Beranda OPINI Teknologi Keamanan PLTN pada Lokasi Aman di Ring of Fire

Teknologi Keamanan PLTN pada Lokasi Aman di Ring of Fire

1
Teknologi Keamanan PLTN pada Lokasi Aman di Ring of Fire

Opini Oleh : Rindiani Aprillia Cauntesa

 

Di negeri kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau yang membentang di jalur Cincin Api Pasifik (Ring of Fire), kekayaan sumber daya alam hadir berdampingan dengan ancaman bencana vulkanik. Ketika kebutuhan akan energi bersih dan berkelanjutan kian mendesak, wacana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pun terus mengemuka. Namun, di tengah tanah yang tak pernah benar-benar tenang, mampukah teknologi nuklir berpijak kokoh?

 

Energi untuk Negeri yang Terus Tumbuh

Kita tidak bisa memungkiri fakta bahwa kebutuhan energi Indonesia terus meroket. Pertumbuhan ekonomi dan elektrifikasi menuntut pasokan listrik yang stabil. Di saat yang sama, kita terikat komitmen global seperti Paris Agreement dan target Net Zero Emission (NZE) 2060, yang memaksa kita mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang kotor dan terbatas.

Energi terbarukan seperti surya dan angin memang berkembang pesat, namun sifatnya “intermiten” (tidak stabil, tergantung cuaca). Mereka membutuhkan sumber energi penyeimbang yang dapat diandalkan 24 jam sehari, atau yang dikenal sebagai baseload.

Di sinilah PLTN hadir sebagai salah satu solusi paling dipertimbangkan. PLTN menawarkan energi berdensitas tinggi, emisi karbon sangat rendah, dan pasokan yang stabil. Tidak heran, untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemerintah secara resmi memasukkan PLTN, khususnya jenis Small Modular Reactor (SMR) ke dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, dengan target kapasitas 500 MW yang berlokasi di Kalimantan.

 

Masalah Utama: Standar Keselamatan yang “Ketinggalan Zaman”

Inilah inti persoalannya. Untuk membangun fasilitas berisiko tinggi seperti PLTN, Indonesia memerlukan standar yang ketat. Selama puluhan tahun, panduan utama yang digunakan adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) 18-2034-1990 tentang Panduan Penentuan Tapak Reaktor Nuklir. Masalahnya, standar itu dibuat pada tahun 1990.

Sebuah studi gap analysis (analisis kesenjangan) yang dipublikasikan di jurnal Nuclear Engineering and Technology pada tahun 2024 (Widjanarko, dkk.) secara gamblang menyatakan bahwa SNI 1990 ini “kurang relevan” dengan kondisi aktual dan perkembangan teknologi saat ini. Standar lama ini tidak cukup detail dalam mengevaluasi aspek vulkanik sebuah kelalaian fatal bagi negara di Cincin Api.

Untungnya, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) telah menerbitkan regulasi yang jauh lebih modern dan ketat, yaitu:

BCR No. 4 Tahun 2018 tentang Ketentuan Keselamatan Evaluasi Tapak Instalasi Nuklir.

BCR No. 5 Tahun 2015 tentang Evaluasi Tapak Instalasi Nuklir untuk Aspek Kegunungapian.

Kedua peraturan BAPETEN (BCR) ini jauh lebih komprehensif. BCR No. 5 Tahun 2015, misalnya, memiliki 12 pasal khusus yang merinci tahapan evaluasi bahaya gunung api, mulai dari kompilasi data vulkanik, evaluasi potensi produk letusan, hingga penggunaan metode deterministik dan probabilistik. Peraturan ini menetapkan ambang batas yang jelas: jika probabilitas letusan di suatu area kurang dari 1 banding 10 juta per tahun (10 −7), evaluasi lebih lanjut mungkin tidak diperlukan.

Studi gap analysis tersebut menyimpulkan bahwa SNI 1990 sudah “tidak lagi kompatibel” dan merekomendasikan revisi total agar standar nasional kita selaras dengan peraturan BAPETEN yang lebih ketat.

 

Membedah Risiko di Tiga Lokasi

Analisis kesenjangan ini bukan sekadar teori. Perbedaan antara standar lama dan baru terlihat jelas saat kita membandingkan evaluasi beberapa calon lokasi tapak PLTN di Indonesia:

Kalimantan Barat (Pantai Gosong) Ini adalah kandidat utama yang kini masuk dalam RUPTL. Mengapa? Studi dari berbagai lembaga menyimpulkan hal yang sama: Pulau Kalimantan memiliki “kondisi geologi yang relatif stabil dan jauh dari ancaman bahaya eksternal alam, terutama gunung api dan memiliki tingkat seismisitas yang rendah”. Pemerintah daerah pun mendukung, memasukkan rencana PLTN dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018-2023. Hebatnya, sebuah studi risiko terbaru (2024) melakukan simulasi kecelakaan hipotetis SMR di Pantai Gosong. Hasilnya? Dosis radiasi efektif yang diterima individu dalam skenario terburuk pun tetap “jauh di bawah level referensi” yang ditetapkan peraturan nasional. Studi ini hanya merekomendasikan “zona tindakan pencegahan” (Precautionary Action Zone) dalam radius 2 km.

Bangka Belitung Lokasi ini juga menjadi kandidat kuat. Feasibility studydi Pulau Bangka selesai pada 2011-2013. Tingkat penerimaan publiknya pun tergolong tinggi, mencapai 73,73%. Secara geologi, Bangka dianggap aman dan berjarak sekitar 300 km dari patahan aktif terdekat di Sumatra. Namun, studi GIS modern menemukan tantangan lain. Ternyata, 98,22% dari total wilayah provinsi ini tidak cocok untuk PLTN. Bukan karena gunung api, tetapi karena “kepadatan populasi dan kedekatannya dengan aktivitas penambangan”. Hanya 1,78% wilayah yang dinilai sangat sesuai, dengan Mentawak di Belitung Timur menjadi lokasi terbaik.

Muria (Jawa Tengah) dan Serpong (Banten) Muria adalah lokasi yang paling lama dikaji. Lokasi ini dianggap aman dari sisi vulkanik karena Gunung Muria tercatat sudah tidak aktif selama 320.000 tahun. Namun, tantangan terbesarnya adalah resistensi sosial yang sangat kuat. Sebaliknya, Serpong lokasi Reaktor Daya Eksperimental (RDE) yang izin tapaknya terbit tahun 2017 justru dekat dengan gunung api aktif. Sesuai standar baru (BCR 2015), analisis risiko lahar probabilistik dilakukan. Hasilnya, potensi lahar dari Gunung Salak (jarak 35,35 km) dan Gunung Gede (jarak 37,7 km) terbukti tidak akan mampu mencapai tapak RDE (berjarak 41 km dan 60 km). Ini menunjukkan bahwa dengan standar baru, risiko bisa diukur dan dikelola.

 

Dilema Publik: Trauma vs. Kebutuhan Nyata

Secara teknis, lokasi aman bisa ditemukan. Namun, tantangan terbesar seringkali bersifat sosial-politik. Rencana pembangunan PLTN di Indonesia telah ada sejak era Soekarno namun selalu gagal mencapai tahap implementasi. Penyebabnya adalah “hambatan” berupa resistensi publik. Bagi sebagian besar masyarakat, kata “nuklir” identik dengan bencana. Trauma insiden Chernobyl (1986) dan Fukushima (2011) menjadi “ketakutan tersendiri” yang sangat membekas. Studi dari Universitas Pertahanan (2023) menyebutkan bahwa penolakan publik ini sering disebabkan oleh “kurangnya pemahaman dan ketidaktahuan”, yang kemudian dimanfaatkan oleh berbagai LSM anti-nuklir untuk “mengindoktrinasi” publik. Padahal, data menunjukkan bahwa tingkat kecelakaan nuklir sebenarnya terus menurun dari tahun 1952 hingga 2010.

Uniknya, dilema ini tidak berlaku di semua tempat. Di Kalimantan Barat, kondisinya berbeda. Wilayah ini masih mengalami krisis energi dan sering mengalami pemadaman, bahkan harus mengimpor sekitar 30% (200 MW) pasokan listriknya dari Sarawak, Malaysia. Kondisi ini “melemahkan ketahanan energi nasional”. Akibatnya, sebagian masyarakat di sana justru “mempertimbangkan opsi nuklir untuk membawa kemakmuran” bagi kebutuhan listrik mereka.

Aman, Jika Kita Menerapkan “Budaya Keselamatan”

Jadi, aman atau berisiko? Jawabannya adalah: bisa aman, jika kita tidak main-main dengan keselamatan.

Membangun PLTN di negeri 130 gunung api adalah sebuah langkah besar yang menuntut standar tertinggi. Kita tidak bisa lagi memakai SNI 1990 yang usang. Kita harus merevisinya dan secara ketat mengadopsi regulasi BAPETEN yang modern dan berbasis data probabilistik.

Studi membuktikan, lokasi yang aman secara geologi dan vulkanik ada, seperti di Kalimantan. Teknologi reaktor modern seperti SMR (jenis HTGR) yang didesain untuk Indonesia juga jauh lebih aman. Reaktor ini menggunakan bahan bakar TRISO yang dilapisi Silicon Carbide (SiC) dengan titik leleh 3.500°C hampir dua kali lipat titik leleh (1.855°C) zirkaloy yang digunakan di Fukushima. Reaktor ini juga didesain dengan sistem pendingin pasif.

Pada akhirnya, tantangan terbesar bukanlah lahar atau gempa, tetapi konsistensi kebijakan dan kepercayaan publik. Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar regulasi di atas kertas, kita perlu menanamkan “Budaya Keselamatan” (Safety Culture). Budaya ini menuntut komitmen pimpinan yang tegas, akuntabilitas yang jelas di setiap lini, dan proses pembelajaran yang terus-menerus. PLTN bisa menjadi solusi energi masa depan Indonesia, tapi hanya jika keselamatan dijadikan prioritas utama dan harga mati yang tidak bisa ditawar.(*)

1 KOMENTAR

Beri Komentar Anda