NewsOPINI

Hari Laut Sedunia: Perikanan Bangka Poros Maritim Strategis

Perikanan Bangka Poros Maritim Strategis

Bangka Belitung, Journalarta.com – Secara geografis, pulau Bangka berkepentingan dalam pengelolaan perikanan tangkap di WPP 711 (perairan selat karimata, laut china selatan dan natuna) (Baskoro & Mustaruddin, 2019). Kepulauan Bangka Belitung memiliki panjang garis pantai 1.200 km dan luas perairan laut 65.301 km2 (80%) (Limbong, 2020).

Tentunya pulau Bangka menyimpan potensi perikanan yang cukup beragam dengan salah satu pekerjaan penduduknya sebagai nelayan. Pemanfaatan potensi perikanan diharapkan dapat mempercepat pembangunan, terutama ekonomi perikanan yang berkelanjutan sebagai poros maritim Indonesia.

Namun di sisi lain, Aktivitas penambangan logam berat (timah) di laut dapat merusak kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan sehingga menjadi persoalan krusial bagi nelayan dalam beraktivitas.

Ironi kegiatan penambangan logam berat (timah) di laut Bangka selain mengeksploitasi sumber daya alam, hal tersebut dapat juga menghancurkan harapan nelayan pada hasil tangkap ikan. Aktivitas tambang di perairan laut Bangka tentu saja menyebabkan rusaknya habitat ikan, hancurnya terumbu karang dan biota laut lainnya serta dapat merusak kualitas perairan akibat limbah penambangan.

Ditambah lagi adanya Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang diterbitkan pada 27 April 2020 lalu. Wilayah tangkapan nelayan sebagai zonasi tambang timah di tetapkan pada Perda tersebut.

Baca juga: Mencari Pekerjaan di Bangka Belitung Tidak Sesulit di Propinsi Lainnya

Nelayan berperan penting dalam mendukung ketahanan pangan, berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi wilayah dan pendapatan daerah, serta mendorong kegiatan ekonomi lokal (Asirin & Argo, 2016). Sangat disayangkan mata pencaharian nelayan yang berkontribusi penting pada pengembangan wilayah dan perdesaan terganggu oleh tekanan penambangan timah. Hal ini sangat merugikan terutama bagi nelayan subsisten yaitu nelayan yang menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika pun tangkapan ikan berlebih dijual ke pasar, tentu saja pendapatan hasil jualan juga tidak banyak.

Kehadiran penambangan timah di lepas pantai mendapatkan penolakan keras oleh para nelayan, lantaran aktivitas tersebut membuat para nelayan memilih melaut dengan jarak yang cukup jauh demi memaksimalkan hasil tangkap ikan. Upaya tersebut merupakan satu-satunya pilihan dan lebih condong menghindari lokasi penambangan timah yang merusak ekosistem bawah laut. Akibatnya, waktu yang dibutuhkan untuk melaut dan biaya operasional yang dikeluarkan juga bertambah. Terlebih harga bahan bakar perahu nelayan yang semakin naik.

Ketika biaya melaut meningkat dengan hasil tangkapan ikan yang tidak seimbang akan berdampak parah pada penurunan ekonomi nelayan di pulau Bangka. Persoalan tersebut menjalar dalam kehidupan, terlebih lagi para nelayan dalam menutupi biaya operasional ketika melaut pasti ikut terlibat dalam kegiatan patron-klien rentenir, sehingga nelayan pun terlilit hutang.

Karakteristik kondisi mata pencarian, sistem ekonomi, dan lingkungan merupakan relasi sosial patron-klien yang sangat dominan dan penyebab terbentuknya relasi. Menghambat atau mendukung perubahan sosial ekonomi yang disebabkan pola-pola hubungan patron-klien tergantung pada ada tidaknya permasalahan. Tentunya, ketika terjadi permasalahan seperti adanya aktivitas penambangan timah di kawasan yang dulunya merupakan kawasan aktivitas tangkap ikan menyebabkan adanya pola yang lebih menghambat sosial ekonomi masyarakat nelayan.

Baca juga: Babel Masih Berketergantungan Dengan Timah, Belum Bisa Move On

Penurunan produksi penangkapan ikan pada tahun 2015 hingga 139.542,90 ton lantaran adanya aktifitas penambangan timah di kawasan laut pada tahun itu melonjak pesat sekitar 70 lebih jumlah kapal isap yang beroperasi di perairan pulau Bangka (Rismika & Purnomo, 2019). Produktivitas nelayan jadi terganggu lantaran laut menjadi padat oleh aktivitas kapal isap dan terancam kehilangan mata pencaharian.

Menurunnya pendapatan hasil tangkapan ikan nelayan berkurang karena terumbu karang rusak akibat tertutup lumpur dihasilkan dari limbah penambangan pasir timah di laut (Rismika & Purnomo, 2019). Selanjutnya pada tahun 2016-2018 terjadi kenaikan, namun penurunan terjadi kembali pada tahun 2019 akibat izin usaha penambangan (IUP) yang dipermudah dan pada awal tahun 2020 Perda RZWP-3-K diterbitkan. Dengan demikian, diperkirakan tahun berikutnya hasil tangkap ikan oleh nelayan akan mengalami penurunan kembali.

Peristiwa tersebut akan berbuntut panjang pada sosial ekonomi keluarga nelayan yang dipaksa oleh keadaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Anak-anak para nelayan yang seharusnya merasakan pendidikan tidak bisa untuk bersekolah dan lebih memilih untuk bekerja dalam membantu perekonomian keluarga. Selain itu, isteri nelayan juga lebih memaksimalkan pendapatan keluarga sehingga identitas sebagai ibu rumah tangga lebih dikesampingkan.

Kondisi yang tidak menguntungkan tersebut tentunya juga menyebabkan sebuah gejolak baru masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan terutama kemiskinan yang berdampak pada kesehatan, generasi bodoh dan kerusakan lingkungan. Apalagi pengeluaran rumah tangga nelayan terdiri dari pengeluaran pangan dan nonpangan.

Baca jugaRUPS, Direksi dan Social License To Operate PT Timah

Dimana pengeluaran pangan jauh lebih besar dari pada non pangan (sandang, papan dan pendidikan) (Zalmi, 2015). Pengeluaran pangan lebih besar dari pada persentase pengeluaran nonpangan menggolongkan rumah tangga nelayan ke dalam rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan rendah.

Penolakan demi penolakan terhadap penambangan timah di pulau Bangka terus terjadi oleh pihak nelayan. Nelayan juga kerap kali melakukan aksi dan audiensi kepada pihak pemerintah provinsi, bahkan kerap kali memajangkan poster penolakan penambangan timah di beberapa lokasi di pesisir pantai.

Dengan adanya problematika yang terjadi, ketangguhan nelayan kian terlihat dengan ide-ide para nelayan yang dibantu oleh mahasiswa dan juga dibantu secara finansial dalam pembangunan oleh pemerintah terkait dengan merealisasikan destinasi wisata di beberapa lokasi di dermaga perahu nelayan.

Hal ini merupakan salah satu strategi nelayan untuk mempublikasikan sengketa penambangan timah dengan nelayan kepada wisatawan yang berekreasi. Selain sebagai upaya mempublikasikan keadaan, nelayan dapat memaksimalkan mata pencarian melalui kunjungan wisatawan dengan sumber daya alam yang ada.

Baca juga: Pesan Rektor UBB Kepada Para Pemegang Saham PT.Timah Menjelang RUPS

Contohnya menjual ikan, kelapa muda dan makanan tradisional setempat kepada wisatawan. Adanya destinasi wisata di dermaga nelayan juga membuat pegiat penambangan konvensional yang dilakukan oleh PT dan penambangan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat secara ilegal, tentunya pihak tersebut akan berpikir dua kali untuk melakukan aktivitas penambangan agar terhindar dari asumsi publik.

Dengan berkembangnya destinasi wisata di dermaga para nelayan diharapkan dapat menjadikan jalur laut tersebut menjadi poros maritim. Konektivitas antar pulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, perbaikan transportasi laut serta fokus pada keamanan maritim merupakan sebuah gagasan strategis yang didesain untuk menjamin terciptanya poros maritim (Mulyadi, 2020).

Terlebih lokasi geografis strategis pulau Bangka yang diapit oleh tiga pulau besar yaitu jawa, sumatera dan kalimantan dan juga dikelilingi oleh perairan selat karimata, laut china selatan dan laut natuna yang dapat menghubungkan langsung ke jalur perdagangan nasional maupun internasional.

Nelayan subsisten juga dapat menjadi nelayan komersil untuk mendagangkan lebih leluasa hasil tangkap ikan melalui jalur yang ada, namun tetap mempertimbangkan tangkapan agar tidak berlebihan (overfishing). Potensi tersebut diharapkan dapat terwujud pada dimensi-dimensi ketangguhan nelayan dalam menunjang sosial ekonomi keluarga sebagai upaya menyejahterakan masyarakat nelayan.

Baca juga: Pandangan Prof.Dr.Bustami Rahman Untuk PT.Timah Menjelang RUPS

Konsep ketangguhan pada konteks sektor perikanan (fisheries sector) dapat mengembangkan konsep ketangguhan sosial (social resilience), mengembangkan konsep nelayan kecil tangguh (resilient small scale fishery), mengembangkan konsep kelembagaan tangguh (intitutional resilience), dan mengembangkan konsep ketangguhan ekonomi (economic resilience). Upaya pada konsep ketangguhan sektor perikanan diharapkan dapat mencapai perikanan pulau Bangka sebagai poros maritim negara Indonesia yang strategis dan terpusat.

Wilayah tangkap dan wilayah eksplorasi pertambangan timah harus jelas diatur pemerintah daerah sehingga tidak terjadi permasalahan yang merugikan khususnya bagi nelayan kecil di daerah yang terdampak pertambangan timah di laut.

Seluruh elemen baik nelayan, pemerintah, mahasiswa dan stakeholder yang bersangkutan bahu-membahu melakukan pengembangan destinasi wisata di setiap dermaga yang digunakan nelayan dalam rangka membatasi ruang gerak pegiat penambangan dalam mengambil alih kawasan nelayan dalam beraktivitas.

Konsep ketangguhan sektor perikanan dengan kombinasi pariwisata berpeluang besar dalam upaya menyejahterakan nelayan dan menjadikan perikanan pulau Bangka sebagai poros maritim yang strategis.

Artikel dan Opini

Oleh: Erwin Januardi
(Mahasiswa Biologi Universitas Bangka Belitung)

Baca juga: Hari Kebebasan Pers Sedunia, Momentum Untuk Bersuara Lebih Keras


Eksplorasi konten lain dari Journalarta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Related Posts