Beranda OPINI PLTN Kini Jadi Kebutuhan: Mengapa Indonesia Perlu Menyambut Teknologi Nuklir Tanpa Ragu

PLTN Kini Jadi Kebutuhan: Mengapa Indonesia Perlu Menyambut Teknologi Nuklir Tanpa Ragu

0
PLTN Kini Jadi Kebutuhan: Mengapa Indonesia Perlu Menyambut Teknologi Nuklir Tanpa Ragu

Oleh: Dr. Ir. Arnold Soetrisnanto, Ketua Umum MEBNI

 

Jakarta — Wacana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia sejatinya bukan hal baru. Jejaknya bahkan dapat ditarik hingga era Presiden Soekarno, yang pada 1960-an telah menunjukkan keseriusan melalui pembentukan Lembaga Tenaga Atom (LTA)—cikal-bakal Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Soekarno pula yang meresmikan reaktor nuklir pertama Indonesia, TRIGA-Mark II di Bandung pada 1965.

Namun 68 tahun sejak Indonesia menjadi salah satu dari 55 anggota awal IAEA, negeri ini masih belum berhasil mengoperasikan PLTN pertama.

Padahal, urgensi PLTN hari ini jauh lebih relevan dibanding masa lalu. Pembangunan, industrialisasi, dan kebutuhan listrik nasional kini memasuki fase yang menuntut lompatan energi besar dan stabil. Energi nuklir menawarkan peluang itu.

 

Teknologi PLTN Kini Lebih Aman dan Maju

Para insinyur nuklir Indonesia tentu masih mengingat betapa dekatnya Indonesia dengan pembangunan PLTN di Muria, Jawa Tengah, pada 1990-an hingga pertengahan 2000-an. Feasibility study dilakukan dengan sangat detail, namun rencana itu runtuh akibat krisis ekonomi dan penolakan publik pasca tragedi Chernobyl 1986.

Setelah Muria, berbagai kajian di Bangka dan Kalimantan pun belum menghasilkan keputusan konkret.

Padahal perkembangan teknologi PLTN hari ini telah sangat jauh berbeda. Insiden Chernobyl, Three Mile Island, dan Fukushima memang menjadi titik kelam, namun seluruhnya telah menjadi pelajaran yang memperkuat standar keselamatan global. Tidak ada negara yang meninggalkan nuklir setelah insiden itu—Ukraina, AS, dan Jepang tetap menggunakan PLTN sebagai sumber daya bersih dan stabil.

Statistik global menunjukkan risiko energi fosil jauh lebih tinggi dibanding nuklir. Dari sisi frekuensi kecelakaan, PLTN modern bahkan termasuk yang paling aman berkat pengawasan ketat dan prosedur berlapis.

Namun “fobia nuklir” masih hidup di sebagian masyarakat, padahal pengetahuan ilmiah hari ini telah berkembang pesat dan terbuka. Karena itu penting bagi generasi muda untuk memahami teknologi nuklir secara objektif, bukan dengan ketakutan warisan masa lalu.

 

Kebutuhan NZE dan Energi Baseload Bikin PLTN Tak Terhindarkan

Indonesia telah berkomitmen mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060. Meski demikian, bauran energi nasional 2024 menunjukkan lebih dari 80% listrik masih ditopang fosil, sementara energi terbarukan hanya sekitar 14%.

Untuk mengejar NZE, Indonesia membutuhkan sumber energi besar, stabil, dan tidak bergantung cuaca—sesuatu yang tidak dapat dipenuhi PLTS atau PLTB yang bersifat intermittent. PLTU memang akan dikurangi bertahap, namun butuh pengganti baseload yang aman, kuat, dan hijau.

Di sinilah PLTN menjadi opsi paling logis.

Pada 2060 pemerintah menargetkan PLTN memasok 40 GW listrik nasional. Target ini mustahil dicapai jika bangsa masih berkutat pada alasan “belum siap”.

 

Thorcon, Pengembang Paling Konsisten Mendorong PLTN Indonesia

Pasca BATAN dilebur menjadi BRIN pada 2020, muncul kekhawatiran publik mengenai siapa yang kini memegang kendali arah industri nuklir nasional. Namun di tengah perubahan kebijakan itu, hadir angin segar dari pihak swasta, khususnya Thorcon International—melalui PT Thorcon Power Indonesia—yang justru menunjukkan konsistensi kuat sejak 2015.

Thorcon telah menjalankan kajian teknis, sosialisasi publik, memenuhi seluruh proses perizinan, hingga melaksanakan studi keselamatan sesuai regulasi BAPETEN. Menariknya, seluruh operasi perusahaan ini di Indonesia dijalankan oleh tenaga profesional Indonesia.

Meski proses panjang dan tidak mudah, Thorcon menunjukkan komitmen yang tidak mundur. Keraguan publik mengenai lokasi, teknologi, atau sosialisasi, adalah hal wajar dalam proyek besar. Yang penting, semua menjadi catatan perbaikan dan tidak menjadi alasan stagnasi seperti yang terjadi di masa lalu.

Pemerintah pusat maupun daerah seharusnya menyambut langkah ini dengan karpet merah. Dunia sedang berlomba mempercepat energi bersih—dan Indonesia tidak boleh kembali tertinggal.

 

Saatnya Melihat PLTN Sebagai Kesempatan, Bukan Ancaman

Teknologi nuklir bukan sekadar soal listrik. Ini adalah pintu menuju modernisasi industri, kemandirian energi, dan penguatan ekonomi nasional. Lebih dari itu, Indonesia memiliki cadangan thorium besar yang jauh lebih melimpah dibanding uranium. Pengembangan PLTN berbasis thorium memberi peluang kemandirian energi yang selama ini tidak kita miliki.

Karena itu, pengembang swasta seperti Thorcon dan lainnya tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri. Pemerintah, akademisi, pemuda, industri, hingga masyarakat harus bersinergi mengawal pembangunan PLTN pertama Indonesia.

Momentum besar ini tidak datang dua kali.

Jika kembali ragu, Indonesia sekali lagi akan kehilangan kesempatan—seperti yang terjadi dalam banyak lompatan teknologi yang terlambat kita kejar.

 

Indonesia Tidak Boleh Tertinggal Lagi

Investasi PLTN membawa peluang besar: transfer teknologi, inovasi industri, lapangan kerja, hingga kemandirian energi nasional. Bangsa ini sudah cukup lama mengirim keluar sumber daya alam mentah tanpa mengolahnya menjadi teknologi. Penyebabnya bukan sekadar modal, tetapi kurangnya keberanian mengambil keputusan strategis.

 

Kini saatnya berubah.

Mari dorong implementasi PLTN, buka kesempatan bagi masa depan yang lebih maju, dan cegah ketertinggalan kita dari negara lain. Saatnya Indonesia berdikari dalam energi.

Saatnya nuklir masuk ke dalam bauran energi nasional. (Redaksi)

Beri Komentar Anda