
Penulis: Sri Rezeki, S.Kom
Jakarta, Journalarta.com — Kebangkitan energi nuklir global kian nyata, seiring semakin banyak negara maju kembali menempatkan nuklir sebagai tulang punggung transisi energi. Mengutip dari Bloomberg, Pemerintah Provinsi Ontario, Kanada, telah menyetujui pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir modular kecil (small modular reactor atau SMR) senilai C$20,9 miliar, setara sekitar US$15 miliar, di kompleks Darlington Nuclear Plant, Ontario. Proyek ini akan menjadi pembangunan PLTN modular pertama di negara anggota G7 dan dipandang sebagai tonggak penting dalam kebijakan energi Kanada.
PLTN modular Darlington akan menggunakan desain BWRX-300 berkapasitas sekitar 300 MW per unit, dengan rencana pembangunan hingga empat unit atau total kapasitas sekitar 1.200 MW. Bloomberg melaporkan bahwa proyek ini didorong oleh lonjakan kebutuhan listrik jangka panjang, terutama dari pertumbuhan pusat data, kecerdasan buatan, dan elektrifikasi sektor industri, yang membutuhkan pasokan listrik stabil, andal, dan rendah emisi karbon. Pemerintah Kanada melihat SMR sebagai solusi strategis karena waktu konstruksi yang lebih singkat, skala yang fleksibel, serta standar keselamatan yang lebih tinggi dibanding reaktor nuklir konvensional.
Dukungan negara terhadap proyek ini juga sangat kuat. Pemerintah federal dan provinsi Ontario turut memberikan dukungan pendanaan miliaran dolar Kanada untuk menekan risiko investasi dan mempercepat realisasi proyek. Selain menjamin pasokan listrik bersih, pembangunan SMR Darlington diproyeksikan menciptakan puluhan ribu lapangan kerja selama fase konstruksi dan ribuan pekerjaan tetap selama masa operasi, sekaligus memperkuat rantai pasok industri nuklir Kanada sebagai sektor strategis nasional.
Langkah Kanada tersebut memiliki relevansi langsung bagi Indonesia. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya secara eksplisit memasukkan pembangunan PLTN sebagai bagian dari perencanaan ketenagalistrikan nasional. RUPTL menargetkan pengembangan kapasitas awal PLTN sekitar 0,5 GW yang direncanakan beroperasi pada awal dekade 2030-an, sebagai sumber listrik baseload jangka panjang untuk mendukung transisi energi dan target net zero emission.
Kebutuhan listrik Indonesia diproyeksikan terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, dan percepatan digitalisasi. Di sisi lain, bauran energi nasional masih sangat bergantung pada batu bara, sementara energi terbarukan seperti surya dan angin memiliki keterbatasan karena sifatnya yang intermiten. Pengalaman Kanada menunjukkan bahwa nuklir, khususnya teknologi modular, dapat menjadi solusi realistis untuk menyediakan listrik bersih yang stabil tanpa bergantung pada kondisi cuaca.
Dalam konteks tersebut, pengembangan PLTN di Indonesia tidak lagi semata wacana jangka panjang, melainkan kebutuhan strategis. Sejalan dengan arah kebijakan RUPTL 2025–2034, PT Thorcon Power Indonesia dapat dipertimbangkan sebagai salah satu opsi pengembangan PLTN nasional. Thorcon telah menunjukkan keseriusan melalui pengembangan rencana PLTN berbasis teknologi molten salt reactor, serta keterlibatan aktif dalam proses kajian tapak dan perizinan di Indonesia. Pendekatan teknologi yang ditawarkan menitikberatkan pada aspek keselamatan pasif, modularitas, dan efisiensi, yang relevan dengan kondisi geografis dan sistem kelistrikan Indonesia.
Belajar dari Kanada, pembangunan PLTN bukan semata persoalan teknologi, tetapi keputusan strategis negara dalam menjamin ketahanan energi, daya saing ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan. Dengan pijakan kebijakan yang jelas melalui RUPTL 2025–2034 dan dukungan pelaku industri yang menunjukkan komitmen nyata, pertanyaan “Indonesia siap menyusul?” kini bergeser dari retorika menuju agenda kebijakan yang menuntut konsistensi dan keberanian dalam implementasi. (Red)