
Penulis: Rindiani Aprillia Cauntesa
Indonesia Nuclear Youth Society
Bangka Belitung, Journalarta.com – Krisis energi global, yang diperburuk oleh invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022, telah secara signifikan memperkuat peran isu ketahanan energi dalam forum internasional. Ancaman dan gangguan terhadap rantai pasokan energi global merefleksikan kerentanan sistem energi yang ada dan menyorot kebutuhan mendesak terhadap sumber energi yang dapat diandalkan, aman, dan berkelanjutan.
Dalam hal ini, energi nuklir menjadi bagian dari solusi yang tidak hanya meningkatkan ketahanan energi namun juga mencapai tujuan transisi energi rendah karbon. Ini merupakan komitmen yang diakui dalam global stocktake COP28 (Kardaś, 2024; Keppler, 2024). Energi nuklir menawarkan kombinasi sumber daya berkelanjutan, kategori rendah emisi yang dapat menggantikan penggunaan bahan bakar fosil yang secara geopolitik tidak stabil dan harganya sangat fluktuatif (Sustainability Directory, 2025). Namun, energi nuklir juga berkaitan erat dengan dinamika geopolitik yang kompleks, termasuk persaingan kekuatan besar, ketergantungan rantai pasokan, isu non-proliferasi senjata nuklir, keamanan fasilitas, dan kepentingan strategis nasional.
Energi Nuklir sebagai Instrumen Geopolitik
Secara historis dan kontemporer, energi nuklir berperan penting dalam percaturan geopolitik. Peningkatan risiko geopolitik (Geopolitical Risk (GPR)) sering menyebabkan negara mencari kemandirian energi yang lebih besar, yang dapat menempatkan pembatasan pengembangan sumber energi domestik (Gordon & Derentz, 2024; Sustainability Directory, 2025; Zheng et al., 2025). Menurut Zheng et al. (2025), GPR memiliki dampak positif jangka panjang pada produksi energi nuklir, sebagaimana negara mencoba meminimalkan ketergantungannya terhadap bahan bakar fosil yang diimpor serta rentan terhadap kestabilan.
Memproduksi energi nuklir di dalam negeri juga berarti menjadikannya kurang bergantung pada pasokan asing, yang dapat meningkatkan otonomi energi. Guncangan energi di masa lalu, seperti krisis minyak tahun 1973, terbukti menjadi katalis bagi program nuklir yang ambisius, contohnya program Messmer Plan di Prancis (Gilmore, G. N. et al., 2025).
Ekspor teknologi nuklir kemudian menjadi cara bagi negara-negara pemasok untuk membangun hubungan strategis jangka panjang dan memperluas pengaruh geopolitik mereka. Reaktor nuklir yang memiliki umur operasional 60 tahun atau lebih, menciptakan ketergantungan teknis, finansial, serta hukum antara negara pembeli dan penjual. Hubungan bilateral ini dapat berkembang menjadi aliansi strategis (Andrews-Speed, 2024b; Vakhshouri, 2024a).
Hal ini juga memicu persaingan geopolitik, terutama antara Amerika Serikat, Rusia, dan Cina, untuk memperebutkan kepemimpinan dalam industri nuklir global dan pasar ekspor. Pengembangan dan penguasaan teknologi nuklir canggih menjadi simbol status dan kekuatan teknologi suatu negara.
Pergeseran kepemimpinan menuju Asia, dengan Cina memimpin pembangunan reaktor baru secara global (Andrews-Speed, 2024b; Luciani, 2024; N et al., 2025). AS dan sekutunya kemudian berusaha menawarkan alternatif teknologi nuklir yang menjunjung standar keselamatan, keamanan, dan non-proliferasi tertinggi untuk menandingi tawaran Rusia dan Cina (Gordon & Derentz, 2024). Selain itu, isu non-proliferasi senjata nuklir menjadi fokus utama. Teknologi dan material nuklir yang rentan dialihkan untuk tujuan militer diawasi sangat ketat secara internasional oleh IAEA karena sangat penting untuk mencegah penyebaran senjata nuklir (Sustainability Directory, 2025).
Geopolitik Rantai Pasokan Nuklir
Rantai pasokan nuklir global sangat terkonsentrasi dan dipengaruhi oleh pertimbangan geopolitik. Rusia memainkan peran dominan di berbagai tahap siklus bahan bakar nuklir. Meskipun bukan produsen uranium mentah terbesar, Rusia menguasai sekitar 40% kapasitas konversi global dan 46% kapasitas pengayaan global (Andrews-Speed, 2024b; Vakhshouri, 2024a). Rosatom juga mendominasi pasar fabrikasi bahan bakar untuk reaktor desain Soviet (VVER) yang banyak digunakan di Eropa Timur dan negara lain (Vakhshouri, 2024a) . Dominasi ini, ditambah dengan pengaruhnya di negara-negara penambang uranium seperti Kazakhstan, memberikan Rusia pengaruh signifikan.
Persaingan untuk mendapatkan sumber daya uranium juga merupakan faktor geopolitik (Andrews-Speed, 2024a).
Ketergantungan AS dan Uni Eropa pada layanan pengayaan dan konversi Rusia menjadi sorotan tajam setelah invasi ke Ukraina. Negara-negara Eropa yang mengoperasikan reaktor VVER kini aktif mencari diversifikasi pasokan bahan bakar, beralih ke pemasok Barat seperti Westinghouse dan Framatome (Viček, 2024). Ukraina menjadi contoh sukses dalam upaya diversifikasi ini, berhasil mengganti pasokan Rusia di hampir seluruh rantai nilai nuklirnya, mulai dari penambangan, konversi (bekerja sama dengan Cameco Kanada), pengayaan (dengan Urenco Inggris), hingga fabrikasi bahan bakar (dengan Westinghouse) dan penyimpanan limbah (Henderson, 2024).
Namun, diversifikasi ini seringkali hanya mengalihkan ketergantungan dari satu pemasok (Rusia) ke pemasok lain (Westinghouse), belum menciptakan pasar yang benar-benar kompetitif.
Sementara itu, Cina, dengan program nuklir domestik yang berkembang pesat, juga sangat bergantung pada impor uranium dan layanan siklus bahan bakar. Strategi Cina melibatkan kombinasi produksi domestik, pembelian di pasar internasional, dan investasi ekuitas di tambang uranium luar negeri (terutama di Afrika dan Kazakhstan) untuk mengamankan pasokan jangka panjang. Cina juga sedang mengembangkan kapasitas pemrosesan ulang bahan bakar bekas (Andrews-Speed, 2024a).
Aspek lain yang sering terabaikan adalah keterkaitan antara industri nuklir dan produksi isotop medis. Rusia juga mendominasi pasar global untuk banyak isotop medis penting yang dihasilkan di reaktor nuklir, menciptakan kerentanan pasokan bagi negara-negara Barat (Vakhshouri, 2024b).
Small Modular Reactor (SMR) dan Dimensi Geopolitiknya
Reaktor Modular Kecil (Small Modular Reactor (SMR)) digadang-gadang sebagai masa depan energi nuklir karena potensi fleksibilitas penyebaran, kemungkinan biaya lebih rendah melalui produksi massal, dan fitur keselamatan yang ditingkatkan (Rogner et al., 2024; Steuer, n.d.).
Dari sudut pandang geopolitik, SMR dilihat oleh AS sebagai teknologi kunci untuk bersaing dengan Rusia dan Cina di pasar ekspor global, terutama di negara-negara berkembang atau lokasi terpencil. Ada potensi “manfaat limpahan” (spillover benefits) dari proyek-proyek militer ke aplikasi sipil SMR (Gordon & Derentz, 2024; N et al., 2025). Namun, keberhasilan penyebaran SMR global memerlukan kerja sama internasional dalam standardisasi dan harmonisasi peraturan.
Meskipun demikian, SMR masih menghadapi tantangan signifikan terkait ketidakpastian biaya (NuScale membatalkan proyek SMR pertama di AS karena lonjakan biaya), kematangan teknologi, dan solusi pengelolaan limbah jangka panjang (Kåberger & Nilsson, 2024; Kardaś, 2024; McCombie et al., 2024). Isu limbah SMR, yang mungkin memiliki karakteristik berbeda dari reaktor besar, dapat mendorong pengembangan solusi multinasional seperti tempat penyimpanan geologis bersama.
Tantangan dan Ketidakpastian Geopolitik
Meskipun minat terhadap nuklir meningkat, beberapa tantangan mendasar tetap ada. Kelayakan ekonomi energi nuklir terus dipertanyakan karena biaya modal awal yang sangat tinggi, waktu konstruksi yang lama, dan seringnya terjadi penundaan serta pembengkakan biaya, membuatnya sulit bersaing dengan energi terbarukan yang semakin murah. Ketergantungan pada subsidi dan jaminan pemerintah masih menjadi ciri khas proyek nuklir baru.
Persepsi publik dan kekhawatiran keselamatan, yang dibentuk oleh kecelakaan nuklir di masa lalu seperti Chernobyl dan Fukushima, tetap menjadi hambatan signifikan, meskipun catatan keselamatan industri nuklir secara keseluruhan relatif baik. Keamanan fasilitas nuklir dari serangan fisik atau siber juga menjadi perhatian geopolitik yang meningkat (Sustainability Directory, 2025). Komunikasi risiko yang efektif dan transparansi menjadi kunci, namun potensi kecelakaan di masa depan (skenario Catastrophe Contraction) tidak dapat diabaikan (N et al., 2025).
Ketidakpastian kebijakan iklim (CPU) dan risiko geopolitik (GPR) secara langsung memengaruhi pasar energi nuklir dan sektor terkait seperti hidrogen dan kecerdasan buatan (AI) (Aslam, 2025). CPU cenderung menyebabkan gangguan jangka pendek, sementara GPR memiliki dampak yang tertunda namun lebih persisten dan dapat meningkatkan keterkaitan (dan potensi penularan risiko) antar sektor dalam jangka panjang (Aslam, 2025; Zheng et al., 2025). GPR dapat secara bersamaan mendorong (mencari sumber domestik) dan menghambat (gangguan rantai pasokan, keamanan) pengembangan nuklir.
Kesimpulan
Energi nuklir kembali mendapatkan perhatian signifikan dalam lanskap energi global, didorong oleh kebutuhan mendesak akan ketahanan energi dan dekarbonisasi. Namun, jalurnya sangat dipengaruhi oleh dinamika geopolitik yang kompleks. Persaingan antar kekuatan besar (AS, Rusia, Cina) untuk supremasi teknologi dan pengaruh pasar ekspor, kontrol strategis atas rantai pasokan siklus bahan bakar, isu non-proliferasi, serta persepsi risiko dan keamanan, semuanya membentuk masa depan energi nuklir. Risiko geopolitik berfungsi sebagai pedang bermata dua: mendorong negara-negara menuju kemandirian energi melalui sumber domestik seperti nuklir, sekaligus menciptakan ketidakpastian dan potensi gangguan dalam rantai pasokan dan kerja sama internasional.
Sementara teknologi baru seperti SMR menawarkan harapan, tantangan ekonomi, regulasi, pengelolaan limbah, dan penerimaan publik yang tinggi. Mewujudkan potensi energi nuklir untuk ketahanan energi dan tujuan iklim global memerlukan navigasi yang cermat dalam lanskap geopolitik yang rumit ini, menyeimbangkan kepentingan nasional dengan kebutuhan kerja sama internasional dan manajemen risiko yang hati-hati. (Red)
Situs Pasti Scam Indonesia, BOKEP JAPAN KONTOL KAU