Beranda OPINI Menjemput Masa Depan Energi Bersih dengan Nuklir

Menjemput Masa Depan Energi Bersih dengan Nuklir

0
Menjemput Masa Depan Energi Bersih dengan Nuklir

Penulis: Anastasya Dwi Mulia (Mahasiswa Program Studi Fisika, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Bangka Belitung)

 

 

Bangka Belitung, Journalarta.com – Langit Indonesia tengah berubah warna. Di satu sisi, kemajuan industri, mobilitas, dan digitalisasi tumbuh dengan pesat menjadi tanda optimisme menuju negara maju. Namun di sisi lain, udara di banyak kota besar mulai menebal oleh polusi, dan suhu rata-rata bumi terus meningkat akibat gas rumah kaca. Setiap megawatt listrik dari batu bara melepaskan karbon dioksida yang menyelimuti atmosfer. Dunia kini berpacu menurunkan emisi, dan Indonesia sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara tidak bisa lagi menunda transformasi energinya.

Melalui Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2035, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045, dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025–2060, pemerintah menegaskan arah baru menuju Net Zero Emission (NZE) tahun 2060. Komitmen ini bukan hanya tentang mengurangi emisi, tetapi juga menjaga daya saing ekonomi dalam era industri hijau. Di tengah perjalanan menuju masa depan itu, energi nuklir muncul sebagai solusi yang sering disalahpahami senyap, efisien, dan mampu menjaga langit Indonesia tetap biru.

 

Energi Bersih yang Belum Dimanfaatkan

Indonesia dikenal sebagai negeri kaya energi. Dari Sabang hingga Merauke, ada panas bumi, angin, surya, dan arus laut yang bisa dimanfaatkan. Namun faktanya, lebih dari 60% listrik nasional masih berasal dari batu bara. Ketergantungan ini bukan hanya membuat udara kotor, tetapi juga menghambat komitmen global untuk menurunkan emisi karbon.

Energi surya dan angin memang berkembang pesat, tetapi keduanya memiliki sifat intermiten bergantung pada cuaca, waktu, dan kondisi alam. Saat langit mendung atau angin berhenti berhembus, pembangkit berhenti bekerja. Sistem energi seperti ini membutuhkan penyeimbang yang dapat beroperasi stabil 24 jam sehari. Di sinilah energi nuklir menawarkan solusi yang unik dan berdaya besar.

Reaksi fisi atom di dalam reaktor menghasilkan energi dalam jumlah luar biasa tanpa menghasilkan gas rumah kaca. Menurut International Atomic Energy Agency (IAEA), satu PLTN berkapasitas 1.000 MW mampu menghindarkan emisi sekitar 8 juta ton CO₂ per tahun, setara dengan menanam lebih dari 130 juta pohon. Kepadatan energi uranium bahkan luar biasa: satu gram uranium dapat menghasilkan energi yang sama dengan tiga ton batu bara atau 300 liter minyak.

Lebih dari 30 negara di dunia kini mengandalkan nuklir sebagai tulang punggung sistem energinya. Prancis, misalnya, memperoleh sekitar 70% listrik dari nuklir, menjadikannya salah satu negara dengan intensitas karbon terendah di dunia. Artinya, energi nuklir bukan ancaman, tetapi justru benteng energi bersih yang sudah terbukti selama puluhan tahun.

 

Mengapa Nuklir Dibutuhkan untuk Net Zero Emission

Untuk mencapai target NZE pada 2060, Indonesia perlu mengurangi emisi dari sektor energi yang saat ini menjadi penyumbang utama. Berdasarkan data Kementerian ESDM, pembangkit batu bara menyumbang lebih dari 250 juta ton CO₂ per tahun. Jika pola konsumsi ini terus berlanjut, pengurangan emisi sebesar 90% pada pertengahan abad akan sulit tercapai.

Di sisi lain, sektor industri juga semakin intensif energi. Produksi baja, semen, dan pupuk memerlukan panas tinggi yang tidak dapat dihasilkan secara efisien oleh energi surya atau angin. Dalam konteks ini, energi nuklir bukan hanya penghasil listrik, tetapi juga sumber panas industri yang bersih dan stabil. Melalui reaktor suhu tinggi, nuklir dapat menghasilkan uap hingga 900°C yang digunakan untuk proses termokimia, pembuatan hidrogen bersih, serta produksi amonia tanpa emisi.

Dokumen PP Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan RUKN 2025–2060 menempatkan energi nuklir sebagai salah satu “pilar strategis energi pasca-2030”. PLTN pertama Indonesia ditargetkan beroperasi pada 2032, bersamaan dengan fase puncak transisi energi nasional. Kehadirannya akan menstabilkan sistem kelistrikan yang mulai didominasi oleh energi terbarukan intermiten. Dengan demikian, PLTN bukan pesaing energi terbarukan, melainkan mitra dalam menciptakan sistem energi bersih yang andal dan seimbang.

 

Menjaga Langit, Mendorong Ekonomi

Transisi energi tidak hanya berbicara tentang iklim, tetapi juga tentang ekonomi. Pemerintahan Presiden Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi 8% per tahun melalui industrialisasi, hilirisasi sumber daya alam, dan elektrifikasi nasional. Untuk mencapai hal itu, Indonesia membutuhkan energi yang berlimpah, terjangkau, dan berkelanjutan.

Energi nuklir mampu memberikan semua kriteria tersebut. Dengan kapasitas tinggi dan biaya operasional rendah, PLTN dapat menyuplai listrik secara konstan untuk kawasan industri, pabrik baja, dan pelabuhan utama. Laporan World Nuclear Association (2024) menunjukkan bahwa satu unit PLTN berkapasitas 1.000 MW dapat menciptakan lebih dari 7.000 lapangan kerja langsung selama konstruksi, serta ratusan pekerjaan berkelanjutan selama masa operasionalnya. Industri pendukung seperti logistik, manufaktur komponen, dan penelitian juga akan berkembang pesat.

Lebih jauh, keberadaan PLTN akan mendorong transfer teknologi dan kemandirian ilmiah nasional. Pengembangan reaktor, sistem pendingin, serta manajemen limbah membutuhkan kolaborasi antara lembaga riset, universitas, dan industri dalam negeri. Dengan begitu, proyek nuklir bukan hanya menghadirkan energi, tetapi juga memperkuat ekosistem sains dan teknologi nasional.

Bagi ekonomi jangka panjang, PLTN adalah investasi yang berkelanjutan. Biaya bahan bakar uranium hanya sekitar 10–15% dari total biaya operasional, jauh lebih rendah dibandingkan gas atau batu bara. Dengan umur reaktor hingga 60 tahun dan efisiensi tinggi, PLTN dapat menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi hijau Indonesia.

 

Teknologi Modern: Aman, Modular, dan Efisien

Salah satu kesalahpahaman publik tentang nuklir adalah isu keselamatan. Padahal, teknologi reaktor modern kini jauh lebih aman dibandingkan generasi terdahulu. Sistem keselamatan pasif memungkinkan reaktor mematikan dirinya sendiri tanpa intervensi manusia jika terjadi gangguan.

Teknologi yang paling relevan bagi Indonesia adalah Small Modular Reactor (SMR) — reaktor berkapasitas kecil (50–300 MW) yang dapat dibangun secara bertahap dan diangkut dalam bentuk modul. SMR cocok untuk wilayah kepulauan seperti Indonesia karena dapat dipasang dekat dengan pusat beban listrik tanpa memerlukan jaringan transmisi panjang.

Salah satu proyek percontohan yang sedang disiapkan adalah Thorcon Power Indonesia di Pulau Bangka, bekerja sama dengan BRIN dan BAPETEN. Proyek ini menggunakan desain reaktor lelehan garam (molten salt reactor) yang memiliki fitur keselamatan pasif dan efisiensi termal tinggi. Jika terealisasi, Indonesia akan menjadi pelopor penerapan SMR di Asia Tenggara langkah besar menuju kemandirian teknologi energi bersih.

 

Kerangka Regulasi dan Tantangan NEPIO

Pembangunan PLTN bukan sekadar proyek teknis, tetapi juga persoalan regulasi dan kelembagaan. Pemerintah melalui BAPETEN telah menyiapkan dasar hukum yang kuat, meliputi standar keselamatan, perizinan, serta sistem pengawasan berbasis panduan IAEA. Sementara itu, BRIN mengembangkan riset tentang bahan bakar, sistem pendingin, serta strategi pengelolaan limbah radioaktif yang aman.

Namun, dua tantangan besar masih menanti. Pertama adalah pembentukan National Energy Program Implementing Organization (NEPIO) lembaga nasional yang akan mengkoordinasikan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari Kementerian ESDM, PLN, BRIN, hingga lembaga keuangan. NEPIO akan berperan seperti “pusat komando” proyek nuklir, memastikan setiap tahap berjalan sinkron. Tanpa NEPIO, upaya lintas sektor akan berjalan parsial dan kurang efisien.

Tantangan kedua adalah penerimaan publik (public acceptance). Meskipun survei BRIN 2024 menunjukkan sekitar 60% masyarakat mendukung penggunaan energi nuklir, masih banyak kekhawatiran terkait isu keselamatan dan limbah. Padahal, PLTN modern menghasilkan limbah yang sangat kecil hanya beberapa meter kubik per tahun dan seluruhnya dapat dikelola secara aman di fasilitas penyimpanan berlapis.

Meningkatkan penerimaan publik memerlukan strategi komunikasi yang konsisten dan transparan. Edukasi di sekolah, liputan media berbasis data, serta kunjungan publik ke reaktor riset seperti RSG-GAS di Serpong dapat memperkuat kepercayaan masyarakat. Pada akhirnya, keberhasilan proyek nuklir bergantung pada kepercayaan, bukan sekadar teknologi.

 

Nuklir dan Kedaulatan Energi

Lebih jauh dari sekadar energi bersih, nuklir juga terkait dengan kedaulatan nasional. Ketergantungan pada impor energi fosil, seperti minyak dan LPG, membuat ekonomi rentan terhadap fluktuasi harga global. Dengan membangun kapasitas nuklir sendiri, Indonesia dapat mengurangi impor bahan bakar, menekan defisit neraca energi, dan memperkuat posisi dalam diplomasi iklim internasional.

Selain itu, penguasaan teknologi nuklir membuka peluang bagi diversifikasi inovasi sains mulai dari produksi isotop medis, aplikasi iradiasi pangan, hingga teknologi deteksi lingkungan. Jadi, membangun PLTN berarti membuka jalan bagi ekosistem teknologi tinggi yang lebih luas dan berkelanjutan.

Masa depan energi Indonesia tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar cadangan batu bara kita, tetapi oleh seberapa berani kita melangkah menuju energi yang bersih dan cerdas. Energi nuklir bukan pesaing energi terbarukan, melainkan penjaga langit — memastikan listrik tetap menyala bahkan saat matahari tertutup awan.

Tahun 2032 akan menjadi simbol keberanian Indonesia: saat cahaya dari inti atom menyala untuk pertama kalinya di jaringan nasional. Jika langkah ini sukses, Indonesia akan berdiri sejajar dengan negara maju yang mampu memadukan ilmu pengetahuan, kebijakan, dan tanggung jawab lingkungan.

Langit Indonesia yang bersih adalah amanah untuk generasi mendatang. Dengan perencanaan matang, regulasi ketat, dan kepercayaan publik yang kuat, energi nuklir akan menjadi cahaya abadi yang menjaga bumi Nusantara tetap hijau dan biru. (Red)

Beri Komentar Anda