Beranda OPINI Radiasi: Teman atau Musuh? Fakta di Pancaran Energi yang Sering Disalahpahami

Radiasi: Teman atau Musuh? Fakta di Pancaran Energi yang Sering Disalahpahami

4
Radiasi: Teman atau Musuh? Fakta di Pancaran Energi yang Sering Disalahpahami
Penulis: Anastasya Dwi Mulia (Mahasiswi Universitas Bangka Belitung)

 

Bangka Belitung, Journalarta.com – Ketika mendengar kata radiasi, banyak orang langsung membayangkan sesuatu yang menakutkan, bom atom, bencana Chernobyl, atau efek samping mengerikan dari paparan sinar nuklir. Padahal, tanpa disadari, kita hidup berdampingan dengan radiasi setiap hari. Dari sinar matahari pagi yang menghangatkan kulit, hingga alat rontgen di rumah sakit yang menyelamatkan nyawa, semua itu adalah bentuk radiasi. Pertanyaannya, apakah radiasi benar-benar musuh manusia? Ataukah ia sebenarnya teman yang selama ini disalahpahami?

Radiasi di Sekitar Kita

Secara sederhana, radiasi adalah proses perpindahan energi melalui gelombang atau partikel. Berdasarkan asalnya, radiasi terbagi menjadi dua: alami dan buatan. Radiasi alami berasal dari unsur-unsur radioaktif yang sudah ada di bumi sejak terbentuk miliaran tahun lalu, seperti uranium dan thorium. Sementara radiasi buatan dihasilkan dari aktivitas manusia, seperti penggunaan bahan radioaktif dalam kedokteran, industri, atau penelitian. Senin (3/10/2025).

Setiap detik, tubuh manusia terpapar radiasi alami dalam dosis sangat kecil, yang disebut “background radiation.” Sumbernya berasal dari batuan bumi, udara, makanan, bahkan dari tubuh kita sendiri karena unsur kalium-40 yang bersifat radioaktif. Dalam jumlah tersebut, radiasi tidak berbahaya—bahkan menjadi bagian normal dari kehidupan di planet ini.

Radiasi Terkendali Yang Aman

Ketakutan terhadap radiasi sering muncul karena persepsi yang keliru, terutama akibat pemberitaan bencana nuklir masa lalu. Padahal, radiasi tidak selalu identik dengan bahaya. Seperti halnya api, radiasi bisa menjadi alat yang berguna bila dikendalikan dengan benar.

Contohnya, dalam bidang kesehatan, sinar-X digunakan untuk mendiagnosis tulang patah, CT scan untuk melihat organ dalam tubuh, dan terapi radiasi (radioterapi) membantu menghancurkan sel kanker tanpa operasi besar. Tanpa teknologi ini, diagnosis dan pengobatan penyakit berbahaya akan jauh lebih sulit.

Di bidang industri, radiasi digunakan untuk mengukur ketebalan material, mendeteksi keretakan pada pipa atau logam (nondestructive testing), dan bahkan mensterilkan alat medis serta bahan pangan. Dalam pertanian, radiasi gamma dimanfaatkan untuk menciptakan varietas tanaman unggul yang tahan hama dan memiliki hasil panen lebih tinggi.

Semuanya aman karena dilakukan di bawah kendali ketat, mengikuti prinsip “ALARA” (As Low As Reasonably Achievable)  yaitu memastikan paparan radiasi sekecil mungkin tanpa mengurangi manfaatnya.

Namun tentu saja, radiasi bisa berbahaya jika paparannya terlalu besar atau tidak terkendali. Jenis radiasi yang paling sering dikaitkan dengan bahaya adalah radiasi pengion (ionizing radiation), seperti sinar gamma, sinar-X, dan partikel alfa atau beta. Energi tinggi dari radiasi jenis ini dapat mengionisasi atom dalam sel tubuh, merusak DNA, dan memicu gangguan kesehatan bila melebihi ambang batas aman.

Paparan jangka panjang dalam dosis tinggi dapat menyebabkan gejala seperti mual, kelelahan, dan dalam kasus ekstrem, penyakit radiasi akut. Namun, perlu digarisbawahi bahwa kondisi seperti itu sangat jarang terjadi dan umumnya hanya dialami oleh pekerja atau korban insiden nuklir tanpa perlindungan yang memadai.

Di sisi lain, paparan dosis rendah yang sering ditakuti masyarakat, seperti dari pemindaian medis atau peralatan industri, sebenarnya tidak menimbulkan efek langsung yang berbahaya. Lembaga internasional seperti IAEA (International Atomic Energy Agency) dan WHO telah menetapkan batas aman paparan radiasi yang diterapkan secara ketat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia melalui BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir).

Standar Keselamatan Radiasi di Indonesia

Indonesia memiliki regulasi yang sangat ketat terkait penggunaan sumber radiasi dan bahan nuklir. Semua instalasi yang menggunakan radiasi pengion, baik rumah sakit, laboratorium, maupun fasilitas industri, harus memperoleh izin operasi dari BAPETEN.

Selain itu, terdapat sistem pengawasan rutin, pelatihan bagi pekerja radiasi, serta pemantauan dosis individu melalui film badge atau dosimeter. Tujuannya jelas: memastikan bahwa setiap orang yang bekerja dengan radiasi mendapat perlindungan maksimal, dan masyarakat di sekitar fasilitas tersebut tetap aman.

Kasus paparan radiasi Cesium-137 (Cs-137) di kawasan industri Cikande, Banten, pada tahun 2025 memang menjadi pengingat penting tentang bagaimana sisa atau limbah radioaktif dapat muncul kembali di luar konteks pengawasan yang semestinya. Dalam kasus tersebut, sumber kontaminasi berasal dari aktivitas peleburan logam bekas (scrap metal) yang tanpa sengaja mengandung isotop radioaktif hasil peluruhan nuklir. Namun, penting untuk dicatat bahwa peristiwa ini tidak terkait dengan kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), melainkan berasal dari sumber radioaktif bekas industri non-nuklir yang tidak dikelola sesuai standar keselamatan radiasi.

Berbeda jauh dengan kegiatan industri biasa, sistem keselamatan pada PLTN dirancang berdasarkan prinsip defense-in-depth atau pertahanan berlapis. Prinsip ini memastikan bahwa bahkan jika satu lapisan perlindungan gagal, masih ada lapisan lain yang mencegah pelepasan material radioaktif ke lingkungan.

Setiap komponen yang mengandung bahan radioaktif berada di dalam sistem tertutup yang sangat terkendali, seperti bejana tekan reaktor, sistem pendingin primer, serta containment building—struktur beton dan baja yang mampu menahan tekanan ekstrem maupun kejadian luar biasa seperti gempa atau ledakan internal.

Selain itu, PLTN modern seperti desain Thorcon 500 yang sedang dikembangkan untuk Indonesia mengadopsi teknologi molten salt reactor dengan sistem keselamatan pasif. Artinya, apabila terjadi gangguan, reaktor akan secara otomatis menurunkan daya dan menonaktifkan diri tanpa memerlukan intervensi manusia atau suplai listrik eksternal.

Dalam reaktor jenis ini, bahan bakar tidak berada dalam bentuk batang padat, tetapi tercampur dengan garam cair yang stabil secara kimia, sehingga kemungkinan terjadinya pelelehan bahan bakar (meltdown) seperti di Chernobyl praktis tidak mungkin.

PLTN juga berada di bawah pengawasan ketat BAPETEN, yang menetapkan standar keselamatan jauh lebih tinggi dibandingkan sektor industri biasa. Setiap aktivitas, mulai dari pengangkutan bahan nuklir, operasi reaktor, hingga pembuangan limbah radioaktif, diawasi secara real time dan memerlukan izin berlapis. Karena itulah, insiden seperti penyebaran Cs-137 di Cikande hampir tidak mungkin terjadi dalam sistem PLTN, sebab seluruh sumber radioaktif di fasilitas nuklir terinventarisasi dengan rinci, terisolasi di lingkungan yang terkendali, dan dilengkapi sistem deteksi kebocoran berlapis.

Radiasi dalam Perspektif Sains dan Edukasi

Sayangnya, banyak mitos seputar radiasi yang masih hidup di masyarakat. Beberapa di antaranya seperti “semua yang mengandung nuklir pasti berbahaya,” atau “PLTN pasti menyebabkan kanker.” Padahal, menurut penelitian WHO, dosis radiasi yang diterima masyarakat sekitar PLTN modern jauh di bawah dosis alami yang diterima dari lingkungan.

Sebagai contoh, seseorang yang tinggal dekat PLTN hanya menerima tambahan paparan sekitar 0,01 milisievert (mSv) per tahun, jauh lebih kecil dibandingkan 2–3 mSv paparan alami dari alam. Artinya, tinggal di sekitar PLTN sebenarnya lebih aman daripada naik pesawat terbang jarak jauh yang memberikan dosis radiasi kosmik lebih tinggi.

Edukasi publik menjadi kunci untuk mengubah persepsi ini. Melalui pendekatan ilmiah dan komunikasi yang sederhana, masyarakat bisa memahami bahwa radiasi—seperti listrik atau bahan kimia, memiliki dua sisi: berbahaya jika disalahgunakan, bermanfaat jika dikendalikan.

Radiasi dan Masa Depan Energi Bersih

Dalam konteks transisi energi global, teknologi berbasis nuklir menjadi bagian penting dari solusi menuju dunia bebas karbon. Reaktor generasi baru seperti Small Modular Reactor (SMR) bahkan dirancang dengan tingkat keselamatan yang sangat tinggi dan limbah radioaktif yang lebih sedikit.

Dengan memanfaatkan energi dari fisi nuklir, PLTN dapat menghasilkan listrik dalam jumlah besar tanpa menghasilkan emisi karbon, menjadikannya mitra ideal bagi energi terbarukan seperti surya dan angin.

Namun, keberhasilan implementasi energi nuklir tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kepercayaan publik. Di sinilah pemahaman tentang radiasi memainkan peran sentral. Masyarakat yang paham bahwa radiasi bukan ancaman absolut, akan lebih terbuka terhadap pengembangan energi nuklir di masa depan.

Jadi, apakah radiasi itu teman atau musuh? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita memahaminya. Seperti pisau yang bisa digunakan untuk memasak atau melukai, radiasi hanyalah alat dan manusialah yang menentukan cara memanfaatkannya.

Dengan pengetahuan yang benar, regulasi yang kuat, dan penerapan prinsip keselamatan yang disiplin, radiasi justru menjadi sahabat manusia dalam sains, kesehatan, industri, dan energi. Tantangan kita bukanlah menolak radiasi, melainkan belajar hidup berdampingan dengannya secara cerdas dan bertanggung jawab. (Red)

4 KOMENTAR

Beri Komentar Anda