Oleh : Kantor Hukum “AKUR LAW&FIRM” prov.Kep. Bangka Belitung
Journalarta.com – Korupsi adalah tindak pidana yang tidak mungkin tidak sengaja. Apapun niatnya jika perbuatannya merugikan keuangan Negara dan/atau memperkaya diri sendiri secara melawan hukum, maka itu di namakan korupsi. Perlu di ingat bahwa setelah ada putusan MK 25/PUU-XIV/2016 korupsi adalah delik materil. Sehingga unsur memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan Negara tersebut perlu di buktikan terjadi.
Sebuah tindak pidana di bangun atas dua unsur penting yaitu objektif/physical yaitu actus reus (perbuatan yang melanggar undang-undang pidana). Dan subjektif/mental yaitu mens rea (sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana).
Dalam prosedur penegakkan hukum pidana, terdapat dua pendapat mengenai mana yang harus terlihat lebih dahulu, actus reus atau mens rea. Dalam penyelidikan otomatis penyidik akan melihat dari actus reus, karena ini pasti lebih dahulu terlihat dan di jadikan dasar untuk pemeriksaan lanjutan, ketimbang mens rea yang karena bukan hal yang bersifat fisik- tidak selalu terlihat di tahap penyelidikan.
Sebuah tindak pidana bisa jadi menitikberatkan pada actus reus, ketimbang mens rea, misalnya dalam pembunuhan yang di lakukan dengan niat menghilangkan nyawa, maka jelas mens rea nya adalah guilty (bersalah).
Jadi dalam delik korupsi titik beratnya lain jika di bandingkan dengan ilustrasi delik pembunuhan di atas maupun tindak pidana biasa lainnya. Pertanggungjawabannya adalah strict liability. Apapun mens rea nya, jika terbukti actus reus nya mengakibatkan akibat yang di maksud dalam UU Tipikor maka pelaku dapat di pidana.
Perkara korupsi tidak di tentukan oleh mens rea, melainkan actus reus yang memenuhi UU Tipikor secara formil dan alat bukti yang cukup untuk membuktikan akibat yang di larang oleh UU (delik materil) memang terjadi.
Baca juga: Ilmu Hukum Pendekatan Kajian
Mens rea dalam sebuah perkara korupsi tidak mengakibatkan di hentikannya penuntutan. Penuntutan akan gagal jika tidak di temukan 2 alat bukti atau lebih pada saat penyidikan.
Apakah kemudian mens rea harus terlihat dari awal proses penyidikan untuk menentukkan dapat di tahan/tidaknya tersangka? Kembali ke konsep awal unsur tindak pidana, actus reus dan mens rea harus ada dalam tindak pidana, tapi tidak ada ketentuan harus terlihat di tahap awal, apalagi menjadikannya dasar utama untuk penahanan.
Dasar penahanan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah kewenangan penyidik untuk menahan tersangka jika terdapat kekhawatiran bahwa tersangka akan menyembunyikan alat bukti, melarikan diri, dan mengulangi tindak pidana.
Asumsi yang dapat di tarik dari ketentuan KUHAP tersebut merupakan hak penyidik untuk menentukan apakah mens rea terlihat di proses penyidikan atau tidak. Jika ya, maka penyidik punya kekhawatiran tersangka akan melakukan ketiga hal tersebut di atas dan kemudian menetapkan tersangka perlu di tahan. Jika tidak, maka penyidik tidak akan menahan tersangka.
Tapi, hal itu tidak limitatif dalam arti kalau mens rea terlihat di proses penyidikan, penyidik masih berhak untuk tidak menahan, jika tidak khawatir akan ketiga dasar penahanan yang di sebut sebelumnya.
Penempatan mens rea adalah fleksibel dan kasuistis di mana akan menemui tempat akhirnya, yaitu di ruang pengadilan akan di buktikan. Sebagaimana actus reus pun akan di periksa apakah benar melawan undang-undang pidana atau tidak di pengadilan.
Untuk perkara korupsi strict liability adalah tepat sebagai bentuk pertanggungjawaban sehingga unsur mens rea menjadi tidak relevan dalam prosedur pemeriksaannya. Apalagi jika kemudian di jadikan dasar untuk tidak melanjutkan pemeriksaan tindak pidana korupsi.
Artikel tersebut Kiriman dari Kantor Hukum AKUR LAW&FIRM Prov. Kep. Bangka Belitung
Baca juga: Pluralisme Hukum dalam Pembangunan Hukum di Indonesia
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.