Beranda OPINI Ketika “Nuklir Mini” Mengantar NASA Menjelajah Semesta

Ketika “Nuklir Mini” Mengantar NASA Menjelajah Semesta

0
Ketika “Nuklir Mini” Mengantar NASA Menjelajah Semesta

Oleh: Andra Dihat Putra, S.Kom., FMVA. (Economics and Policy Analyst)

 

Ada hal menarik yang sering luput dari perhatian kita. Setiap kali NASA mengirimkan wahana menuju planet jauh, kita terpukau oleh gambarnya. Kita terkagum oleh Saturnus yang berlapis cincin atau Pluto yang ternyata punya gunung es.

Namun kita jarang bertanya satu hal sederhana. Dari mana listriknya? Bagaimana alat serinci itu tetap hidup miliaran kilometer dari Bumi?

Pertanyaan ini membawa kita pada kisah yang jarang disampaikan. Bahwa di balik perjalanan panjang itu, ada tenaga nuklir kecil yang bekerja dengan tenang.

Cerita ini mungkin tidak seheroik roket yang terbang membelah langit. Tidak semencolok kilatan kamera saat peluncuran. Namun energi sunyi ini justru menjadi alasan mengapa penjelajahan luar angkasa bisa berlangsung puluhan tahun. Dan pada titik itu, teknologi nuklir mengajarkan kita bahwa masa depan tidak selalu hadir lewat teknologi yang besar dan bising.

Menjelajah Jauh Membutuhkan Energi yang Tidak Masuk Angin

Jika kita bertanya pada para insinyur NASA, mereka akan menjelaskan bahwa panel surya luar angkasa bekerja dengan baik. Namun hanya sampai titik tertentu. Semakin jauh dari Matahari, sinar yang diterima semakin lemah. Panel surya seperti tanaman yang kehilangan cahaya. Ia bisa hidup, tetapi tidak cukup kuat untuk menopang instrumen yang harus bekerja tanpa henti.

Dalam situasi itu, NASA membutuhkan energi yang tidak moody. Tidak berubah sesuai musim. Tidak tersinggung oleh badai debu Mars. Tidak kehilangan semangat saat jaraknya berjuta kilometer dari sumber cahaya. Energi itu harus padat, andal, dan mampu bertahan dalam perjalanan panjang. Jawabannya jatuh pada teknologi RTG, baterai nuklir mini yang memanfaatkan panas dari peluruhan radioaktif untuk menghasilkan listrik.

Analogi paling sederhana adalah termos panas yang tidak pernah dingin. Ia tidak berisik. Tidak meledak. Tidak mengeluarkan asap. Ia hanya perlahan melepaskan panas yang kemudian diubah menjadi energi listrik. Ini bukan reaktor besar seperti di film fiksi ilmiah.

Ini teknologi sederhana yang telah dicoba puluhan tahun. Dan justru kesederhanaannya yang membuatnya sangat cocok untuk ruang angkasa.

Sains yang Bekerja Tanpa Drama

Wahana Voyager adalah bukti terbaik dari betapa stabilnya teknologi nuklir mini ini. Diluncurkan pada tahun 1977, wahana itu masih mengirim sinyal hingga beberapa dekade kemudian. Jika dihitung umur manusia, Voyager sudah seperti kakek yang tetap rajin mengirim kartu pos tiap Lebaran meski rumahnya semakin jauh dari keramaian.

Alasannya sederhana. Energi nuklir kecil itu tidak bergantung pada panel surya. Tidak memerlukan perawatan. Tidak rentan beku. Ia hanya mengikuti hukum fisika dasar yang tidak berubah sejak Einstein masih sekolah. Peluruhan radioaktif tetap terjadi. Panas dan listrik tetap dihasilkan.

Dalam dunia yang sering diguncang oleh perubahan pasar, cuaca ekstrem, atau keputusan politik, ada ketenangan tertentu dari teknologi seperti ini. Ia tidak ikut ritme dunia yang cepat berubah.

Pelajaran untuk Energi di Bumi

Mengapa kisah tentang NASA ini relevan bagi kita yang hidup di bawah awan tropis?

Jawabannya ada pada prinsip yang sama. Teknologi nuklir, baik yang besar maupun yang kecil, menawarkan stabilitas yang sulit dicari dari sumber lain. Ada keandalan yang membuat ekonomi lebih tenang. Ada kepastian yang membuat industri lebih berani berinvestasi.

Jika pesawat luar angkasa bisa mempercayakan hidupnya pada baterai nuklir kecil selama puluhan tahun, logikanya tidak jauh bahwa sistem energi di Bumi juga bisa memanfaatkan teknologi yang sama dalam skala berbeda. Bukan dalam bentuk baterai kecil, tetapi reaktor modular yang aman dan ringkas. Reaktor itu bekerja seperti versi lebih besar dari tenaga yang membawa Voyager menjelajah ruang antarbintang.

Di Indonesia, kebutuhan energi meningkat pesat. Kota kota tumbuh. Industri semakin bergantung pada listrik yang stabil. Transisi energi menuntut sumber daya yang bersih. Dalam konteks itu, teknologi nuklir menawarkan sesuatu yang sulit digantikan. Bukan sekadar daya yang besar, tetapi daya yang konsisten.

Ironi yang Menarik

Ada ironi kecil yang lucu jika dipikirkan perlahan. Warga sering takut pada kata nuklir. Sementara NASA mengandalkannya untuk menjelajah ruang yang dingin dan berbahaya. Kita mengeluh listrik mati padahal sumber energi yang paling stabil sering kita tolak. Kita marah jika AC mati tetapi was was pada teknologi yang justru paling cocok menjaga listrik tetap hidup.

Ibarat seseorang yang takut naik mobil karena pernah lihat pile up di YouTube, padahal harus pergi kerja tiap hari. Ketakutan itu wajar. Namun ia bisa dikurangi dengan pemahaman. Sama seperti NASA yang tidak memilih tenaga nuklir karena gagah, tetapi karena rasional.

Pada akhirnya, perjalanan luar angkasa mengajarkan kita satu hal sederhana. Teknologi yang bekerja paling jauh, paling konsisten, dan paling lama bukan yang paling besar. Justru yang paling tenang. Nuklir mini yang mengantar NASA menjelajah jauh memberi contoh bahwa energi terbaik bukan yang paling ramai, tetapi yang paling stabil.

Masa depan tidak selalu datang dengan suara keras. Kadang ia bergerak dalam senyap. Dan seperti Voyager yang masih mengirim tanda kehidupan dari ujung tata surya, ada kekuatan dalam teknologi yang tidak banyak bicara tetapi terus bekerja.

Jika luar angkasa mempercayakan diri pada nuklir, kita seharusnya berani belajar hal yang sama.(*)

Beri Komentar Anda