Beranda OPINI Pesisir yang Menunggu Jawaban Nuklir

Pesisir yang Menunggu Jawaban Nuklir

1
Pesisir yang Menunggu Jawaban Nuklir

Oleh: Faidatul Hikmah (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Bangka Belitung)

 

 

Bangka Belitung, Journalarta.com – Langit sore itu menggurat kelabu di atas pesisir utara Bangka. Udara basah, laut tenang tapi berat. Dari kejauhan, tampak menara-menara besi mulai berdiri di atas tanah yang dulu jadi ladang kelapa dan tempat anak-anak berlarian. Kini di sana terbentang papan proyek besar bertuliskan: “Rencana Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Indonesia – Tapak Bangka.”

Di bawahnya, tanah becek oleh hujan pertama bulan November. Orang-orang berdiri dalam diam, seperti menonton masa depan yang masih dibungkus awan.

“Ibu, itu yang namanya nuklir?” tanya seorang anak kecil, menatap ke arah pagar seng yang berkilau.

Ibu Rini menunduk. Payung tuanya bocor di sisi kanan, tapi tangannya justru menahan bocoran itu agar tak menetes ke kepala anaknya.

“Iya, Nak. Katanya untuk terang… tapi entah, Ibu belum tahu apakah cahayanya membawa bahagia, atau justru musibah.”

Hujan menebal. Dari warung kopi di tepi jalan, para lelaki tua berbincang lirih. Mereka dulu bekerja di tambang timah, saksi bisu dari janji kemakmuran yang berubah jadi lubang menganga. “Dulu kita percaya pada tambang,” kata Pak Manaf, menyeruput kopi pahit. “Sekarang air sumur pun berasa besi. Kalau yang ini bocor, jangan-jangan nanti kita minum radiasi.”

Di tengah hujan, datang sekelompok mahasiswa dengan rompi oranye, membawa poster bertuliskan “Energi Bersih untuk Indonesia.”

Mereka melakukan sosialisasi tentang rencana PLTN. Salah satunya, seorang mahasiswi hukum bernama Fara, berbicara dengan semangat:

“Energi nuklir adalah masa depan, Bapak-Ibu. Negara-negara maju sudah lama memanfaatkannya. Tidak ada emisi karbon, dan bisa menjadi sumber energi stabil untuk 60 tahun lebih. Kami di kampus juga belajar bahwa ini sudah sesuai regulasi Badan Tenaga Nuklir Nasional.”

Namun tatapan warga tak mencair. Bagi mereka, bahasa teknis seperti “emisi karbon” dan “regulasi” terdengar asing seperti kata-kata dari dunia lain yang tidak mereka huni.

Seorang nelayan bernama Pak Idrus menimpali, “Nak, dulu waktu tambang datang, mereka juga bilang begitu—katanya aman, katanya untuk rakyat. Tapi lihatlah laut kami, sekarang pasirnya hilang, ikan makin sedikit. Apa jaminan kalau nuklir ini tak akan sama nasibnya?”

Fara terdiam. Ia tak punya jawaban instan. Ia tahu kekhawatiran itu bukan kebodohan, tapi memori luka kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Indonesia memang lama memimpikan pembangkit listrik tenaga nuklir. Sejak era Soekarno, mimpi itu tumbuh: menjadi bangsa yang mandiri energi, berdiri sejajar dengan negara maju.

Namun mimpi besar itu selalu berbenturan dengan rasa takut rakyat kecil: takut kehilangan tanah, takut kehilangan laut, takut kehilangan rasa aman.

Menurut laporan Greenpeace Indonesia tahun 2024, banyak warga menilai energi nuklir belum layak karena risiko limbah, biaya tinggi, dan potensi bencana alam yang tak terduga. Tapi di sisi lain, Kementerian ESDM dan BRIN menyebut nuklir sebagai “pilihan strategis menuju net-zero emission 2060.”

Dua wajah dari satu koin yang sama: antara harapan dan kehati-hatian.

Hujan makin deras. Fara menatap langit, lalu ke arah wajah-wajah yang basah oleh air dan waktu. Dalam benaknya terlintas satu kalimat dari dosennya:

“Penerimaan publik bukan soal edukasi teknis, tapi soal kepercayaan moral.”

Ia paham, yang dibutuhkan warga bukan sekadar presentasi tentang reaktor dan angka risiko, tapi keyakinan bahwa pembangunan ini tak akan menyingkirkan mereka. Bahwa teknologi bukan alasan baru untuk ketidakadilan lama.

Malam mulai turun. Lampu-lampu proyek menyala seperti bintang buatan manusia. Suara generator berdengung pelan, bercampur dengan doa yang naik dari surau kecil di tepi pantai.

Ibu Rini berhenti di depan surau itu. Ia membuka sajadah, lalu berdoa lirih,  “Ya Allah, jika cahaya ini membawa kebaikan, jadikan ia penerang bagi negeri. Tapi jika keliru niatnya, padamkan sebelum menyakiti yang lemah.”

Air matanya jatuh bersamaan dengan sisa hujan terakhir. Di kejauhan, Fara memperhatikannya dari balik kaca mobil proyek yang berembun.

Ia merasa dada sesak. Antara idealisme ilmu dan nurani yang menuntut jawaban.

Keesokan paginya, hujan reda. Tanah basah menyisakan aroma logam dan garam. Di papan proyek itu, beberapa huruf mulai pudar karena air.

Tapi di hati sebagian orang, justru mulai tumbuh sesuatu yang baru keingintahuan.

Beberapa warga datang ke lokasi sosialisasi berikutnya, bukan untuk menolak, tapi untuk bertanya. Tentang keamanan, tentang limbah, tentang siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu.

Dialog kecil mulai terbentuk, seperti benih kesadaran di antara sisa hujan.

Fara menuliskan di catatan lapangannya malam itu:

“Mereka tidak menolak kemajuan. Mereka hanya ingin dilibatkan dalam proses menuju kemajuan itu.”

Dan mungkin, di situlah kunci sebenarnya: bahwa teknologi tanpa partisipasi adalah kesombongan, dan pembangunan tanpa empati hanyalah proyek kosong.

Beberapa hari kemudian, hujan turun lagi. Tapi kali ini, Ibu Rini menatap ke arah proyek dengan pandangan berbeda.

Ia masih takut, tentu. Tapi ia mulai ingin tahu.

Karena di antara kabar yang ia dengar—tentang reaktor, tentang limbah, tentang listrik bersih—ada secercah harapan bahwa mungkin, suatu hari, anaknya bisa belajar tanpa lampu yang sering padam.

Hujan kembali mengguyur tapak reaktor itu. Tapi kali ini, langit tak sepenuhnya gelap. Ada cahaya jingga kecil menembus awan seolah mengisyaratkan bahwa perubahan tak selalu datang dari petir dan ledakan, kadang ia datang dari percakapan dan keberanian memahami yang tak dikenal.

Dan di situlah, di tanah basah Bangka, mungkin untuk pertama kalinya: harapan dan ketakutan berdiri berdampingan, tanpa saling meniadakan. (Red)

1 KOMENTAR

Beri Komentar Anda