Beranda OPINI Bekisah di Surau Dekat Reaktor

Bekisah di Surau Dekat Reaktor

0
Bekisah di Surau Dekat Reaktor

Oleh: Faidatul Hikmah (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Bangka Belitung)

 

Senja itu, langit Bangka membias warna jingga keemasan di atas barisan pohon kelapa. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma garam dan tanah basah. Di kejauhan, menara pendingin yang belum selesai dibangun berdiri seperti raksasa yang baru bangun tidur, diam namun menggentarkan.

Tak jauh dari situ, berdiri sebuah surau kecil—dindingnya dari papan, atapnya dari seng yang mulai berkarat. Di dalamnya, azan magrib baru saja dikumandangkan.

Mahasiswa bernama Rafi, mengenakan jaket almamater biru laut, menaruh alat rekam di tasnya dan masuk dengan langkah ragu. Ia sedang melakukan penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap PLTN. Tapi sore itu, ia datang bukan untuk bertanya tentang data, melainkan tentang makna.

“Silakan, Nak,” suara Ustaz Hasyim terdengar serak tapi teduh. Lelaki tua itu sedang melipat sajadahnya. “Kau dari kampus, ya? Dari proyek itu?”

Rafi menunduk sopan. “Iya, Pak. Kami dari universitas. Sedang melakukan pendampingan sosial di desa sekitar tapak reaktor.”

Ustaz tersenyum tipis. “Reaktor. Dulu orang sini menyebutnya ‘mesin cahaya’, karena katanya akan menerangi negeri. Tapi, tahu tidak, Nak? Kadang cahaya paling teranglah yang membuat mata manusia buta.”

Rafi terdiam. Ia terbiasa berdiskusi soal keamanan radiasi, desain pendingin pasif, atau efisiensi energi. Tapi di surau itu, kata-kata ustaz seperti menembus logika.

“Bapak menolak PLTN?” tanya Rafi perlahan.

“Saya tidak menolak, Nak. Saya hanya bertanya-tanya,” jawabnya. “Kalau manusia bisa menciptakan tenaga sebesar itu, apakah manusia juga sudah cukup bijak untuk menanggungnya?”

Ia lalu duduk di tikar pandan, memandangi dinding surau yang mulai kusam.

“Dulu, waktu kecil, saya diajari bahwa bumi ini titipan. Bukan milik siapa pun. Kita hanya menumpang sebentar. Tapi kini, manusia menggali jantung bumi, mencari kekuatan dari dalam perutnya. Saya takut, jangan-jangan nanti bumi yang menuntut.”

Rafi menatap keluar jendela. Dari sela-sela kayu, terlihat cahaya lampu proyek menembus gelap, berkelip di antara kabut laut. Ia teringat pelajaran di kampus: energi nuklir tidak menghasilkan emisi karbon, efisiensinya tinggi, bahkan bisa menjadi tulang punggung energi masa depan. Tapi ia juga tahu sejarah—Chernobyl, Fukushima, Three Mile Island.

Dalam catatan sejarah itu, manusia tak hanya kehilangan listrik, tapi juga kehilangan rumah, identitas, dan rasa aman.

“Pak Ustaz,” ucapnya pelan, “apakah teknologi itu bertentangan dengan iman?”

Ustaz Hasyim tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. “Tidak, Nak. Sains adalah upaya memahami ciptaan Tuhan. Tapi iman adalah cara menjaga agar ilmu tidak berubah jadi kesombongan. Kalau sains berjalan tanpa iman, ia jadi api yang membakar; kalau iman tanpa sains, ia jadi lilin yang padam ditiup angin.”

Kata-kata itu membuat Rafi menunduk. Ia merasa seperti diadili oleh kebijaksanaan yang sederhana tapi dalam.

Suasana hening. Hanya suara jangkrik dan deru mesin generator dari kejauhan.

Ustaz melanjutkan, “Kalian bilang energi ini bersih. Tapi bersih bagi siapa? Untuk manusia di kota yang menikmati listriknya, atau untuk laut kami yang mungkin nanti tercemar limbahnya?”

Rafi menjawab lirih, “Kami sedang berusaha, Pak. Pemerintah memastikan keamanan… semua standar internasional diterapkan.”

“Standar manusia, bukan standar alam,” potong sang ustaz tenang. “Alam punya cara sendiri menegur kesombongan. Kadang tidak sekarang, tapi nanti.”

Mereka terdiam lama. Di luar, angin laut menggoyangkan daun pisang di halaman surau. Di langit, bulan muncul setengah, seperti mata yang belum mau terpejam.

“Pak Ustaz,” tanya Rafi pelan, “apakah Bapak percaya bahwa nuklir bisa membawa kebaikan?”

Ustaz Hasyim menghela napas panjang. “Saya percaya, tidak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia. Uranium dan Thorium pun bagian dari rencana-Nya. Tapi saya juga percaya, setiap kekuatan besar datang dengan ujian besar. Pertanyaannya bukan apakah nuklir itu baik atau buruk—melainkan apakah kita sudah siap menjadi manusia yang sanggup menanggungnya.”

Rafi menatap lantai. Kata-kata itu menancap seperti paku di hatinya. Ia merasa seolah-olah penelitian yang sedang ia jalankan kehilangan arah ilmiahnya dan berubah menjadi pencarian moral.

Setelah shalat isya, ia keluar surau. Angin malam mulai menusuk. Dari kejauhan, menara reaktor tampak seperti bayangan hitam yang menjulang di antara pepohonan. Cahaya bulan memantul di logamnya, membuatnya tampak indah sekaligus menakutkan.

Rafi memandangi bangunan itu lama sekali. Ia teringat perkataan dosennya di kampus:

“Teknologi tak pernah netral, Rafi. Ia adalah cermin dari moralitas manusia yang menciptakannya.”Dan malam itu, di pesisir Bangka yang sepi, kalimat itu menemukan maknanya.

Surau di dekat reaktor bukan hanya tempat ibadah—ia adalah ruang dialog antara langit dan bumi, antara doa dan data, antara keyakinan dan ketakutan.

Sebelum pulang, Rafi kembali menoleh ke arah surau kecil itu.

Di bawah cahaya rembulan, papan kayunya berkilau lembut, seolah sedang berbisik:

“Bangunlah reaktormu setinggi yang kau mau, Nak, tapi jangan lupa membangun kesadaranmu lebih tinggi dari itu.” Dalam kehidupan modern, kita sering terpesona pada terang listrik dan lupa pada cahaya nurani. Pembangunan PLTN bukan sekadar proyek teknologi, tetapi juga ujian kemanusiaan sejauh mana kita mampu menyeimbangkan pengetahuan dengan kebijaksanaan, serta kemajuan dengan keberkahan.(*)

Beri Komentar Anda