Beranda OPINI TEKNOLOGI AMAN UNTUK MENANGANI LAHAN TERKONTAMINASI RADIASI

TEKNOLOGI AMAN UNTUK MENANGANI LAHAN TERKONTAMINASI RADIASI

1
TEKNOLOGI AMAN UNTUK MENANGANI LAHAN TERKONTAMINASI RADIASI
Oleh : Indiani Aprillia Cauntesa, S.Si. Alumnus FMIPA, Universitas Lampung

 

Lampung – Kontaminasi lingkungan akibat logam berat dan zat radioaktif seperti Cesium-137 (Cs-137) dan Strontium-90 (Sr-90) masih menjadi perhatian dunia, terutama setelah peristiwa seperti Chernobyl, Fukushima, dan kasus lokal di Cikande. Cs-137 dikenal berbahaya karena masa paruhnya yang panjang dan kemampuannya menempel kuat pada tanah, sehingga sulit dibersihkan. Namun, teknologi modern telah membawa perubahan besar dalam cara kita menanganinya. Rabu (5/10/2025).

 

Kini, pendekatan remediasi tidak lagi terbatas pada metode kimia atau fisika semata. Peneliti menggabungkan teknologi canggih dengan proses alami seperti bioremediasi, yang memanfaatkan mikroorganisme dan tanaman untuk menyerap atau menstabilkan zat radioaktif. Di Fukushima, misalnya, penelitian terbaru menunjukkan bahwa pengendalian aliran air hujan dan pemanfaatan bahan penyerap khusus dapat secara signifikan menekan pergerakan Cs-137 ke lingkungan sekitar.

 

Dengan kemajuan teknologi dan pengawasan yang ketat, tantangan radiasi bukan lagi ancaman yang menakutkan. Teknologi nuklir modern justru menjadi bagian dari solusi, menunjukkan bahwa keselamatan dan keberlanjutan bisa berjalan beriringan.

 

Pendekatan Bioremediasi

 

Pendekatan bioremediasi kini menjadi salah satu cara paling menjanjikan untuk membersihkan lahan yang terkontaminasi radiasi, karena memanfaatkan kemampuan alami mikroorganisme untuk menetralkan zat berbahaya tanpa merusak lingkungan. Salah satu fokus utama penelitian modern adalah penggunaan bakteri tahan radiasi atau Radiation-Resistant Bacteria (RRB) seperti Deinococcus radiodurans, yang dikenal mampu bertahan dalam kondisi radiasi ekstrem yang bisa mematikan hampir semua bentuk kehidupan lainnya.

 

Bakteri ini bekerja melalui beberapa mekanisme alami. Pertama, proses biosorpsi, yaitu kemampuan bakteri menyerap ion logam radioaktif seperti uranium di permukaan selnya. Bakteri ini memiliki lapisan luar yang kaya gugus kimia aktif, seperti amida dan fosfat, yang bisa mengikat zat radioaktif dengan kuat. Kedua, ada proses bioreduksi, di mana bakteri mengubah zat radioaktif menjadi bentuk yang lebih stabil dan tidak mudah larut dalam air, sehingga mencegahnya menyebar ke lingkungan. Ketiga, melalui biomineralisasi, enzim yang dihasilkan bakteri membantu membentuk mineral baru yang mampu menjebak zat radioaktif secara permanen.

 

Kemampuan alami ini kini terus ditingkatkan lewat teknologi rekayasa genetika. Para peneliti, misalnya, telah mengubah D. radiodurans agar bisa memproduksi enzim tambahan seperti fosfatase, yang mampu mempercepat pengendapan uranium bahkan setelah terkena radiasi intensitas tinggi. Ada juga eksperimen yang menggabungkan gen dari bakteri lain untuk memungkinkan penanganan beberapa jenis kontaminan sekaligus, seperti uranium dan kromium.

 

Selain bioteknologi, metode fisika dan kimia tetap memainkan peran penting dalam pembersihan tanah yang terpapar radiasi, terutama untuk zat seperti Cesium-137 dan Cobalt. Metode fisik meliputi pengangkatan tanah terkontaminasi (ekskavasi), dan teknik seperti flotasi busa, yaitu proses pemisahan partikel tanah halus yang kaya zat radioaktif menggunakan gelembung busa dan bahan pengikat khusus. Sementara itu, pendekatan kimia menggunakan larutan asam atau bahan pengikat seperti Prussian Blue untuk menarik ion radioaktif dari tanah atau air limbah.

 

Kombinasi antara teknologi biologis, fisik, dan kimia inilah yang kini dianggap paling efektif. Pendekatan terpadu semacam ini bukan hanya mempercepat pembersihan, tetapi juga menjaga keselamatan pekerja dan lingkungan di sekitar lokasi. Melalui inovasi berkelanjutan, dunia menunjukkan bahwa pengelolaan radiasi dapat dilakukan dengan aman dan cerdas — sebuah bukti bahwa teknologi nuklir modern tidak lagi identik dengan bahaya, tetapi dengan kemampuan manusia mengendalikan dan memperbaiki lingkungan secara bertanggung jawab.

 

Pendekatan Terpadu dan Inovasi Terbaru

 

Pendekatan terpadu menjadi kunci dalam menangani kontaminasi radioaktif seperti Cesium-137 (Cs-137), terutama karena sifatnya yang kompleks dan mudah menempel pada partikel halus tanah. Pada tahun 2025, berbagai inovasi baru mulai diterapkan untuk membuat proses remediasi lebih efisien, aman, dan ramah lingkungan. Dua teknologi yang paling menonjol adalah sistem reaktor tunggal untuk pembersihan tanah dan kombinasi plasma non-termal dengan sorpsi untuk pengolahan limbah cair.

 

Sistem reaktor tunggal menggabungkan dua proses sekaligus, yaitu flotasi busa dan pencucian asam in-situ. Dalam tahap pertama, campuran tanah dan bahan pengikat khusus seperti CTAB diaerasi untuk mengangkat partikel halus yang mengandung Cs dan Co ke permukaan dalam bentuk busa. Tahap kedua kemudian menambahkan larutan asam oksalat secara langsung untuk melarutkan sisa kontaminan yang masih menempel. Hasil uji menunjukkan efisiensi yang tinggi: kadar Cs-137 turun hingga hampir 80 persen, dan Co hingga lebih dari 96 persen, sambil mengurangi volume limbah sekitar dua pertiga. Teknologi ini hemat energi, mudah dioperasikan, dan dapat dikembangkan dalam skala industri.

 

Untuk limbah cair radioaktif, pendekatan Plasma Non-Termal (NTP) dikombinasikan dengan sorpsi menjadi solusi baru yang efektif. Teknologi ini memanfaatkan lucutan listrik berdenyut untuk menghasilkan senyawa oksidatif reaktif dan gelombang kejut yang mampu memecah molekul organik kompleks dalam limbah. Proses ini dilengkapi dengan aerasi vortex dan bahan penyerap alami seperti bentonit dan zeolit untuk menangkap sisa radionuklida. Hasil uji dari limbah di sekitar Chernobyl menunjukkan bahwa sistem ini dapat menghilangkan lebih dari 90 persen Cs-137 dan Sr-90, hanya menyisakan residu padat dalam jumlah kecil, serta dapat dioperasikan secara jarak jauh dengan konsumsi energi rendah.

 

Dalam konteks kasus Cikande, di mana sumber kontaminasi Cs-137 diketahui berasal dari scrap metal industri, pendekatan terpadu ini memberikan arah yang jelas. Langkah awal berupa ekskavasi tanah tetap penting, tetapi tahap berikutnya adalah mengolah tanah terkontaminasi tersebut menggunakan sistem flotasi busa dan pencucian asam terpadu agar volume limbah berkurang dan kandungan Cs-137 dapat ditekan secara signifikan. Limbah cair hasil proses tersebut kemudian dapat diolah menggunakan teknologi plasma non-termal, sehingga air hasil akhir memenuhi baku mutu dan aman dibuang kembali ke lingkungan.

 

Selain itu, pemantauan berkala terhadap air tanah dan aliran air permukaan tetap diperlukan untuk memastikan kontaminan tidak menyebar ke area lain. Sementara itu, untuk sisa kontaminasi tingkat rendah yang sulit dihilangkan, bakteri tahan radiasi hasil rekayasa genetika dapat digunakan sebagai langkah akhir atau polishing bioremediasi.

 

Melalui kombinasi strategi ini, mulai dari penanganan sumber, pembersihan tanah, pengolahan limbah cair, hingga pemulihan biologis, Indonesia dapat menangani kasus seperti di Cikande dengan pendekatan yang ilmiah, efisien, dan berorientasi pada keselamatan publik. Pendekatan ini juga mencerminkan bagaimana teknologi nuklir modern mampu menjawab tantangan lingkungan dengan solusi yang aman, inovatif, dan berkelanjutan. (Red)

1 KOMENTAR

Beri Komentar Anda