OPINI

Proses Perceraian Berdasarkan Hukum Resmi Yang Berlaku Di Indonesia

Oleh : Kantor Hukum “AKUR LAW&FIRM” prov.Kep. Babel

Journalarta.com – Dalam proses sidang perceraian yang berlaku di Indonesia, suami dan istri harus hadir dalam persidangan, baik hadir sendiri atau diwakili kuasanya agar dapat dilakukan usaha perdamaian di antara mereka.

Hal ini telah diatur dalam Pasal 130 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (HIR) jo. Pasal 30 dan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undag Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”).

Namun, suami atau istri diperbolehkan untuk tidak hadir dalam sidang perceraian dengan memberikan kuasa kepada pihak lain untuk mewakili yang bersangkutan dalam sidang perceraian.

Saat berproses atau berperkara di pengadilan, baik itu di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri, sangat disarankan pihak penggugat dan pihak tergugat dapat didampingi oleh advokat (pengacara).

Advokat selain dapat mendampingi para pihak yang beracara, ia juga dapat menjembatani dialog antara para pihak yang akan bercerai terkait dengan kesepakatan-kesepakatan, seperti harta gono gini, tunjangan hidup, hak asuh anak, dan hal-hal penting lainnya.

Dasar hukum proses perceraian di Indonesia adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Berdasarkan UU tersebut, dimungkinkan salah satu pihak, yaitu suami atau istri melakukan gugatan perceraian. Walaupun demikian, ada pembeda antara penganut agama Islam dan di luar Islam dalam soal perceraian ini.

Pasangan suami-istri Muslim dapat bercerai dengan didahului oleh permohonan talak oleh suami atau gugatan cerai oleh istri yang didaftarkan pada pengadilan agama. Untuk pasangan non-Muslim dapat bercerai dengan mengajukan gugatan cerai (baik suami maupun istri) melalui pengadilan negeri.

Perceraian Pasangan Muslim

Pasangan suami-istri beragama Islam yang salah satunya berniat untuk bercerai harus tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Dengan demikian, dalam proses perceraian berdasarkan KHI terdapat dua istilah yaitu ‘cerai gugat’ dan ‘cerai talak’. Pasal 116 KHI menegaskan hal tersebut: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapa terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.”

Berdasarkan penjelasan Pasal 14 UU Perkawinan dan PP 9/1975 diatur tentang cerai talak yaitu cerai yang dijatuhkan suami di depan pengadilan yang sesuai dengan hukum Islam. Talak menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:

Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Mengacu pada UU Perkawinan, PP 9/1975, dan KHI bahwa seorang suami Muslim yang telah menikah secara Islam dan berniat menceraikan istrinya, terlebih dahulu mengajukan surat pemberitahuan tentang maksud menceraikan istrinya diikuti dengan alasan-alasan. Surat pemberitahuan tersebut disampaikan ke Pengadilan Agama, tempat ia berdomisili. Dengan demikian, sang suami meminta diadakan sidang oleh Pengadilan Agama untuk maksud tersebut.

Pengadilan Agama akan mempelajari isi surat pemberitahuan tersebut dan dalam selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari akan memanggil penggugat beserta istrinya guna meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian tersebut.

Hukum Negara Indonesia hanya mengakui talak yang diucapkan suami di depan Pengadilan Agama. Adapun talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan Agama hanya sah menurut hukum agama.

Di dalam artikel berjudul “Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan” (Hukum Online), Nasrulloh Nasution, S.H. menyatakan bahwa cerai talak yang dilakukan suami di luar Pengadilan Agama menyebabkan ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum sebagaimana diatur oleh Negara.

Selain perceraian pasangan Muslim hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan Agama, Pasal 115 KHI juga menyebutkan bahwa perceraian dapat dilakukan setelah Pengadilan Agama berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Tentang hal ini dilakukan melalui mediasi oleh mediator yang ditunjuk Pengadilan Agama.
Adapun cerai gugat (gugatan cerai) hanya dapat diajukan oleh istri sebagaimana terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI:

Gugatan perceraian diajukan oleh istri atas kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayai tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.

Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat (2) KHI).

Perceraian Pasangan Non-Muslim

Gugatan cerai pasangan non-Muslim dapat dilakukan di Pengadilan Negeri. Sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) PP 9/1975 bahwa gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnnya meliputi tempat kediaman tergugat. Dengan demikian, suami yang menggugat cerai istrinya harus mengajukan permohonan ke pengadilan di wilayah tempat tinggal istrinya saat itu.

Namun, jika tempat tinggal atau kediaman tergugat tidak jelas dan tidak diketahui atau berpindah-pindah, gugatan perceraian dapat diajukan ke pengadilan di wilayah kediaman penggugat.

Lamanya Proses Hukum Perceraian

Muncul pertanyaan berapa lama proses hukum perceraian dari pengajuan gugatan perceraian hingga adanya putusan? Berdasarkan fakta yang telah terjadi, biasanya proses perceraian akan memakan waktu maksimal enam bulan di tingkat pertama, baik di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama.

Dalam buku Hukum Perkawinan Indonesia, Prof. H. Hilman Hadikusuma menuliskan bahwa pemeriksaan gugatan perceraian oleh hakim dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas/surat gugatan perceraian diterima. Hal tersebut juga sesuai dengan Pasal 29 ayat (1)-ayat (3) dan PP 9/1975 bahwa dalam menetapkan waktu persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian, perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.

Apabila tergugat bertempat kediaman di luar negara, sidang pemeriksaan gugatan ditetapkan sekurang-kurangnya enam bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian itu kepada panitera pengadilan.

Syarat Perceraian dalam Hukum di Indonesia

Perceraian adalah salah satu sebab putusnya ikatan perkawinan yang diatur oleh undang-undang yaitu UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 39 UU Perkawinan menyebutkan

  1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
  2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
  3. Tatacara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Baik pasangan Muslim maupun pasangan non-Muslim wajib melakukan perceraian di depan Pengadilan yaitu Pengadilan Agama untuk pasangan Muslim dan Pengadilan Negeri untuk Pasangan non-Muslim. Namun, ada perbedaan syarat dan ketentuan perceraian antara pasangan Muslim dan non-Muslim.

Pada Bab V Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 telah diatur tentang Tata Cara Perceraian. Alasan perceraian sebagaimana disebutkan dalam PP 9/1975 adalah sebagai berikut.

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
  6. Antara suami dan isteri terus-menerusterjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Syarat Perceraian

Pernah terdengar kasus seorang lelaki Muslim menceraikan istrinya melalui SMS. Apakah perceraian tersebut dapat diakui? Secara hukum agama Islam, suami dapat saja melakukan gugat talak atau menalak istrinya, baik secara lisan maupun tulisan. Namun, berdasarkan hukum Negara Indonesia yang mengatur tentang tata cara perceraian, penjatuhan talak dengan cara di luar pengadilan tersebut belum putus secara hukum. Hal ini dikuatkan oleh Nasrulloh Nasution, S.H. dalam artikelnya berjudul “Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan” dalam Hukum Online.

Nasrulloh menjelaskan bahwa di dalam hukum yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang perkawinan, tidak diatur dan tidak dikenal pengertian talak di bawah tangan. Pengertian talak menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Pasal 117 KHI menyatakan: “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131”.

Jadi, seorang suami Muslim yang hendak menceraikan istrinya (yang juga Muslim) harus mengajukan gugat talak terlebih dahulu dengan mengirimkan surat pemberitahuan kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat berdomisili. Apabila ia berdomisili di luar negara, ia dapat memberikan surat pemberitahuan di wilayah istrinya berdomisili. Apabila baik suami maupun istri berdomisili di luar negara, suami dapat mengirimkan surat pemberitahuan di wilayah tempat mereka dahulu menikah di Indonesia.

Gugatan cerai dapat dilakukan seorang istri yang beragama Islam kepada suaminya (pasangan Muslim) melalui Pengadilan Agama atau baik suami maupun istri yang tidak beragama Islam melalui Pengadilan Negeri. Pihak penggugat menyampaikan surat pemberitahuan gugat cerai beserta alasan-alasannya kepada Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri tempat ia berdomisili.

Apabila ia berdomisili di luar negara, penggugat dapat memberikan surat pemberitahuan di wilayah suami atau istrinya berdomisili. Apabila baik suami maupun istri berdomisili di luar negara, suami atau istri sebagai penggugat dapat mengirimkan surat pemberitahuan di wilayah tempat mereka dahulu menikah di Indonesia.

Syarat administrasi umum yang harus dipenuhi penggugat, yaitu

  1. surat nikah asli;
  2. fotokopi surat nikah 2 (dua) lembar, masing-masing dibubuhi materai, kemudian dilegalisasi;
  3. fotokopi kartu tanda penduduk (ktp) terbaru penggugat;
  4. fotokopi kartu keluarga (kk);
  5. surat gugatan cerai sebanyak tujuh rangkap;
  6. panjar biaya perkara.

Adapun syarat khusus, yaitu

  1. surat keterangan tidak mampu dari kelurahan, atau kartu BLT/BLSM atau Askin, jika ingin berperkara secara prodeo (gratis/cuma-cuma);
  2. surat izin perceraian dari atasan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS);
  3. duplikat akta nikah, jika buku nikah hilang atau rusak (dapat diminta di KUA);
  4. fotokopi akta kelahiran anak dibubuhi materai, jika disertai gugatan hak asuh anak.
  5. Jika tidak bisa beracara karena sakit parah atau harus berada di luar negeri selama persidangan, penggugat dapat menggunakan jasa advokat atau surat kuasa insidentil.
    Hal-hal lain yang perlu diantisipasi untuk perlengkapan persyaratan gugatan yaitu apabila bersamaan dengan gugatan perceraian diajukan juga gugatan terhadap harta bersama. Untuk itu, perlu disiapkan bukti-bukti kepemilikan, seperti sertifikat tanah (apabila atas nama penggugat/pemohon), BPKB (Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor)/STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) untuk kendaraan bermotor, kuitansi, surat jual-beli, dan lain-lain atas nama penggugat.

Gugatan Perceraian dalam Hukum di Indonesia

Perceraian termasuk perkara perdata yang diawali dari adanya gugatan dari penggugat. Menurut Pasal 118 ayat 1 HIR (Pasal 142 ayat 1 Rbg) disebut sebagai tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tidak lain adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan. Dalam hal ini gugatan tersebut dapat diajukan baik secara tertulis (pasal 118 ayat 1 HIR, 142 ayat 1 Rbg) maupun secara lisan (Pasal 120 HIR, 144 ayat 1 Rbg).

Perceraian dan gugatan perceraian dalam konteks hukum di Indonesia memiliki dasar hukum yang diatur dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1975, dan Kompilasi Hukum Islam (khusus mengatur perceraian pasangan Muslim). Berdasarkan UU dan peraturan tersebut terdapat tiga jenis gugatan perceraian, yaitu

  1. Gugat talak dari seorang suami Muslim kepada istrinya yang Muslim melalui Pengadilan Agama;
  2. Gugat cerai dari seorang istri Muslim kepada suaminya yang Muslim melalui Pengadilan Agama
  3. Gugat cerai dari seorang suami/istri kepada pasangannya melalui Pengadilan Negeri.

Gugatan perceraian secara resmi harus disampaikan melalui surat pemberitahuan atau surat gugatan kepada Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri. Isi atau materi gugatan terdiri atas hal-hal berikut ini.

Identitas Para Pihak

Identitas, baik penggugat maupun tergugat harus tertulis dengan jelas (persona standi in judicio) yang terdiri atas nama suami dan istri (beserta bin/binti), umur, tempat tinggal. Hal ini untuk pasangan Muslim terutama diatur dalam pasal 67 (a) UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. Identitas para pihak ini juga disertai dengan informasi tentang agama, pekerjaan, dan status kewarganegaraan

Posita (Dasar atau Alasan Gugat)

Dasar atau alasan gugat cerai diistilahkan dengan Fundamentum Petendi berisi keterangan berupa kronologi (urutan peristiwa) sejak mulai perkawinan antara penggugat dan tergugat dilangsungkan, peristiwa hukum yang ada (misalnya: kelahiran anak-anak), hingga munculnya ketidakharmonisan yang mendorong pada langkah perceraian. Keterangan tersebut kemudian diikuti dengan uraian alasan-alasan yang akan menjadi dasar tuntutan (petitum). Berikut ini contoh posita.

  • Bahwa pada tanggal … telah dilangsungkan perkawinan antara penggugat dan tergugat ….;
  • Bahwa dari perkawinan itu telah lahir …(jumlah) anak bernama …, lahir di … pada tanggal ….;
  • Bahwa selama perkawinan antara penggugat dan tergugat telah terjadi ketidakharmonisan yang menimbulkan pertengkaran sebagai berikut ….;
  • Bahwa berdasarkan alasan di atas cukup bagi penggugat mengajukan gugatan perceraian; dan seterusnya.

Petitum (Tuntutan Hukum)

Petitum adalah tuntutan yang diminta pihak penggugat agar dikabulkan oleh Hakim. Bentuk tuntutan Gugatan Provisional

Sebelum putusan akhir dijatuhkan hakim, dapat diajukan pula gugatan provisional di Pengadilan Agama untuk masalah yang perlu kepastian segera sesuai dengan Pasal 77 dan Pasal 78 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Contoh gugatan Provisional

  • memberikan izin kepada istri untuk tinggal terpisah dengan suami;
  • izin dapat diberikan untuk mencegah bahaya yang mungkin timbul jika suami-istri yang bertikai tinggal serumah;
  • menentukan biaya hidup/nafkah bagi istri dan anak-anak yang seharusnya diberikan oleh suami;
  • menentukan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
  • menentukan hal-hal yang perlu bagi terpeliharanya barang-barang yang menjadi harta bersama (gono-gini) atau barang-barang yang merupakan harta bawaan masing-masing pihak sebelum perkawinan dahulu.(**)

Artikel tersebut Kiriman dari Kantor Hukum AKUR LAW&FIRM Prov. Kep. Bangka Belitung Sebagai Referensi Masyarakat Agar Lebih Memahami Tentang Syarat Perceraian Berdasarkan Hukum dan Undang Undang Yang Berlaku di Indonesia, yang di lansir/disadur dari berbagai sumber yang terpercaya di antaranya ;

1) Pasal 130 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (HIR) jo. Pasal 30 dan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undag Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”).
2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
3) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
4) Nasrulloh Nasution, S.H. dalam artikelnya berjudul “Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan” dalam Hukum Online.

 


Eksplorasi konten lain dari Journalarta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Related Posts