal, sehingga mereka memilih bungkam daripada menindak pelaku.
Padahal, Kapolri sendiri telah menginstruksikan jajarannya untuk segera bertindak tegas dalam memberantas tambang ilegal sebelum permasalahan ini semakin luas dan viral di masyarakat.
Namun kenyataannya di Belo Laut pelanggaran hukum justru semakin terang-terangan dan pembiaran terus berlangsung.
Menunggu Keberanian Penegak Hukum
Masyarakat Bangka Belitung kini menantikan keberanian aparat untuk menegakkan hukum dan menghentikan perusakan lingkungan yang terjadi di Belo Laut.
Jika praktik ini terus dibiarkan, bukan hanya lingkungan yang akan rusak, tetapi juga kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum akan semakin tergerus.
Siapa yang akan berani bertindak tegas? Ataukah hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil sementara cukong tambang tetap bebas beraksi? (*/KBO Babel)