Beranda OPINI Menyamput Energi Baru di Pulau Timah

Menyamput Energi Baru di Pulau Timah

0
Menyamput Energi Baru di Pulau Timah
Oleh: Faidatul Hikmah, (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Bangka Belitung, penulis dan pembelajar)

 

Bangka Belitung, Journalarta.com – Bayangkan sebuah kapal besar yang hendak berlayar di lautan luas. Kapal itu bernama Indonesia, dan di dalamnya terdapat ratusan juta penumpang yang menaruh harapan: agar kapal ini tak kehabisan bahan bakar di tengah ombak zaman. Kini, nahkoda kapal itu dihadapkan pada pilihan: apakah terus mengandalkan kayu dan batu bara yang mulai menipis, atau berani beralih pada tenaga baru yang lebih kuat dan bersih tenaga nuklir.

Bangka Belitung adalah dermaga penting dalam pelayaran ini. Pulau kecil yang kaya timah itu kini diibaratkan seperti sebuah lentera di ujung kapal, tempat api kecil nuklir hendak dinyalakan untuk pertama kalinya di negeri ini. Namun sebagaimana setiap api, ia membawa dua wajah: cahaya dan panas, penerangan dan risiko.

Pembangunan PLTN di Bangka Belitung bukan sekadar proyek energi; ia adalah ujian kedewasaan bangsa dalam mengelola ilmu pengetahuan dan keberanian mengambil keputusan strategis. Sama halnya seperti seseorang yang hendak beranjak dewasa, ada rasa takut, ada keraguan, namun juga ada keyakinan bahwa tanpa melangkah, kita takkan pernah maju.

Sebagian pihak mungkin berkata, “Nuklir itu berbahaya.”

Namun bukankah api juga berbahaya, sebelum manusia belajar menyalakan dan mengendalikannya? Api bisa membakar, tetapi juga bisa menghidupkan peradaban. Begitu pula dengan nuklir ia bisa menjadi bencana jika salah kelola, tetapi bisa menjadi penyelamat jika diatur dengan bijak dan transparan.

Bangka Belitung punya alasan kuat untuk menjadi pionir. Daerah ini kaya sumber daya alam, stabil secara geologis, dan memiliki masyarakat yang adaptif terhadap kemajuan teknologi. Jika dikelola dengan partisipatif melibatkan masyarakat, akademisi, dan pemerintah maka PLTN bukan lagi momok, melainkan simbol kemandirian energi nasional.

Indonesia tidak bisa selamanya menjadi penonton dalam panggung transisi energi dunia. Dunia sedang berlari menuju energi bersih, sementara cadangan fosil kita semakin menua. Jika kita terus menunda, kita seperti kapal yang takut berlayar karena takut badai, padahal bahan bakarnya sudah hampir habis.

Sudah saatnya kita berhenti menunggu “waktu yang tepat.” Waktu yang tepat adalah ketika keberanian dan kesiapan bertemu. Dan mungkin, Bangka Belitung adalah tempat pertemuan itu.

Api di Laut Tenang

Langit Teluk Kelabat sore itu bagai lukisan yang setengah jadi oranye di ujung, lalu perlahan memudar ke biru tua. Dara berdiri di tepi dermaga, menatap laut yang sudah menjadi bagian dari hidup keluarganya sejak tiga generasi. Di sebelahnya, Pak Arman seorang insinyur senior dari BRIN menatap peta pembangunan PLTN yang tergelar di atas meja kayu. Di sanalah, jauh di tengah perairan itu, rencananya akan dibangun sesuatu yang kelak disebut sebagai tonggak sejarah bangsa: Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir pertama di Indonesia. Di kejauhan, ombak berkejaran pelan menepi di antara batu-batu granit yang sudah tua, seolah sedang mendengarkan perbincangan dua orang yang berdiri di bibir pantai.

“Jadi benar, Pak… nuklir akan dibangun di sini?” tanya Dara, mahasiswi hukum yang sedang meneliti kebijakan energi nasional. Suaranya bergetar, antara kagum dan cemas.

Pak Arman, seorang insinyur tua dari BRIN, tersenyum tipis. “Iya, Nak. Sudah lama kita menggantungkan harapan pada batu bara, gas, dan minyak. Tapi sumber itu makin menipis. Kalau negeri ini ingin tetap menyala, kita harus menyalakan api baru api yang tak berasap.”

“Api tanpa asap?” Dara mengerutkan dahi.

“Ya. Nuklir. Tapi bukan untuk perang, untuk kehidupan,” jawab Pak Arman sambil menatap laut, seperti sedang berbicara pada masa depan.

Bagi Dara, kata nuklir terdengar seperti dua sisi mata pisau: satu membawa harapan, satu lagi membawa ketakutan. Sejak kecil, ia sering mendengar cerita tentang Chernobyl dan Fukushima. Tapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa dunia sedang berlari mengejar energi bersih.

“Kenapa Bangka Belitung, Pak?”

“Karena pulau ini tenang, stabil, dan berani,” katanya mantap. “Tanah ini sudah puluhan tahun memberi timah pada negeri. Kini, saatnya ia memberi cahaya.”

Dara diam. Angin sore membawa aroma garam dan semangat yang entah kenapa terasa suci. Dalam hati kecilnya, ia merasa bahwa sejarah sedang ditulis bukan dengan pena, tapi dengan reaktor.

Ia menatap horizon, membayangkan reaktor raksasa berdiri di antara birunya laut dan hijau hutan mangrove. “Apakah benar ini untuk kebaikan semua?” bisiknya pelan.

Angin laut menerpa wajahnya. Di kejauhan, perahu nelayan satu per satu kembali ke pantai. Di antaranya ada perahu kecil milik Pak Hasan, tetangga lama yang sudah dianggap seperti paman sendiri. Dara tahu, Pak Hasan adalah orang yang paling keras menentang proyek PLTN itu.

Ketika perahu menepi, Pak Hasan turun sambil membawa jaring setengah kosong. “Ikan makin susah, Dar,” katanya. “Sekarang kau bilang pemerintah mau bangun nuklir di laut ini? Mau jadi apa kami nanti?”

Dara tak langsung menjawab. Ia hanya menatap jaring yang meneteskan air asin, seperti memeras kesedihan.

“Paman, mereka bilang teknologinya aman. Tidak akan merusak laut…”

“Orang kota selalu bilang ‘aman’,” potong Pak Hasan cepat. “Tapi kalau nanti ikan mati, mereka takkan datang menolong. Laut ini bukan cuma tempat cari makan. Ini rumah kami, Dar. Ini warisan buat anak cucu.”

Kalimat itu menghantam Dara lebih keras dari ombak. Ia ingin membantah dengan argumen akademis, tapi hatinya justru diam. Karena di sisi lain, ia tahu: ada kebenaran yang tak tertulis di jurnal mana pun kebenaran yang hidup dalam rasa takut kehilangan tanah dan laut sendiri. Di sisi lain, ia mendengar jerit halus dari kampung halamannya sendiri — suara para nelayan yang takut laut mereka akan berubah menjadi zona larangan.

Malam harinya, Dara menghadiri rapat desa di balai nelayan. Lampu-lampu minyak bergoyang diterpa angin. Di depan, beberapa pejabat dari Jakarta dan tim teknis BRIN menjelaskan tentang proyek itu: kapasitas energi, keamanan reaktor, manfaat bagi perekonomian lokal.

“Laut ini bukan cuma air asin, Pak!” seru Pak Hasan, nelayan paruh baya yang wajahnya keras karena matahari. “Ini tempat kami cari makan, tempat anak-anak kami belajar hidup. Kalau nanti reaktor itu bocor, siapa yang jamin ikan kami nggak mati?”

Suasana hening sesaat.

Dara memandangi mereka para ayah, ibu, dan anak-anak nelayan yang datang dengan wajah penuh cemas.

Pak Arman mencoba menjelaskan dengan tenang, “Kami sudah melakukan studi dampak lingkungan. Teknologi yang digunakan sangat aman. Bahkan lebih aman dari PLTU batu bara yang selama ini mencemari udara.”

Tapi kata aman terasa menggantung di udara.

Bagi masyarakat, aman bukan sekadar data teknis. Aman adalah soal perasaan. Soal laut yang mereka kenal dengan mata, tangan, dan hati.

“Kalau nanti ikan susah didapat, kami mau makan apa? Apa negara akan kasih ganti?” tanya seorang ibu muda, matanya berkaca-kaca.

“Dengan adanya PLTN, Bangka Belitung akan jadi daerah strategis energi nasional,” ujar salah satu pejabat muda dengan nada optimis. “Kita akan menciptakan lapangan kerja baru, ekonomi tumbuh, dan listrik stabil.”

Namun belum sempat ia selesai, suara gemuruh dari belakang ruangan memotong penjelasannya.

“Listrik untuk siapa? Untuk kami, atau untuk kota besar yang bahkan tak tahu laut ini ada?” teriak seorang nelayan tua.

“Kalau nanti ada limbah, apa laut kami masih bisa dipakai melaut?” tambah yang lain.

Dara menunduk. Dalam diamnya, ia tahu, pembangunan selalu membawa dua sisi: harapan dan kehilangan. Ia bergumam dalam hatinya, “Mungkin inilah wajah sejati kemajuan: bukan hanya tentang membangun, tapi juga tentang belajar mendengar.”

Suasana menjadi riuh. Dara hanya duduk diam di barisan tengah, mencatat tiap kata di buku kecilnya. Ia tahu, suara-suara itu bukan sekadar amarah itu ketakutan yang lahir dari cinta. Cinta pada laut yang memberi makan.

Pak Arman, yang duduk di depan, mencoba menenangkan suasana. “Bapak Ibu sekalian, kami paham kekhawatiran itu. Tapi izinkan kami bekerja dengan data, dengan ilmu. Nuklir hari ini bukan seperti dulu. Kami tidak bermain-main dengan keselamatan.”

Namun Pak Hasan berdiri, suaranya bergetar.

“Ilmu tanpa hati sama saja dengan kapal tanpa jangkar, Pak. Kami bukan menolak kemajuan, tapi tolong—jangan matikan laut kami.”

Kata-kata itu menggantung lama di udara.

Bahkan mesin kipas di balai itu berhenti berputar seolah ikut mendengarkan.

Setelah rapat usai, Dara keluar lebih dulu. Di luar, bulan menggantung di atas laut, bulat dan tenang. Ia menatap ke arah cahaya itu, merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan: pertemuan antara cinta pada negeri dan cinta pada tanah kelahirannya sendiri.

“Mungkin benar,” pikirnya, “kemajuan tak selalu berarti maju bagi semua orang.”

Ia tahu, perjuangannya baru dimulai. Di antara data dan debur ombak, ia harus mencari satu hal yang sering terlupakan dalam pembangunan besar: keadilan untuk yang paling kecil suaranya

Suara dari Dermaga

Pagi itu, Dara berjalan menyusuri dermaga yang basah oleh embun laut. Bau asin menusuk hidung, tapi baginya aroma itu selalu seperti pelukan masa kecil hangat dan jujur.

Di sana, para nelayan sedang menambal jaring, menyiapkan perahu, dan berbicara tentang satu hal yang sama: “reaktor”.

“Katanya nanti ada pagar besar, kapal nggak bisa lewat situ lagi,” ujar Sulaiman, nelayan muda sebaya Dara. “Laut yang biasa kami jadikan jalur tangkap bakal ditutup.”

“Laut itu bukan milik siapa-siapa,” sahut Pak Hasan, “tapi kalau sudah ada proyek, laut bisa tiba-tiba jadi milik negara.”

Dara menatap mereka dengan perasaan bersalah. Ia datang ke sini untuk melakukan penelitian hukum lingkungan, tapi setiap kali mendengar cerita itu, hatinya terasa kian berat.

Sore harinya, ia menulis di catatan lapangan:

“Di Bangka Belitung, laut bukan hanya sumber daya, tapi sumber jiwa. Jika PLTN dibangun tanpa menghormati laut, maka pembangunan itu kehilangan jiwanya.”

Di sisi lain, dosennya dari Jakarta, Prof. Mahendra, menelepon.

“Dara, ingat ya, kamu harus menulis dari sudut pandang objektif. Negara butuh energi bersih. Jangan terlalu terbawa emosi masyarakat lokal.”

“Iya, Prof,” jawab Dara lirih.

Tapi dalam hati ia tahu: objektif tak selalu berarti adil.

Malam itu ia kembali ke dermaga. Ombak memantulkan cahaya bulan, dan di antara gelombang, ia melihat bayangan dirinya seorang anak pulau yang kini harus menjadi jembatan antara dua dunia yang saling tak percaya.

Antara Data dan Doa

Beberapa minggu kemudian, Dara diundang menghadiri presentasi hasil AMDAL di kantor pemerintah provinsi. Dokumen setebal ratusan halaman dipaparkan dengan grafik dan istilah teknis: “safe zone radius”, “zero leakage probability”, “environmental compensation plan”.

Semua terdengar meyakinkan, hingga Dara membaca satu bagian kecil di halaman 143:

“Zona eksklusif maritim seluas 10 kilometer dari titik reaktor akan dibatasi untuk aktivitas perikanan tradisional.”

Tangannya bergetar. Ia tahu artinya sebagian wilayah tangkap nelayan akan hilang.

Setelah rapat, ia mendekati salah satu pejabat proyek.

“Pak, kenapa bagian ini tidak disebutkan saat sosialisasi di desa?”

Pejabat itu tersenyum kaku. “Itu urusan teknis, Nak. Nanti dijelaskan bertahap. Kalau disampaikan semua, masyarakat bisa salah paham.”

Dara menatapnya lekat. “Atau justru takut masyarakat benar paham, Pak?”

Sejak hari itu, Dara mulai gelisah.

Di satu sisi, ia percaya Indonesia butuh energi bersih. Tapi di sisi lain, ia tak rela melihat laut tempat ayahnya dulu melaut berubah menjadi pagar besi yang steril dari kehidupan.

Di malam Jumat, ia pergi ke pantai dan melihat Pak Hasan sedang membakar dupa kecil.

“Buat laut,” kata Pak Hasan. “Biar tenang. Laut juga punya nyawa.”

Dara duduk di sebelahnya. “Paman, kalau laut ini berubah, apa Paman akan tetap di sini?”

Pak Hasan tersenyum pahit. “Kalau laut sudah tak mau menerima kami, kami ke mana lagi, Dar? Kami lahir dari air asin, bukan dari pipa besi.”

Air mata Dara menetes pelan. Untuk pertama kalinya, ia sadar: pembangunan bukan sekadar soal listrik dan data, tapi tentang keberlanjutan hati manusia.

Cahaya yang Diperdebatkan

Desa itu kini terbagi dua:

Sebagian warga mendukung PLTN karena dijanjikan pekerjaan dan akses listrik gratis. Sebagian lagi menolak keras karena takut kehilangan laut dan lingkungan.

Spanduk-spanduk bermunculan:

“Selamatkan Laut Anak Cucu Kami!”

Dara terjebak di tengah pusaran itu. Ia diminta pemerintah menjadi mediator, tapi juga dicurigai oleh warga sebagai “orang kampus yang berpihak pada proyek”.

Dalam pertemuan desa terakhir, situasi memanas.

“Kami bukan anti kemajuan!” seru Pak Hasan. “Kami hanya ingin dilibatkan, bukan ditinggalkan!”

“Negara sudah memutuskan!” balas seorang pejabat muda. “PLTN ini untuk kepentingan nasional, bukan sekadar satu kampung!”

Suara saling bersahutan, hampir seperti badai.

Dara berdiri, menggenggam mikrofon dengan tangan gemetar.

“Bapak-bapak, Ibu-ibu… pembangunan ini seharusnya bukan tentang siapa yang menang, tapi tentang bagaimana semua bisa hidup berdampingan.”

Ruangan hening.

“Kalau kita menyalakan cahaya tapi memadamkan laut, apa arti terang itu?”

Malam itu, Dara menulis opini untuk media nasional:

“Energi nuklir bisa jadi berkah, tapi hanya jika transparan dan berkeadilan. Pembangunan tanpa mendengar adalah bentuk lain dari kegelapan.”

Tulisan itu viral. Pemerintah akhirnya menunda pelaksanaan proyek untuk meninjau ulang AMDAL dan melakukan dialog ulang dengan masyarakat.

Laut yang Menyala

Setahun kemudian.

Dara kembali ke dermaga. Laut tampak lebih tenang, dan di kejauhan, area yang dulu direncanakan untuk reaktor kini dipenuhi perahu nelayan.

Pemerintah memutuskan melanjutkan pembangunan PLTN, tapi dengan model hybrid zone: sebagian wilayah tetap terbuka untuk aktivitas tradisional, dan masyarakat dilibatkan dalam pengawasan lingkungan.

Pak Hasan kini menjadi anggota tim pengawas lokal, sesuatu yang dulu tak pernah ia bayangkan.

“Jadi kami tetap bisa melaut,” katanya tersenyum pada Dara. “Asal tetap jaga laut, tak ada yang dirugikan.”

Dara mengangguk.

Ia kini menulis buku berjudul “Keadilan Energi dari Ujung Pulau”. Dalam prolognya ia menulis:

“Kemajuan sejati bukan ketika manusia menaklukkan alam, tapi ketika mereka belajar berjalan bersamanya.”

Malam itu, Dara duduk di pantai, menatap cahaya biru dari jauh—bukan dari reaktor, tapi dari rumah-rumah nelayan yang kini tak lagi gelap.

Angin laut berembus lembut, membawa bisikan masa depan: bahwa cahaya yang lahir dari hati manusia akan selalu lebih terang dari apa pun yang diciptakan mesin.

Dan di cakrawala, Pulau Timah itu kini benar-benar menyala.

Pembangunan besar tidak pernah hanya tentang beton dan reaktor, tetapi tentang kepercayaan, dialog, dan penghormatan pada kehidupan yang telah lebih dulu berakar di tanah itu. Karena kemajuan tanpa kemanusiaan hanya akan menghasilkan terang yang membutakan.

Beri Komentar Anda