Beranda OPINI PLTN PERTAMA TAHUN 2032 DAN NILAI STRATEGISNYA

PLTN PERTAMA TAHUN 2032 DAN NILAI STRATEGISNYA

0
PLTN PERTAMA TAHUN 2032 DAN NILAI STRATEGISNYA

Oleh: Faidatul Hikmah (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Bangka Belitung)

 

Pangkalpinang, Journalarta.com – Pemerintah Indonesia menargetkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama untuk beroperasi pada tahun 2032. Target ini bukan sekadar rencana teknologi ambisius, melainkan bagian dari strategi jangka panjang menuju kemandirian energi nasional, transisi menuju energi bersih, serta pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Bagi Indonesia negara kepulauan dengan populasi besar dan pertumbuhan industri yang pesat, ketersediaan energi bukan hanya urusan teknis, melainkan soal kedaulatan nasional. PLTN hadir bukan untuk menggantikan sumber energi yang ada, tetapi untuk melengkapinya dalam memastikan keberlanjutan pembangunan.

 

Mengapa Tahun 2032?

Tahun 2032 bukan angka acak. Ia merupakan hasil perhitungan strategis berdasarkan proyeksi Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2035, yang menempatkan periode ini sebagai masa konsolidasi bauran energi nasional. Dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025–2060, energi nuklir telah disebut sebagai opsi jangka menengah yang relevan untuk mendukung Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan mewujudkan target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.

Secara administratif, periode menuju 2032 memberi waktu yang realistis bagi pemerintah untuk menuntaskan regulasi, membangun infrastruktur pendukung, menyiapkan sumber daya manusia, serta membentuk lembaga pelaksana yang kuat sebelum reaktor pertama dioperasikan. Keseluruhan agenda ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045, yang menegaskan bahwa kedaulatan energi merupakan pilar utama dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Indonesia Emas hanya mungkin dicapai jika kedaulatan energi berdiri di atas pijakan yang kuat, hukum yang pasti, lembaga yang solid, dan kebijakan yang konsisten.

Periode menjelang 2032 juga memberikan waktu cukup bagi pemerintah untuk menyelesaikan kerangka regulasi, infrastruktur pendukung, dan pembentukan kelembagaan khusus seperti NEPIO (Nuclear Energy Program Implementing Organization). Tanpa tata kelola hukum yang matang, proyek sebesar PLTN hanya akan menjadi wacana megah di atas kertas.

 

Kontribusi Nuklir terhadap Bauran Energi Nasional

Hingga kini, sistem energi Indonesia masih sangat bergantung pada batubara, gas, dan minyak. Ketergantungan ini berimplikasi pada volatilitas harga dan tekanan lingkungan. Di sinilah peran PLTN menjadi penting.

Energi nuklir menawarkan stabilitas pasokan, efisiensi tinggi, dan emisi karbon yang nyaris nol. Secara ekonomi, biaya operasi jangka panjang PLTN jauh lebih rendah dibandingkan pembangkit fosil. Dari sisi ketahanan nasional, pengembangan nuklir berarti mengurangi ketergantungan terhadap impor energi dan memperkuat posisi Indonesia dalam geopolitik energi global.

Namun, aspek penting yang sering luput dari diskusi publik adalah jaminan keselamatan dan kepastian hukum. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran sebenarnya telah memberikan kerangka dasar, namun untuk PLTN komersial, revisi dan penyesuaian regulatif menjadi keharusan. Karena tanpa kejelasan norma, investor dan masyarakat akan tetap diliputi rasa waswas yang menghambat kemajuan.

Transisi energi bukan hanya pergantian sumber daya, tetapi transformasi paradigma. Nuklir, dengan sifatnya yang berkelanjutan dan non-intermiten, hadir untuk menjembatani ketidakstabilan energi surya dan angin. Dalam konteks komitmen Net Zero Emission 2060, PLTN akan berperan sebagai katalis untuk menurunkan emisi karbon secara signifikan.

Menurut International Atomic Energy Agency (IAEA), sebuah PLTN berkapasitas 1.000 MW dapat menghindarkan emisi hingga 8 juta ton CO₂ per tahun dibandingkan pembangkit batu bara, memberikan dampak yang konkret terhadap mitigasi perubahan iklim.

Lebih dari itu, adopsi teknologi nuklir membuka ruang bagi inovasi energi generasi baru, seperti reaktor modular kecil (Small Modular Reactor/SMR) yang lebih aman, fleksibel, dan sesuai untuk wilayah kepulauan seperti Indonesia.

Energi adalah darah pembangunan. Tanpa listrik yang cukup, industri tidak dapat tumbuh, dan tanpa energi yang bersih, pertumbuhan akan mengorbankan masa depan.

Pembangunan PLTN bukan hanya agenda energi, tetapi juga proyek pembangunan nasional yang bernilai ekonomi tinggi. Pembangunan satu unit PLTN dapat menciptakan ribuan lapangan kerja baru dalam bidang teknik, konstruksi, transportasi, dan pendidikan. Dampak ekonominya tidak hanya bersifat langsung, tetapi juga menciptakan efek berganda bagi daerah sekitar proyek.

Sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto, pasokan energi yang bersih, stabil, dan terjangkau menjadi prasyarat utama bagi industrialisasi dan hilirisasi sumber daya alam. Dengan demikian, PLTN dapat berperan sebagai motor penggerak ekonomi nasional, sekaligus penopang transformasi menuju ekonomi hijau yang berdaya saing global.

 

Regulasi, Kelembagaan, dan PR Pemerintah

Dari aspek hukum, pembangunan PLTN menuntut kesiapan yang matang. Pemerintah telah menunjukkan kemajuan dengan memperkuat kerangka regulasi melalui harmonisasi UU Ketenaganukliran, PP KEN, serta penyusunan RUKN dan RUPTL terbaru. Namun, pekerjaan rumah besar masih terbentang di depan mata.

Pertama, Pembentukan NEPIO (Nuclear Energy Program Implementing Organization) sebagai lembaga pelaksana program nuklir nasional yang terintegrasi menjadi kebutuhan mendesak. Tanpa NEPIO, kebijakan nuklir hanya akan berjalan di tingkat perencanaan tanpa arah eksekusi yang jelas.

Kedua, Peningkatan literasi publik dan penerimaan masyarakat (public acceptance) harus menjadi prioritas. Pemerintah perlu mengedepankan komunikasi yang transparan, partisipatif, dan berbasis bukti agar masyarakat memahami bahwa PLTN dibangun bukan untuk menimbulkan risiko, melainkan untuk menjamin keberlanjutan hidup bangsa.

Ketiga, Sinkronisasi antar-regulasi juga penting agar setiap peraturan mulai dari perizinan, keselamatan, hingga pengelolaan limbah memiliki kejelasan hierarki dan tidak saling tumpang tindih.

Hemat Penulis, percepatan pembentukan NEPIO menjadi hal yang paling krusial. Selama kelembagaan pelaksana belum dibentuk, arah kebijakan nuklir nasional akan terus berada pada tataran wacana, bukan implementasi. Selain itu, keterbukaan informasi publik perlu dijaga agar masyarakat tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi juga subjek yang memahami risiko dan manfaat nuklir secara proporsional.

Tanpa dukungan sosial dan legitimasi publik, pembangunan PLTN berpotensi menghadapi resistensi sosial di tingkat lokal. Karena itu, strategi komunikasi publik seharusnya dimasukkan dalam kerangka hukum dan rencana implementasi PLTN, bukan sekadar kegiatan tambahan. Pemerintah perlu menunjukkan bahwa hukum nuklir bukan hanya mengatur keselamatan, tetapi juga menjamin keadilan informasi dan partisipasi masyarakat.

Aspek hukum dalam program nuklir harus dimaknai bukan sekadar sebagai instrumen kontrol, tetapi juga sebagai jaminan kepercayaan publik. Hukum harus hadir tidak hanya untuk memastikan keselamatan teknis, tetapi juga menjamin keadilan informasi, transparansi kebijakan, serta hak masyarakat untuk tahu dan berpartisipasi. Kekuatan hukum akan menjadi penentu apakah PLTN diterima sebagai simbol kemajuan, atau justru ditolak karena minimnya legitimasi sosial.

Target beroperasinya PLTN pertama Indonesia pada tahun 2032 adalah momentum penting dalam sejarah ketenagalistrikan nasional. Di tengah tantangan global terhadap perubahan iklim dan kebutuhan energi yang kian meningkat, langkah ini mencerminkan keberanian Indonesia untuk berdiri di garda depan transisi energi bersih.

Namun, Penulis meyakini bahwa keberanian teknologi harus diimbangi dengan keberanian hukum dan sosial. PLTN bukan sekadar proyek energi, tetapi proyek kepercayaan bangsa terhadap negara. Pemerintah harus menegakkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keselamatan dalam setiap tahap implementasi.

Bila ketiga aspek, regulasi, kelembagaan, dan penerimaan publik berjalan beriringan, maka PLTN 2032 bukan hanya simbol kemajuan teknologi, tetapi juga tonggak kedewasaan hukum dan peradaban energi Indonesia. Di sanalah letak makna sejati dari kemandirian energi: bukan hanya berdikari secara listrik, tetapi juga berdaulat secara hukum dan beradab secara kebijakan. (Red)

Beri Komentar Anda