Beranda OPINI THORIUM BANGKA DAN WARISAN KEKAYAAN ALAM

THORIUM BANGKA DAN WARISAN KEKAYAAN ALAM

0
THORIUM BANGKA DAN WARISAN KEKAYAAN ALAM

Penulis: Juli Ramadhani 

 

Bangka Belitung – Di balik hamparan lahan timah Bangka Belitung, tersembunyi sebuah sumber daya yang jarang dibicarakan namun memiliki dampak sangat besar bagi masa depan energi Indonesia. Unsur itu adalah thorium.

 

Selama bertahun-tahun, ia hanya dianggap produk samping dari penambangan monasit. Padahal, cadangannya menyimpan potensi energi yang dapat mengubah arah transisi energi nasional.

 

Pertanyaannya selalu sama.

 

“Apakah thorium akan menjadi aset strategis yang diturunkan ke generasi berikutnya?” atau “Apakah akan menjadi beban baru akibat ketidaksiapan pengelolaan dan perencanaan jangka panjang?”.

 

Melimpahnya Cadangan Thorium Bangka

 

Sejumlah kajian menunjukkan Bangka Belitung merupakan wilayah dengan cadangan thorium terbesar di Indonesia. Menurut data BRIN tahun 2025, Indonesia memiliki sekitar 140 ribu ton thorium dan dari jumlah itu sekitar 121.500 ton berada di Bangka Belitung.

 

Cadangan sebesar itu cukup untuk menopang kapasitas listrik mencapai 121 gigawatt selama seribu tahun. Dibanding uranium, cadangan thorium jauh lebih besar dan lebih mudah diperoleh karena menjadi ikutan dari proses pengolahan timah oleh PT Timah.

 

Kelimpahan ini memberi gambaran mengenai peluang energi jangka panjang. Satu ton thorium dapat menghasilkan energi yang setara dengan sekitar seribu megawatt listrik per tahun. Bandingkan dengan batu bara yang memerlukan jutaan ton material untuk output yang sama.

 

Di tengah tekanan krisis iklim dan tuntutan mengurangi ketergantungan fosil, cadangan thorium menghadirkan landasan energi yang lebih bersih dan relatif stabil untuk jangka panjang.

 

Pertanyaannya bukan lagi apakah thorium ada, tetapi bagaimana Indonesia mampu mengelola dan memanfaatkannya secara bertanggung jawab.

 

Thorium dan Teknologi Molten Salt Reactor

 

Pemanfaatan thorium tidak bisa dilepaskan dari teknologi reaktor generasi baru. Salah satu yang paling banyak dibicarakan adalah Molten Salt Reactor atau MSR yang mengubah thorium menjadi uranium-233 melalui proses penyerapan neutron.

 

Reaktor jenis ini dikenal efisien, minim limbah, dan bekerja pada tekanan rendah sehingga tingkat keselamatannya lebih tinggi dibanding reaktor konvensional. Teknologi seperti TMSR-500 menjadi contoh bagaimana thorium dapat diproses menjadi energi listrik tanpa menghasilkan emisi karbon.

 

Dari sisi keselamatan, reaktor generasi IV memiliki fitur otomatis yang akan menghentikan reaksi ketika terjadi pemanasan berlebih. Berbeda dengan pola kecelakaan Fukushima atau Chernobyl yang disebabkan kegagalan sistem pendingin, desain MSR memastikan risiko meluas dapat diminimalkan.

 

Selain itu, limbah thorium lebih sedikit dan sebagian besar dapat didaur ulang di reaktor lanjutan. Faktor ini menjadikan thorium sebagai salah satu alternatif paling bersih di antara sumber energi padat energi.

 

Kelebihan teknis tersebut berhubungan langsung dengan kebutuhan energi Indonesia. Untuk mencapai net zero 2060, sektor listrik nasional memerlukan pasokan yang stabil dan bebas emisi.

 

Dengan faktor kapasitas reaktor mencapai sekitar 92 persen, thorium dapat menghasilkan listrik secara terus-menerus tanpa ketergantungan terhadap cuaca seperti surya atau angin.

 

Biaya listrik dari teknologi ini diperkirakan berada pada kisaran 70 sampai 140 dolar AS per MWh, bergantung skala dan model investasi. Angka itu berada di bawah biaya pembangkit batu bara baru bila memperhitungkan beban emisi karbon.

 

Risiko dan Kekhawatiran Lingkungan

 

Meski memiliki manfaat, pemanfaatan thorium tetap menghadirkan sejumlah risiko. Pengambilan monasit sebagai sumber thorium harus dilakukan dengan standar ketat agar tidak mencemari tanah dan air.

 

Dari sisi biaya, pembangunan satu unit reaktor TMSR-500 dapat memerlukan investasi sekitar 13 sampai 17 triliun rupiah. Investasi ini menuntut regulasi yang solid, kesiapan SDM, serta tata kelola yang transparan. Indonesia masih merampungkan kerangka hukum nuklir yang baru dan pembahasannya ditargetkan selesai di DPR pada akhir 2025. Persepsi publik juga menjadi tantangan besar.

 

Ada pula pertanyaan mengenai ketergantungan teknologi. Proyek-proyek awal seperti rencana kerja sama ThorCon pada 2024 memang dapat mempercepat adopsi teknologi, tapi Indonesia harus memastikan prosesnya membangun kemandirian, bukan ketergantungan jangka panjang.

 

Kualitas litbang domestik, kemampuan industri lokal, dan transfer teknologi akan menentukan apakah thorium menjadi warisan pembangunan atau sekadar proyek jangka pendek yang tidak berdampak luas.

 

Progres Terbaru di Bangka

 

Perkembangan pemanfaatan thorium di Bangka selama dua tahun terakhir menunjukkan arah yang lebih jelas. Dewan Energi Nasional telah menerima proposal pembangunan TMSR-500 di Pulau Gelasa, Bangka Tengah. Targetnya penandatanganan power purchase agreement pada 2025 dan operasi pada 2032.

 

Kerja sama antara ThorCon dan sejumlah perguruan tinggi seperti ITB memperkuat riset desain dan instrumentasi MSR. Tim dari UGM juga menilai aspek keselamatan reaktor dan menyatakan desain generasi IV memiliki tingkat risiko yang dapat dikendalikan.

 

Kementerian Pertahanan melalui program litbang mendorong pemanfaatan reaktor kecil berbasis thorium untuk daerah terluar dan aplikasi pertahanan. Bapeten dan DEN melakukan sosialisasi kepada masyarakat sejak 2023 dengan hasil yang cukup positif karena kekhawatiran publik mulai berkurang seiring penjelasan teknis yang lebih terbuka.

 

Meski demikian, masih ada sejumlah agenda mendesak yang harus dipenuhi. Pemerintah perlu mempercepat pembentukan lembaga pelaksana program nuklir nasional atau NEPIO, menyiapkan skema insentif jangka panjang, serta memperkuat keterlibatan masyarakat Bangka dalam setiap tahap pengembangan.

 

 

 

 

 

Penutup

 

Thorium di Bangka Belitung dapat menjadi warisan energi yang berpihak pada generasi mendatang, atau menjadi kutukan baru jika dipaksakan tanpa tata kelola memadai.

 

Pilihannya sangat bergantung pada keberanian negara menata regulasi, membangun kapasitas riset, memastikan partisipasi masyarakat, dan menegakkan standar lingkungan. Potensi besar bukan jaminan sukses tanpa kesiapan teknis dan kelembagaan.

 

Dalam konteks transisi energi dan target net zero 2050 sampai 2060, thorium memberi peluang yang tidak dimiliki banyak negara.

 

Jika pembangunan dimulai dengan benar dan sejak awal fokus pada keberlanjutan, proyek thorium dapat menjadi tonggak sejarah energi nasional.

 

Sebaliknya, jika keraguan dan ketakutan terus dibiarkan, cadangan besar itu hanya akan menjadi catatan ekonomi yang tidak pernah dimanfaatkan.

 

Keputusan ada pada pemerintah dan masyarakat saat ini. Thorium bisa menjadi warisan berharga, tetapi hanya bila dikelola dengan penuh tanggung jawab. (Redaksi)

Beri Komentar Anda