Beranda OPINI PLTN dan Rehabilitasi Lahan Pasca Tambang

PLTN dan Rehabilitasi Lahan Pasca Tambang

0
PLTN dan Rehabilitasi Lahan Pasca Tambang

Penulis: Sunarto (Kontributor Redaksi)

 

Jakarta, Journalarta.com – Tidak ada yang lebih menyedihkan dari tanah yang kehilangan suaranya. Di banyak daerah bekas tambang Indonesia, tanah seakan berhenti bercerita. Ia hanya diam, retak, berlubang, dan menyimpan genangan air seperti mata yang tak henti menangis.

Luka itu bukan kecil. Ia menghantui ingatan kolektif kita: bahwa modernitas sering dibangun di atas kerusakan lingkungan dan pengabaian sosial. Namun di tengah pesimisme itu, sebuah gagasan lama kembali berdiri di pintu sejarah yakni energi nuklir.

Kedatangannya tidak menjanjikan keajaiban. Tetapi ia menawarkan satu hal yang hampir hilang dalam cerita energi kita, kesempatan menebus kesalahan.

 

Babak Baru Setelah Tambang

Bangka Belitung adalah cermin terbaik untuk melihat perdebatan PLTN hari ini. Selama puluhan tahun, daerah itu hidup dari timah. Timah memberi kehidupan, tetapi juga mengambil kehidupan diantaranya Sungai tercemar, Tanah berlubang, Pantai mengalami pendangkalan, Ekosistem pesisir berubah. Luka ini sudah terlalu lama dibiarkan.

Pertanyaan besar pun muncul, Apakah masa depan energi Indonesia harus mengulang kesalahan yang sama?

 

Jawabannya adalah tidak harus.

Energi nuklir membuka babak baru bukan lagi menggali bumi untuk membakar sesuatu, tetapi memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk menghasilkan energi tanpa merusak daratan. Jika tambang membuat bumi terkoyak, PLTN justru memerlukan lahan yang sangat kecil dan tidak mengubah bentang alam secara masif.

Dengan satu reaktor, energi yang dihasilkan dapat menggantikan ratusan hektar tambang batubara yang selama ini mencemari udara. Inilah yang membuat banyak pakar menyebut energi nuklir sebagai “energi tanpa luka tanah.”

Ada paradoks menarik, wilayah yang paling terluka oleh industri justru berpotensi menjadi pelopor energi bersih. Bangka Belitung misalnya, memiliki tiga modal penting. Pertama, Kejelasan historis tentang kerusakan lingkungan. Mereka tahu betul apa akibat eksploitasi jangka panjang.

Kedua, Kesadaran publik untuk berubah. Warga Babel mulai menyadari bahwa masa depan tidak bisa terus ditopang oleh timah. Ketiga, Posisi strategis untuk menerima investasi pendidikan energi.

Jika PLTN hadir, wilayah ini tidak lagi dikenang sebagai “pulau tambang”, tetapi “pulau teknologi”. Dalam banyak konsepsi pembangunan modern, perubahan terbesar justru selalu lahir dari wilayah yang paling terluka.

Luka membuat orang lebih berhati-hati, lebih banyak bertanya, tetapi juga lebih berani mengambil peluang baru. Mungkin inilah saatnya Bangka Belitung menjadi contoh bagaimana daerah pasca-tambang bertransformasi menjadi pusat keilmuan energi.

Ketika Indonesia bicara tentang PLTN, sebenarnya kita sedang bicara tentang lebih dari sekadar listrik.

Kita sedang berbicara tentang hukum; keselamatan publik; tanggung jawab generasi; keadilan lingkungan; martabat negara.

Selama ini, energi kita ditopang oleh batubara yang murah tetapi kotor. Asapnya menyelimuti kota, membebani rumah sakit, dan mempercepat krisis iklim. Ironinya, keluarga sederhana membayar biaya kesehatan jauh lebih mahal dibanding biaya listriknya.

Dalam konteks moral, PLTN menawarkan konsistensi. Energi bersih yang tidak membebani kesehatan dan tidak mengorbankan daratan masyarakat.

Nuklir memang menuntut standar keselamatan tinggi. Tetapi justru karena itulah ia mendidik bangsa untuk menaikkan standar tata kelola publik. Untuk pertama kalinya, energi kita tidak hanya dinilai dari efisiensi, tetapi dari kedewasaan moral negara.

 

Mengakhiri Budaya “Kota Korban, Kota Pemasok”

Selama puluhan tahun, pola energi Indonesia adalah pola ketidakadilan. Daerah kaya mineral menjadi korban eksploitasi. Kota-kota besar menikmati listrik yang nyaman. Kesenjangan ini membentuk luka sosial yang sulit dihapus.

PLTN mampu memutus pola itu. Ia tidak harus berada di daerah kaya mineral; Ia tidak perlu daerah tambang; Ia tidak menuntut perusakan hutan. Karena itulah, PLTN membuka peluang distribusi pembangunan yang lebih adil.

Misalnya, daerah dengan universitas maju, tenaga kerja terdidik, dan kesadaran publik yang matang dapat menjadi lokasi PLTN—meski tanpa kekayaan mineral.

Inilah bentuk keadilan energi yang sesungguhnya, pembangunan tidak lagi dibayar oleh penderitaan satu wilayah demi kenyamanan wilayah lain.

Tantangannya, ketakutan publik yang sangat manusiawi. Kita tidak boleh menertawakan ketakutan masyarakat terhadap nuklir. Ketakutan itu manusiawi. Selama ini, publik lebih sering melihat Chernobyl, Fukushima, Gambar biologi radiasi, Film-film tentang kiamat nuklir.

Namun mereka jarang diberi informasi bahwa 70 tahun industri nuklir modern telah melahirkan ratusan reaktor aman, standar IAEA yang ketat, teknologi Small Modular Reactor yang jauh lebih stabil dan mudah dikendalikan, sistem multi-barrier yang berlapis, pengawasan industrial yang bertanggung jawab.

Indonesia tidak boleh menutupi risiko, tetapi juga tidak boleh membiarkan ketakutan mengalahkan fakta. Jika pendidikan publik dijalankan dengan baik, ketakutan berubah menjadi pemahaman. Pemahaman berubah menjadi dukungan.

 

Lingkungan dan Aktivisme: Sebuah Jalan Tengah

Aktivis menyuarakan kekhawatiran yang penting;

“Bagaimana dengan limbah? Bagaimana dengan risiko kecelakaan? Bagaimana dengan transparansi negara?”

Semua pertanyaan itu sah dan harus dijawab. Tetapi ada fakta yang tak kalah penting:

batubara membunuh lebih banyak orang per tahun dibanding seluruh kecelakaan nuklir dalam sejarah; limbah nuklir terkontrol, sedangkan limbah batubara mengalir bebas ke sungai; PLTN tidak memusnahkan hutan, sedangkan tambang batubara menghilangkan ribuan hektar setiap tahun.

Artinya, “hijau” tidak cukup hanya dengan menolak nuklir; “Hijau” harus berani melihat data secara adil.

Yang dibutuhkan Indonesia bukan perang ideologi, tetapi koalisi kehati-hatian: para insinyur, aktivis lingkungan, dan ahli hukum bekerja bersama untuk memastikan PLTN aman, diawasi, dan tidak disalahgunakan.

Indonesia pernah melewati masa di mana energi identik dengan tambang, kerusakan, dan konflik sosial. Tetapi masa depan tidak harus mengulang masa lalu. PLTN menawarkan kemungkinan yang belum pernah kita miliki, energi besar tanpa merusak tanah, pembangunan tanpa eksploitasi, ilmu pengetahuan tanpa luka sosial.

Jika dikelola dengan kejujuran, keberanian, dan keberpihakan pada kelestarian bumi, PLTN tidak hanya memberi listrik, tetapi juga pemulihan, rekonsiliasi, dan martabat baru bagi bangsa yang pernah terluka. (Red)

Beri Komentar Anda