Teluk Kelabat Dalam Tuai Kontroversi, Lanal Babel Kedepankan Perimbangan Hak Nelayan Dan Penambang
Bangka Tengah, Journalarta.com – Persoalan pertambangan pasir timah menggunakan sarana Ponton Isap Produksi (PIP) di wilayah perairan Kabupaten Bangka pun sempat menjadi pembahasan dalam rapat koordinasi (Rakor) Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Provinsi Bangka Belitung (Babel), rapat yang di gelar di Soll Marina hotel, Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah, Kamis (5/8/2021).
Dalam rakor ini pun pihak Lanal Babel di wakili Palaksa Lanal Babel, Letkol Laut (PM) Fajar Hasta Kusuma menegaskan jika pihaknya (Lanal Babel) sebagai aparat apapun keputusan rakor Forkopimda ini pihaknya akan mengikuti.
Bahkan di tegaskanya terkait kondisi penambangan timah di perairan Bangka, Lanal Babel tetap akan mengedepankan hal yang berimbang antara nelayan dan penambang.
“Hal ini guna kepentingan untuk menghindari konflik,” tegas Palaksa Lanal Babel saat rakor berlangsung saat itu.
Sebelumnya, Fajar sempat pula mengungkapkan terkait persoalan pertambangan pasir timah di perairan Bangka dan sekitarnya saat ini kian marak namun rentan terjadi konflik di kalangan masyarakat khususnya masyarakat penambang dan nelayan di wilayah peraraian setempat.
Kendati begitu menurutnya masyarakat termasuk pemerintah daerah setempat di harapkanya agar tidak melupakan sejarah daerah Provinsi Babel sebelumnya menurut ia memang merupakan daerah pertambangan biji timah.
Baca juga: Penampung Timah Di Perairan Teluk Kelabat Dalam Di Tangkap Ditkrimsus Polda Babel
“Daerah Babel ini berkembang dan maju karena adanya tambang timah, dan tradisi masyarakat Babel adalah penambang timah itu justru turun-temurun, kami juga sampaikan pejabat Babel bisa berkembang juga karena timah, kita tidak boleh melupakan sejarah penambangan timah,” ungkap Fajar dalam rapat siang itu.
Tak cuma itu, Fajar pun dalam kesempatan itu dikatakanya pula jika mayarakat nelayan Teluk Kelabat Dalam, Kabupaten Bangka Barat hanya masalah pencaharian sehari-hari, atau bukan industri besar seperti di Jawa dengan pengolahan ikan modern.
“Namun timah merupakan industri yang besar dan berdampak terhadap pembangunan di babel, dampak sosialnya lebih besar. Jika dibandingkan jumlah mayarakat nelayan dengan penambang TI lebih banyak penambang,” terangnya.
Bahkan ia sendiri mengaku sangat miris terkait persoalan keluhan masyarakat nelayan terhadap aktifitas penambangan PIP di perairan Teluk Kelabat Dalam, Bangka Barat termasuk masalah pertambangan di perairan Bakik itu justru dinilainya kini malah lebih dominan mencuat ke publik.
“Kenapa yang selalu dinaikkan adalah isu nelayan di Bakik, ada catatan tersendiri yang perlu diperhatikan. Bencana ekologi yang diciptakan KIP (Kapal Isap Produksi — red) lebih besar dibandingkan PIP yang hanya beberap meter kedalaman menambangnya,” singgungnya.
Sebaliknya, menurut ia masalah lingkungan adalah hanya opini tidak pernah dibuktikan dengan data empiris ,buktinya di bakik masih banyak karamba karamba dan ikan disitu hidup semua dan segar.
“Masyarakat sekitar kelabat dalam sebagian besar adalah penambang, dengan adanya penutupan ini dampak sosialnya lebih besar,” katanya.
Berkaitan dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dinilainya bahwa ijin usaha pertambangan (IUP) itu munculnya lebih dulu dibandingkan dengan Peraturan Daerah (Perda), dan IUP menurutnya dengan kekuatan hukumnya lebih kuat karena diatur pemerintah pusat.
“Seharusnya aturan yang dibuat oleh Pemda Propinsi dan bupati lebih mengedepankan pencaharian hidup orang yang lebih banyak jumlahnya, dan mana yang lebih bermanfaat untuk pembangunan,” tegas Fajar. (Red)
Baca juga: Danrem 045/Gaya Rakor Pembahasan Konflik Sosial di Perairan Teluk Kelabat
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.