
Oleh: Faidatul Hikmah
(Mahasiswa Magister Hukum Universitas Bangka Belitung)
Pangkalpinang, Journalarta.com – “Hidup baik adalah dasar hukum yang baik,” tulis Prof. Satjipto Rahardjo dalam bukunya, Hukum dan Perilaku. Gagasan ini menegaskan bahwa kualitas suatu sistem hukum tidak semata-mata diukur dari seberapa lengkap peraturan yang dibuat, tetapi sejauh mana hukum mampu menciptakan kehidupan yang adil, sejahtera, dan bermartabat bagi manusia. Dengan kata lain, hukum harus menjadi sarana untuk mewujudkan the good life.
Paradigma pemikiran Pak Tjip tersebut menjadi relevan ketika dikaitkan dengan arah pembangunan energi nasional, khususnya dalam konteks rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia. Pemanfaatan energi nuklir untuk menghasilkan listrik bukan hanya soal modernisasi teknologi, tetapi tentang bagaimana hukum mengawal dan menjamin transisi menuju kehidupan yang lebih baik bagi generasi kini (intra-generational equity) dan mendatang (inter-generational equity). Energi nuklir, sebagai sumber energi rendah karbon, kini kembali dipertimbangkan di berbagai negara sebagai bagian dari transisi menuju sistem energi bersih dan net zero emission.
Sejak reaktor nuklir pertama menghasilkan listrik pada 1950-an, tenaga nuklir telah menjadi bagian dari bauran energi global. Meski sempat mengalami fluktuasi popularitas akibat kekhawatiran publik terhadap isu keselamatan dan limbah radioaktif, pada dekade terakhir energi nuklir kembali menempati posisi strategis sebagai solusi atas krisis energi dan perubahan iklim.
Indonesia pun, melalui kebijakan Net Zero Emission 2060, mulai menatap serius opsi pembangunan PLTN sebagai bagian dari diversifikasi energi nasional.
Sebagai mahasiswa hukum, penulis memandang bahwa diskursus mengenai PLTN tidak cukup dibatasi pada aspek teknis, melainkan perlu ditinjau dari aspek hukum dan hak asasi manusia. Di balik narasi “energi bersih” dan “energi hijau”, muncul pertanyaan mendasar: apakah pembangunan PLTN benar-benar sejalan dengan prinsip hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 65 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup?
Hukum dan Hak atas Energi Bersih
Pembangunan PLTN pada dasarnya merupakan ujian moral dan hukum tentang bagaimana bangsa ini menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan penghormatan terhadap nilai kemanusiaan. Dilema yang muncul dalam masyarakat sering kali berakar pada kekhawatiran akan keselamatan dan pengelolaan limbah radioaktif. Namun, dari perspektif hukum, dua hal tersebut sesungguhnya telah mendapatkan pengaturan yang cukup komprehensif, baik dalam instrumen nasional maupun internasional.
Pertama, aspek keselamatan dan keamanan telah diatur dalam berbagai regulasi, antara lain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2012 tentang Keselamatan dan Keamanan Instalasi Nuklir, serta Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2023 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif.
Bahkan, Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2009 telah mengatur secara rinci mengenai tanggung jawab atas kerugian nuklir yang mungkin timbul, termasuk mekanisme kompensasi bagi masyarakat terdampak.
Dalam lingkup hukum internasional, Indonesia juga aktif mengadopsi prinsip-prinsip keselamatan internasional yang diatur oleh International Atomic Energy Agency (IAEA), dengan menerapkan mekanisme perizinan berlapis serta sistem pengawasan independen melalui Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Ini menegaskan bahwa pembangunan PLTN tidak dilakukan secara serampangan, melainkan berdasarkan prinsip safety first dan accountability.
Kedua, pengelolaan limbah radioaktif juga telah mendapatkan perhatian serius dalam regulasi nasional, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif dan berbagai peraturan teknis yang diterbitkan oleh BAPETEN. Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan polluter pays principle menjadi landasan penting agar pembangunan PLTN tetap sejalan dengan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Namun demikian, di tengah kompleksitas perkembangan teknologi dan dinamika global, revisi dan pemantapan kerangka regulasi tetap menjadi kebutuhan mendesak. Hal ini diperlukan bukan karena kelemahan hukum yang ada, melainkan untuk memastikan bahwa seluruh norma hukum yang mengatur energi nuklir mampu menjawab tantangan aktual, menjamin kepastian hukum, serta mengedepankan asas kemanfaatan dan keadilan bagi seluruh warga negara.
Reformulasi kebijakan hukum nuklir yang berorientasi pada keadilan ekologis dan kesejahteraan publik akan memperkuat legitimasi moral dan hukum pembangunan PLTN. Dengan demikian, energi nuklir tidak hanya menjadi simbol kemajuan teknologi, tetapi juga manifestasi nyata dari hukum yang berpihak pada kehidupan yang lebih baik.
PLTN, HAM, dan Jalan Menuju Kehidupan yang Lebih Baik
Sering kali, penolakan terhadap PLTN berangkat dari narasi ketakutan historis seperti tragedi Chernobyl atau Fukushima. Padahal, konteks sosial, teknologi, dan kerangka hukum saat ini telah jauh berbeda. Indonesia memiliki peluang untuk belajar dari pengalaman global dan memastikan bahwa seluruh proses pembangunan PLTN berlandaskan prinsip good governance, transparansi, dan partisipasi publik sebagaimana telah diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Jika ditinjau dari perspektif hak asasi manusia, pembangunan PLTN justru dapat dimaknai sebagai pemenuhan hak atas pembangunan dan hak atas energi yang bersih dan berkelanjutan.
Energi yang stabil dan rendah emisi merupakan prasyarat bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat, sebagaimana diamanatkan dalam United Nations Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Tujuan ke-7 (Affordable and Clean Energy).
Dalam perspektif HAM, pembangunan PLTN harus mempertimbangkan tiga kewajiban utama negara, diantaranya, Pertama, To Respect (Menghormati) – negara tidak boleh melanggar hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat; Kedua, To Protect (Melindungi) negara wajib melindungi warga dari dampak buruk atau kelalaian dalam pengelolaan nuklir; Ketiga, To Fulfil (Memenuhi) negara harus aktif menciptakan kebijakan energi yang berkelanjutan dan adil.
Prinsip-prinsip ini sejalan dengan Deklarasi Stockholm (1972) dan Deklarasi Rio de Janeiro (1992) yang menjadi tonggak hukum lingkungan internasional, menegaskan bahwa hak atas pembangunan harus berjalan seiring dengan perlindungan lingkungan.
Jika pembangunan PLTN dilakukan tanpa partisipasi publik, tanpa transparansi, dan tanpa jaminan keselamatan ekologis, maka negara berisiko melanggar kewajiban HAM-nya sendiri.
Lon Luvois Fuller, Filsuf Hukum dalam pemikirannya menegaskan bahwa hukum yang baik harus memiliki “tujuan moral internal” yang mengarah pada ketertiban dan kesejahteraan manusia. Maka, dalam konteks ini, keberanian Indonesia membangun PLTN dengan dasar hukum yang kokoh dan pengawasan yang transparan adalah bagian dari perjalanan menuju moral order hukum, tatanan hukum yang menjamin keberlanjutan kehidupan, bukan sekadar kepatuhan pada prosedur formal.
Dengan demikian, pembangunan PLTN bukanlah bentuk pengabaian terhadap HAM dan lingkungan, melainkan bentuk aktualisasi tanggung jawab negara untuk menjamin akses terhadap energi yang adil, bersih, dan berkelanjutan bagi seluruh warga negara.
Sebagaimana dikatakan Prof. Satjipto Rahardjo, hukum harus mengabdi pada kemanusiaan. Membangun PLTN dengan dasar regulasi yang kuat, pengawasan yang transparan, dan partisipasi masyarakat yang bermakna merupakan wujud nyata dari cita-cita hukum yang “hidup”, hukum yang menghadirkan kehidupan yang baik.
Pembangunan PLTN bukan sekadar proyek energi, melainkan langkah strategis menuju good life society, masyarakat yang hidup dalam keseimbangan antara kemajuan teknologi, kelestarian lingkungan, dan martabat kemanusiaan. Dengan fondasi hukum yang kokoh, PLTN dapat menjadi simbol keberanian Indonesia melangkah menuju masa depan energi bersih dan berkeadilan. (Red)