OPINI

Upaya Pemberantasan Korupsi Dalam Perspektif, Preventif dan Administratif

Bangka Belitung, Journalarta.com – Kali ini kami akan melakukan wawancara dengan narasumber Lawyer/Advokad Armansyah,SS,SH dari kantor hukum AKUR LAWFIRM provinsi Bangka Belitung untuk mengulas tentang Permasalahan Hukum Seputar Kerugian Keuangan Negara berdasarkan Tinjauan Dari Perspektif Pembuktian Hukum Pidana meliputi penyebab, pengertian, tujuan, jenis dan lain sebagainya.

1. Bagaimana Anda mendefinisikan korupsi?

Korupsi secara operasional di definisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Kita lebih lanjut membedakan antara “menurut aturan” korupsi dan “melawan aturan” korupsi. Pembayaran fasilitasi, di mana suap di bayar untuk menerima perlakuan istimewa dari penerima suap yang wajib melakukan tindakan hukum. Di sisi lain, sebagai suap yang di keluarkan untuk mendapatkan layanan yang di larang dari si penerima suap.

Pada awalnya penyebab korupsi adalah kemiskinan, sehingga kemiskinan menjadi akar dari masalah korupsi, hal ini terlihat dari ketidakseimbangan pendapatan dan pengeluaran konsumtif dari penyelenggara Negara. Namun paradigma tersebut telah bergeser karena ternyata perbuatan korupsi itu sendiri telah mengarah pada sektor swasta (konglomerat) dan birokrat tinggi yang level kehidupannya telah bergelimang dengan kekayaan. Jadi secara umum dan sederhana korupsi dapat di artikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan/kepercayaan untuk keuntungan pribadi.

2.Secara umum korupsi mencakup apa saja?

Pengertian korupsi juga mencakup perilaku pejabat-pejabat di sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan pejabat birokrasi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang di percayakan pada mereka. Kehidupan korupsi dalam konteks pelayanan publik ini merupakan perbuatan “korupsi administrasi” dengan fokus pada kegiatan perorangan yang memegang kontrol dalam kedudukannya sebagai pejabat publik, sebagai pembuat kebijakan atau sebagai pegawai birokrasi pemerintah, atas berbagai kegiatan atau keputusan.

Dengan makin meluasnya proyek swastanisasi perusahan negara dan pengalihan kegiatan yang selama ini di pandang masuk dalam lingkup tugas pemerintah ke sektor swasta, dan monopoli penuh atau setengah penuh penyediaan barang publik oleh sektor swasta (misalnya: air, listrik, telkom), maka perbuatan korupsi telah merambah juga pada sektor swasta di luar dan di dalam hubungan kerja sektor swasta dengan sektor publik, sehingga perbuatan korupsi kedua sektor ini membawa dampak negatif terhadap kepentingan publik.

3.Apa saja dampak dari Korupsi

Dampak korupsi adalah empat kali lipat yaitu politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Dari segi politik, korupsi merupakan suatu hambatan yang besar bagi demokrasi dan supremasi hukum. Dalam sistem demokrasi, kantor dan institusi kehilangan legitimasi mereka ketika mereka di salahgunakan untuk keuntungan pribadi. Meskipun ini berbahaya di demokrasi yang sudah mapan, bahkan lebih berbahaya di negara demokrasi baru. Kepemimpinan politik yang terpercaya tidak dapat berkembang dalam iklim yang korup.

Secara ekonomi, korupsi menyebabkan penipisan kekayaan nasional. Hal ini merupakan penyebab untuk penyaluran sumber daya publik yang langka untuk proyek-proyek high-profile tidak ekonomis, seperti bendungan, pembangkit listrik, jaringan pipa dan kilang, dengan mengorbankan proyek-proyek infrastruktur kurang spektakuler tetapi mendasar seperti sekolah, rumah sakit dan jalan, atau pasokan listrik dan air untuk daerah pedesaan. Selain itu, menghambat perkembangan struktur pasar yang adil dan mendistorsi persaingan, sehingga menghalangi investasi.

Pengaruh korupsi pada struktur sosial masyarakat adalah yang paling merusak dari semua. Ini melemahkan kepercayaan rakyat dalam sistem politik, di lembaga dan kepemimpinannya. Menimbulkan frustrasi dan sikap apatis umum di kalangan publik akibat kekecewaan.

Yang berikutnya membuka jalan bagi pemimpin lalim maupun pemimpin yang terpilih secara demokratis tapi tak bermoral untuk mengubah aset-aset nasional menjadi kekayaan pribadi. Menuntut dan membayar suap menjadi norma. Mereka yang tidak bersedia untuk mematuhi seringkali emigrasi, meninggalkan negara kehabisan warganya yang paling mampu berkarya dan paling jujur.

Kerusakan lingkungan adalah satu lagi konsekuensi dari sistem yang korup. Kurangnya, atau tidak adanya penegakan, peraturan lingkungan dan perundang-undangan secara historis telah memungkinkan pembalakan liar. Pada saat yang sama, eksploitasi sumber daya alam yang ceroboh, oleh agen domestik dan internasional telah menyebabkan lingkungan alam rusak. Proyek-proyek yang merusak lingkungan menjadi pilihan dalam pendanaan, karena mereka adalah target mudah untuk menyedot uang publik ke dalam kantong pribadi.

4.Apa saja aturan khusus yang mengatur perbuatan korupsi?

Pada jaman Belanda belum ada aturan khusus yang mengatur perbuatan korupsi, sehingga setiap perbuatan pegawai negeri yang dianggap koruptif tersebut diatur dalam KUHP Belanda yang dikenal dengan Wetboek van Strafrecht (WVS). Dalam jaman awal kemerdekaan sampai kepada dibentuknya Undang-undang Nomor 24 Prp tahun 1960, pengaturan tentang perbuatan yang koruptif itu diatur dalam KUHP Bab VIII Pasal 209, 210, 387, 388, dan Bab XXVIII Pasal 415 416, 417, 418, 419, 420, 423, 424, 425, 435.

Selanjutnya dengan Undang-undang Nomor 24 Prp tahun 1960 dikeluarkan ketentuan tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-undang Nomor 24 Prp tahun 1960 perbuatan korupsi itu dirumuskan dalam 2 hal yaitu :

Yang pertama, Barang siapa dengan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung, merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Yang kedua,  Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor 24 Prp tahun 1960 disyaratkan bahwa perbuatan tersebut harus dengan adanya kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan orang yang bersangkutan. Sesuai perkembangan masyarakat, khususnya dalam rangka penyelamatan keuangan dan perekonomian negara untuk terlaksananya program pembangunan nasional.

Keberadaan Undang-Undang Nomor 24 Prp tahun 1960 dirasakan kurang bermanfaat, karena dalam perkembangannya banyak perbuatan-perbuatan yang bersifat koruptif tidak dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Prp tahun 1960, oleh karena tidak termasuk dalam perumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 24 Prp tahun 1960, hal mana disebabkan perbuatan korupsi menurut Undang-Undang Nomor 24 Prp tahun 1960 harus didahului dengan adanya perbuatan kejahatan atau pelanggaran. Oleh karena itu dibentuklah Undang- Undang Nomor 3 tahun 1971 yang merumuskan korupsi dalam Pasal 1 (1) sub a,b,c,d,e dan Pasal 2.

5.Bagaimana membuktikan adanya perbuatan kejahatan atau pelanggaran?

Lebih rinci saya akan memaparkan semuanya, dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 pembuktian unsur melawan hukum tidak lagi harus terlebih dahulu membuktikan adanya perbuatan kejahatan atau pelanggaran.

Untuk mencakup perbuatan-perbuatan yang koruptif tetapi tidak dapat dibuktikan adanya kejahatan/pelanggaran maka menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 korupsi dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan melawan hukum yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Dari hal tersebut Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 ada yang mengatur jenis tindak pidana korupsi yaitu : Pasal 1 ayat (1) sub a, Pasal 1 ayat (1) sub b UU 8 Nomor 3 tahun 1971, Pasal 1 ayat (1) sub c UU Nomor 3 tahun 1971 eks Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, Pasal 435 KUHP, Pasal 1 ayat (1) sub d UU Nomor 3 tahun 1971, Pasal 1 ayat (1) sub e UU Nomor 3 tahun 1971, Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 3 tahun 1971.

Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana korupsi dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil.

Dalam rangka menjangkau modus operandi penyimpangan keuangan negara maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, yang mana dalam Undang-undang tersebut tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, yang sangat penting untuk pembuktian, karena dengan rumusan secara formil yang dianut oleh Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana.

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 ada mengatur jenis tindak pidana korupsi yaitu : Pasal 2 ayat (1) . Pasal 3, Pasal 5, UU Nomor 31 tahun 1999 eks Pasal 209 KUHP , Pasal 6 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 210 KUHP, Pasal 7 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 387 KUHP dan pasal 388 KUHP, Pasal 8 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 415 KUHP.

Pasal 9 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 416 KUHP, Pasal 10 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 417 KUHP, Pasal 11 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 418 KUHP, Pasal 12 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 419, 420, 423, 425, 435 KUHP, Pasal 13 UU Nomor 31 tahun 1999, Pasal 14 UU Nomor 31 tahun 1999, dan Pasal 15 UU Nomor 31 tahun 1999.

Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 mengatur jenis tindak pidana korupsi yaitu : Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 , Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12 A, Pasal 12 B UU Nomor 20 tahun 2001.

Dari hal tersebut jelas kelihatan bahwa penerapan Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 mudah membuktikan namun mengandung multitafsir, akan tetapi Pasal yang lainnya sangat susah membuktikan tetapi tidak multitafsir.

Unsur melawan hukum (vide Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) dan unsur menyalahgunakan wewenang kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan (vide Pasal 3 vide Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) seringkali terjadi kekeliruan pemahaman antara kedua unsur tersebut.

6.Dapatkah Biaya Korupsi Di Ukur?

Jawaban singkatnya adalah tidak. Beberapa ahli menggunakan analisis regresi dan metode empiris lain untuk mencoba untuk menempatkan angka pada biaya korupsi. Adalah hampir mustahil untuk dihitung karena pembayaran suap tidak di catat secara publik. Tidak ada yang tahu persis berapa banyak uang yang sedang di investasikan di pejabat korup setiap tahunnya. Dan suap tidak hanya mengambil bentuk moneter: nikmat, jasa, hadiah dan sebagainya adalah hal yang biasa.

Paling banyak, seseorang dapat melakukan penelitian hubungan antara tingkat korupsi dan, katakanlah, demokratisasi, pengembangan ekonomi atau kerusakan lingkungan. Biaya sosial korupsi bahkan lebih tidak terukur. Tidak ada yang tahu berapa banyak hilangnya seorang pengusaha energik atau ilmuwan yang diakui negara.

Selain itu, biaya sosial yang di perkirakan dalam rupiah tidak akan cukup untuk mengukur tragedi kemanusiaan di balik pengunduran diri, buta huruf, atau perawatan medis yang tidak memadai. Sebuah skeptisisme umum vis-à-vis segala upaya kuantifikasi biaya korupsi dengan demikian di perlukan.

Contoh berikut menggambarkan dilema menekan isu menjadi fakta-fakta dan angka: Sebuah pembangkit listrik sedang di bangun di suatu tempat di dunia, dengan biaya sebesar 1 trilyun rupiah. Dapat di katakan bahwa kalau bukan karena korupsi – biaya bisa saja terendah 800 milyar rupiah.

Kerusakan finansial publik berarti sebesar 200 milyar rupiah. Dalam praktek, cukup sering proyek di rencanakan secara sederhana sehingga mereka yang yang terlibat dapat membuat keuntungan pribadi yang besar. Jika di asumsikan bahwa pembangkit listrik itu ternyata sudah melebihi kapasitas berlebih, maka kerusakan finansial bernilai 1 Trilyun rupiah.

Dan hingga saat ini, belum ada proyek konstruksi utama yang tidak mempengaruhi lingkungan. Hasilnya mungkin: polusi meningkat, penurunan harga tanah, memindahkan kembali (resettlement) penduduk lokal, beban utang meningkat bagi negara, dll perhitungan ini mungkin dekat dengan kenyataan sangat kompleks.

Pada skala global, tampaknya hampir mustahil. Tetapi bahkan jika kita dapat menghitung kerusakan lingkungan, peningkatan beban utang dan faktor lain, bagaimana seseorang mengukur erosi kepercayaan publik dan kemerosotan legitimasi pemerintah, yang merupakan akibat langsung dari korupsi?

7.Apa saja unsur unsur melawan Hukum?

Unsur melawan hukum (wederechtelijke) dapat di kualifikasikan sebagai melawan hukum formil maupun materiil. Sifat melawan hukum formil artinya perbuatan pelaku bertentangan dengan ketentuan hukum formal seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan lain-lain.

Perlu di ingat pula bahwa peraturan yang formal yang di langgar tersebut tidaklah perlu harus memuat sanksi pidana. Misalnya, Peraturan Presiden tidaklah memuat sanksi pidana, namun terlanggarnya ketentuan tersebut sudah dapat untuk membuktikan unsur melawan hukum.

Pengertian Hukum (recht) lebih luas dari pada Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan lain-lain sebagai hukum tertulis, karena di dalamnya juga memuat pengertian hukum tak tertulis seperti kebiasaan, kepantasan dan kesusilaan di masyarakat.

Pelanggaran terhadap kebiasaan, kepantasan dan kesusilaan merupakan sifat melawan hukum materiil, yang dalam praktek peradilan di Indonesia dapat berfungsi positif (sebagai alasan untuk menghukum) seperti dalam kasus R. Sonson Natalegawa (Yurisprudensi MA RI No.275K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983), dan dapat berfungsi negatif (sebagai alasan untuk meniadakan hukuman/membebaskan) seperti dalam kasus Machrus Effendi (Yurisprudensi MA RI No.42K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966).

Untuk kasus menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan adalah terlanggarnya/disalahgunakannya wewenang yang di miliki oleh pelaku tindak pidana. Formulasi wewenang dapat terlihat dari berbagai peraturan formil yang mengatur kewenangan seorang pemangku jabatan tertentu.

Peraturan tersebut bisa berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan/Keputusan Menteri, Peraturan/ Keputusan Gubernur, Peraturan/Keputusan Gubernur Bank Indonesia dan lain-lain yang memberikan kewenangan tertentu kepada seseorang atau kelompok orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu di dalam jabatan atau kedudukannya.

Pengertian sifat melawan hukum formil sering di rancukan dengan pengertian  menyalahgunakan wewenang, padahal itu jelas berbeda, sebab sifat melawan hukum formil bisa di lakukan oleh setiap orang sedangkan menyalahgunakan wewenang hanya bisa di lakukan oleh seseorang yang mempunyai kewenangan dan kapasitas tertentu yang di tetapkan secara tertulis oleh suatu peraturan formil (tertulis). Hal tersebut perlu di fahami secara benar karena akan berkaitan dengan masalah pengumpulan alat bukti dan pembuktiannya di depan persidangan.

Selain itu, ada aparat hukum yang berpendapat bahwa kesalahan seorang pegawai negeri yang termasuk dalam lingkup hukum administrasi yang berakibat merugikan keuangan negara bukan termasuk tindak pidana korupsi namun merupakan kesalahan administrasi (kesalahan prosedur) yang seharusnya di selesaikan melalui jalur administrasi dengan menerapkan sanksi administrasi berupa pembayaran ganti rugi.

Padahal, unsur melawan hukum sebagaimana di maksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 bukan hanya sifat melawan hukum dalam arti pidana, namun juga mencakup melawan hukum administrasi.

Dengan demikian, kesalahan atau pelanggaran terhadap hukum administrasi dapat di adopsi ke dalam sifat melawan hukum sebagaimana di maksud dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila dari kesalahan administrasi tersebut telah menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Demikian juga dengan unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi (vide Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001) dan unsur  dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi (vide Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001), merupakan unsur yang bersifat alternatif sehingga tidak perlu pelaku tindak pidana korupsi harus menikmati sendiri uang hasil tindak pidana korupsi karena cukup si pelaku memperkaya orang lain atau menguntungkan orang lain.

Unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi lebih sulit membuktikannya karena harus dapat di buktikan tentang bertambahnya kekayaan pelaku korupsi sebelum dan sesudah perbuatan korupsi di lakukan.

Namun secara teoritis, unsur memperkaya diri sudah dapat di buktikan, dengan dapat di buktikannya bahwa pelaku tindak pidana korupsi berpola hidup mewah dalam kehidupan sehari-harinya. Sedangkan unsur menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi, artinya pada adanya fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang.

8.Apa saja unsur yang dapat merugikan keuangan negara?

Mengenai unsur merugikan keuangan negara, aparat penegak hukum memang bekerjasama dengan instansi terkait yaitu BPK atau BPKP yang membantu penyidik menghitung kerugian negara. Dalam perkembangan hasil audit BPK dan BPKP akhir-akhir ini, terlihat secara fakta hasil audit BPK atau BPKP ini sudah mengarah pada audit adanya melawan hukum yang bukan merupakan zona wewenangnya.

Kewenangan BPK atau BPKP dalam melakukan audit adalah dalam zona accounting , sehingga tidak perlu jauh sampai mencari adanya perbuatan melawan hukum atau tidak, karena itu merupakan kewenangan Penyidik dan Penuntut Umum Dalam hal unsur kerugian keuangan negara, konstruksi Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 di hubungkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 harus di lihat secara kemprehensif, dengan mengkaji sejauh mana hubungan pengembalian kerugian negara dengan perbuatan melawan hukum yang di lakukannya.

Pengembalian kerugian negara setelah hasil pemeriksaan yang di lakukan BPK tidak serta merta BPK tidak perlu melaporkannya kepada instansi yang berwenang. Dengan demikian setiap temuan adanya kerugian negara oleh BPK dari hasil audit yang di lakukannya harus di laporkan kepada instansi yang berwenang (Kejaksaan, POLRI) untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara yang di kembalikan tersebut merupakan suatu perbuatan melawan hukum atau tidak.

Kalau kita melihat Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 di sana di katakan Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah di tetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat di kenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana. Dari hal tersebut jelas terlihat bahwa walaupun telah di lakukan pengembalian kerugian negara maka masih di mungkinkan untuk diproses melalui pidana.

Dengan demikian secara aspek pidana setiap hasil audit BPK harus di laporkan kepada instansi berwenang (Kejaksaan dan POLRI) terlepas apakah kerugian negara sudah di kembalikan atau tidak, karena untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara tersebut di akibatkan adanya perbuatan melawan hukum atau tidak merupakan wewenang Penyidik, yang mana secara dominis litis eks Pasal 139 KUHAP Jaksa yang menentukan dapat tidaknya perkara tersebut di limpahkan ke Pengadilan.

Kerancuan juga terjadi dalam pembukian unsur kerugian keuangan negara. Adakalanya dalam praktek peradilan telah terbukti unsur kerugian keuangan negara, namun unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi (Pasal 2 ayat (1)), atau unsur menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi tidak terbukti.

Hal tersebut di jadikan alasan untuk membebaskan tersangka tindak pidana korupsi. Kesalahan konstruksi yuridis demikian agaknya menghambat proses penegakan hukum. Semestinya dengan terbuktinya unsur kerugian negara, berarti telah ada uang atau kekayaan negara yang hilang.

Hal tersebut memastikan bahwa tersangka telah memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi, atau tersangka telah menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi, dengan uang atau kekayaan negara yang telah terbukti hilang tadi.

Dengan demikian, terbuktinya unsur kerugian keuangan negara dalam suatu persidangan, dapat di katakan bahwa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi, atau telah menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi, juga telah dapat di buktikan.

Apabila tidak demikian, maka terjadi konstruksi yuridis yang tidak logis. Kemana uang atau kekayaan negara yang hilang tersebut?

Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 di atur mengenai pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah, yang dalam prakteknya di lakukan oleh aparat pengawas internal yang terwadahi dalam Badan Pengawas Daerah (BAWASDA) baik di pemerintahan Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Hasil pembinaan dan pengawasan dapat di gunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh badan Pemeriksa Keuangan (BPK (Pasal 221 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).

Dengan demikian dalam penegakkan hukum di daerah khususnya dalam upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi, selayaknya BAWASDA di libatkan dalam upaya pemberantasan korupsi dalam perspektif preventif administratif.

9.Jadi secara singkat yang menilai/menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara itu siapa?

Yang menilai/menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK dan BPKP. Arti kerugian negara itu sendiri dapat kita temukan dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut, antara lain Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.

Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999) “Yang di maksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat di hitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang di tunjuk”.

Mengenai penghitungan kerugian negara, dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 di tegaskan bahwa dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu.

Bahkan, dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang di tanganinya.

Melihat pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya di atas, menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan hal tersebut sertifikasi auditor tidak menjadi tolak ukur dalam pengungkapan.

Ada atau tidaknya suatu kerugian Negara dalam kasus tindak pidana korupsi, termasuk tidak serta merta menggugurkan atau membatalkan kasus tindak pidana korupsi yang telah di putus oleh pengadilan.

Apabila hal tersebut akan di jadikan argumentasi pembelaan oleh Tim Penasehat Hukum Terdakwa tentu sah-sah saja. Namun tidak menutup kemungkinan tidak adanya sertifikasi auditor akan di tangkis oleh KPK atau Jaksa Penuntut Umum dengan mengatakan bahwa kerugian Negara sudah dapat di buktikan secara materiil oleh lembaganya sendiri dengan tidak menyandarkan pada hasil penghitungan kerugian Negara oleh auditor yang belum memiliki sertifikasi auditor tersebut.

Demikian hasil wawancara tersebut, semoga bisa bermanfaat dan menambah sedikit wawasan kita tentang Perspektif Pembuktian Hukum Pidana.(red)


Eksplorasi konten lain dari Journalarta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Related Posts