
Penulis: Rindiani Aprillia Cauntesa, S.Si. Alumnus FMIPA, Universitas Lampung
Lampung, Journalarta.com – Dalam sejarah panjang perang melawan kanker, kedokteran modern sering kali menemui jalan buntu. Kanker adalah musuh yang cerdas, dan mampu bermutasi untuk menghindari serangan kemoterapi maupun radiasi eksternal. Ketika sel kanker telah menyebar (metastasis) ke tulang atau organ vital lainnya, opsi pengobatan sering kali habis. Namun, di tengah keputusasaan tersebut, muncul sebuah harapan baru melalui radioisotop Actinium-225.
Isotop ini bukan sekadar “obat” biasa, melainkan materi radioaktif superlangka yang dijuluki sebagai “rudal nuklir mikroskopis”. Berbeda dengan bom yang menghancurkan satu kota, Actinium-225 bekerja layaknya sniper yang melenyapkan musuh dalam diam tanpa mengusik lingkungan sekitarnya.
Daya Hancur Masif dalam Jarak Mikron
Rahasia kekuatan Actinium-225 terletak pada jenis radiasi yang dipancarkannya yaitu partikel alpha. Jika terapi radiasi konvensional (seperti sinar beta dari Lutetium-177) ibarat peluru senapan yang bisa menembus jauh namun berisiko melukai jaringan sehat di sekitarnya, partikel alpha adalah bola meriam berat dengan jarak tembak yang sangat pendek.
Ketika Actinium-225 meluruh, ia melepaskan empat partikel alpha berenergi tinggi (5,8 MeV -8,4 MeV) dalam sebuah rantai peluruhan yang kompleks. Energi ini memiliki Linear Energy Transfer (LET) yang sangat tinggi. Artinya, saat partikel alpha menabrak sel kanker, ia melepaskan energi yang begitu besar sehingga mampu memutus kedua untai DNA (double-strand DNA breaks) secara instan. Kerusakan ini bersifat fatal dan hampir mustahil diperbaiki oleh mekanisme pertahanan sel kanker, sehingga kematian sel yang tak terelakkan.
Keajaiban sesungguhnya adalah jangkauannya. Partikel alpha hanya bergerak sejauh 50–100 mikrometer di dalam jaringan tubuh atau setara dengan ketebalan beberapa sel saja. Hal ini memastikan bahwa energi penghancur hanya dilepaskan tepat di koordinat sel kanker, membiarkan jaringan sehat di sebelahnya tetap utuh. Teknologi pencitraan terbaru bahkan berhasil merekam jejak lintasan partikel ini secara real-time dengan resolusi 1 mikrometer, membuktikan betapa terlokalisirnya dampak “ledakan” mikroskopis ini.
Sistem Navigasi Molekuler
Hulu ledak sekuat apa pun tidak akan berguna tanpa sistem penuntun yang akurat. Di sinilah konsep Targeted Alpha Therapy (TAT) bekerja. Actinium-225 tidak disuntikkan begitu saja, ia diikat (dikelasi) dengan molekul pembawa berupa antibodi atau peptida yang berfungsi sebagai “GPS biologis”. Sebagai contoh kasus:
- Pada Kanker Prostat :Actinium-225 dipasangkan dengan ligan Prostate-Specific Membrane Antigen (PSMA). Kombinasi Ac-225-PSMA ini berpatroli di dalam darah, mencari sel kanker prostat yang memiliki reseptor PSMA di permukaannya, lalu menempel dan melepaskan muatan alpha-nya.
Pada Tumor Neuroendokrin (NENs) :Isotop ini dikaitkan dengan analog somatostatin seperti DOTATATE atau DOTA-LM3. Sebuah studi tinjauan sistematis menunjukkan bahwa terapi Ac-225-DOTATATE menghasilkan tingkat pengendalian penyakit (disease control rate) hingga 88% dan tingkat respons (response rate) sebesar 51,6% pada pasien yang sudah tidak mempan dengan pengobatan lain.
Inovasi terbaru bahkan menggunakan antagonis reseptor (seperti DOTA-LM3) yang memiliki kemampuan mengikat target lebih lama dibandingkan agonis konvensional, sehingga memberikan waktu lebih banyak bagi Actinium-225 untuk menghancurkan tumor.
Serangan Ganda Beta dan Alpha
Salah satu terobosan paling menarik dalam penggunaan Actinium-225 adalah terapi TANDEM. Strategi ini menggabungkan dua jenis radiasi sekaligus yaitu Lutetium-177 (pemancar beta) dan Actinium-225 (pemancar alpha).
Lutetium-177 bertugas mengecilkan tumor-tumor berukuran besar (debulking), sementara Actinium-225 bertugas memburu mikrometastasis atau sisa-sisa sel kanker yang resisten terhadap radiasi beta. Dalam sebuah laporan kasus, seorang pasien dengan kanker pankreas metastatik yang sudah menjalani berbagai operasi dan kemoterapi namun tetap kambuh, berhasil mencapai remisi total dan kembali aktif berolahraga setelah menjalani terapi TANDEM ini. Pendekatan ini menawarkan harapan hidup bagi pasien dengan beban tumor yang sangat tinggi.
Menepis Ketakutan akan Radiasi
Kata “nuklir” sering memicu ketakutan akan efek samping yang mengerikan. Namun, data klinis menunjukkan sebaliknya. Profil keamanan Actinium-225 tergolong sangat baik. Efek samping yang paling umum dilaporkan adalah xerostomia (mulut kering), terutama pada terapi kanker prostat, karena kelenjar ludah juga memiliki reseptor yang mirip dengan target kanker.
Kekhawatiran utama lainnya adalah toksisitas ginjal atau sumsum tulang (hematotoksisitas). Namun, tinjauan terhadap 42 studi menyimpulkan bahwa efek samping parah (grade 3/4) jarang terjadi. Efek samping seperti mual atau kelelahan umumnya bersifat ringan dan sementara. Dibandingkan dengan kemoterapi yang merusak seluruh tubuh, Actinium-225 menawarkan kualitas hidup yang jauh lebih baik bagi pasien selama masa pengobatan.
Mengapa Disebut Obat Paling Langka?
Jika obat ini begitu hebat, mengapa belum tersedia di setiap rumah sakit? Jawabannya adalah kelangkaan. Actinium-225 adalah salah satu material paling sulit diproduksi di Bumi.
Secara tradisional, isotop ini diproduksi dari peluruhan Thorium-229, yang sendirinya merupakan produk sampingan dari Uranium-233 atau sisa-sisa program senjata nuklir era Perang Dingin. Suplai global dari metode ini sangat terbatas, hanya sekitar 63 GBq (1,7 Curie) per tahun, jumlah yang hanya cukup untuk merawat beberapa ratus pasien di seluruh dunia.
Para ilmuwan kini berlomba-lomba mencari cara baru, seperti menggunakan akselerator proton raksasa (siklotron) untuk menembak target Thorium-232 atau Radium-226. Meskipun metode ini menjanjikan produksi skala besar, proses pemurnian kimianya sangat rumit dan mahal karena harus memisahkan Actinium-225 dari kontaminan radioaktif lain seperti Actinium-227 yang berumur panjang. Inilah yang membuat Actinium-225 tetap menjadi “obat sultan” yang ketersediaannya menjadi hambatan utama.
Actinium-225 vs. BNCT: Dua Pendekatan, Satu Tujuan
Teknologi Actinium-225 sering dibandingkan dengan Boron Neutron Capture Therapy (BNCT). Keduanya sama-sama memanfaatkan partikel penghancur jarak pendek, namun mekanismenya berbeda.
a. Actinium-225 (TAT) ibaratnya “rudal otonom”. Ia membawa hulu ledak radioaktifnya sendiri dan meledak secara otomatis di dalam tubuh. Ini membuatnya ideal untuk kanker metastatik yang menyebar ke seluruh tubuh, karena obat ini bisa mengejar sel kanker ke mana pun ia pergi melalui aliran darah.
b. BNCT lebih mirip “ranjau darat yang dipicu”. Pasien disuntik cairan Boron non-radioaktif yang berkumpul di tumor. Reaksi nuklir baru terjadi ketika area tumor ditembak dengan sinar neutron dari luar tubuh. Metode ini sangat presisi untuk tumor lokal yang sulit dioperasi (seperti di otak atau leher), tetapi kurang praktis untuk kanker yang sudah menyebar luas ke banyak organ.
Fajar Baru Onkologi Nuklir
Actinium -225 bukan sekadar isotop langka, ia adalah simbol perubahan paradigma dalam pengobatan kanker. Kemampuannya menghancurkan sel kanker yang resisten, dikombinasikan dengan rekam jejak keamanan yang baik, menjadikannya kandidat kuat untuk menjadi standar pengobatan di masa depan. Tantangan logistik dan produksi memang masih membentang tinggi. Namun, dengan investasi dalam infrastruktur reaktor dan akselerator partikel, “rudal mikroskopis” ini berpotensi mengubah vonis “sisa hidup beberapa bulan” menjadi bertahun-tahun kehidupan yang berkualitas bagi ribuan pasien kanker di seluruh dunia. Actinium-225 membuktikan bahwa terkadang, harapan terbesar datang dalam paket yang paling kecil dan tak kasat mata. (Red)