OPINI

Aktualisasi Pancasila Di Negeri Kaya Raya, Penghasil Timah Dunia

Penulis : Gilang Virginawan
[ Ketua Umum HMI Cab BABEL Raya ]

 

Bangka Belitung, Journalarta.com – Hari ini, Rabu, 1 Juni 2022 bertepatan dengan hari lahirnya Pancasila. Saya tak ingin sebut ini sebagai hari peringatan lahirnya Pancasila atau semacamnya, sebab para perumus Pancasila tak pernah sedikit pun bermimpi akan hal-hal semacam itu. Ada hal yang jauh lebih substantif dari sekedar memperingati Pancasila, yaitu aktualisasi dan konsep Pancasila.

Tulisan ini saya mulai dengan kisah ketika berada di ruang tunggu Bandara Depati Amir Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sembari menunggu panggilan untuk keberangkatan ke Jakarta. Tentunya saya tidak lupa untuk berpamitan kepada kawan-kawan satu organisasi melalu pesan WhatsApp, karena keberangkatan saya kali ini adalah bagian dari tanggung jawab organisasi. Berbagi respon yang disampaikan, tetapi ada satu kesamaan secara prinsip. Mereka menyampaikan doa agar semua berjalan dengan lancar sesuai yang direncanakan.

Tentunya dalam konteks ketauhidan, ketika seseorang menyampaikan doa atau harapan di tengah-tengah ikhtiarnya, ini merupakan bentuk kesadaran terhadap Zat Tunggal, yang telah menciptakan alam semesta dan isinya serta menguasai atas setiap ciptaannya dan peristiwa yang terjadi di dalamnya. Hal ini selaras dengan salah satu butir pada Pancasila, butir yang relatif sering diperdebatkan terkait tafsiran dan implementasinya. Para pendiri Bangsa dan Perumus Pancasila meletakkan poin Ketuhanan pada Sila yang pertama, Kemudian hal ini ditegaskan melalui amanat Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga yang berbunyi “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Poin ini menegaskan bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari pembangunan dan kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Di kursi paling sudut ruangan dekat pintu keluar ruang tunggu, “sengaja saya ambil posisi itu karena bisa melihat lebih luas kondisi ruang tunggu”. Seperti halnya tempat-tempat umum, tentulah ada banyak orang dengan latar belakang, agama, suku, ras dan hal lainnya yang mewarnai ruang tunggu itu. Tidak kurang dari 7 suku yang sempat terpantau mata saya (Melayu, Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Batak, dan China atau Tionghoa) dari 1.340 suku yang ada di Indonesia. Tentunya mereka tampil dengan ciri, gaya dan karakternya masing-masing. Beberapa bahkan ada yang menggunakan bahasa daerahnya masing-masing, sesekali menggunakan bahasa Indonesia untuk sekedar bertegur sapa dengan orang yang sebetulnya ia pun tak kenal. Kembali teringat, bahwa pada 77 tahun yang lalu, tepatnya 1 Juni 1945 semangat persatuan ditengah keberagaman serta perlawanan melawan ketertindasan inilah yang kemudian mendorong lahirnya butir Sila ke-3 Pancasila.

Dari ruang tunggu, bergeser ke pantauan pada ketinggian lebih dari 5.000 kaki. Sesaat setelah take off saya fokus mengamati kondisi Pulau Bangka. Iya betul, sesuai pengetahuan kita bersama bahwa daratan dan perairan pulau Bangka jika dilihat dari ketinggian maka kita akan menyaksikan lobang-lobang lahan eks-tambang timah di daratan serta semacam pulau-pulau pasir dan air laut yang berwarna cokelat keputih-putihan (seperti susu cokelat) sebagai dampak dari aktivitas penambangan timah di laut. Selain itu hamparan pohon sawit juga terlihat di beberapa daratan Bangka lainnya.

Seketika saya bertanya, apakah ini hasil kerja para pejabat-pejabat/pemimpin kita, di daerah dan pusat? Pertanyaan berikutnya yang muncul, apakah ini bagian dari hasil “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”? Lalu bagaimana dengan keadaan masyarakat dengan tingginya tingkat eksploitasi SDA di BABEL? Apakah berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan, pendidikan, hingga kesehatan masyarakat?

Tentu pemandangan dan pertanyaan yang muncul membuat saya mereview kembali tentang kondisi masyarakat BABEL. Beberapa tahun terakhir dimana-mana terjadi konflik kepentingan, antara kelompok penambang dan kelompok yang terdampak akibat aktivitas penambangan. Baik tambang ilegal maupun yang legal, dua-duanya memberikan subangsih terhadap konflik serta dampak lain yang terjadi.

Saya pikir bukan, ini makna dari Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebab faktanya, banyak kelompok masyarakat yang termarjinalkan karena kepentingan korporasi, kemiskinan sturktural dan pembangunan manusia yang jauh dari kata memanusiakan manusia. Seperti tingginya angka anak putus sekolah sebagai bentuk lemahnya perhatian stakeholder terhadap pendidikan, masalah kesehatan dan banyak lagi lainnya (terlalu panjang jika harus saya jabarkan di tulisan ini).

PT Timah misalnya, dengan puluhan tahun kehadirannya sebagai BUMN di BABEL tidak mampu berkontribusi besar untuk pembangunan daerah yang tidak berbanding lurus dengan dengan tingkat eksploitasi atas kekayaan alam BABEL berupa Timah. Di bidang pendidikan hanya beberapa saja yang merasakan, itu pun terkesan hanya formalitas saja. Tidak ada lembaga pendidikan di BABEL yang fokus pada mempersiapkan SDM untuk mampu mengoptimalkan potensi mineralnya. Di bidang kesehatan, beberapa rumah sakit PT Timah justru tidak mampu berbuat banyak karena harga (biaya berobat) yang terlampau tinggi untuk masyarakat menengah kebawah dan justru terkesan menjadi bisnis lain PT Timah, meski belakangan sudah masuk ke dalam holding RS BUMN.

Dalam hal pemberdayaan masyarakat pun demikian, hampir tidak ada desa atau wilayah binaan PT Timah yang mampu menunjukkan keberhasilan PT Timah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Tidak hanya PT Timah sebetulnya yang tidak berkontribusi, ada banyak perusahaan-perusahaan lain. Saya ambil contoh PT Timah karena Timah sebagai potensi besar untuk kemajuan daerah, dan PT Timah dipercaya negara untuk mengelolanya.

Tidak berlebihan rasanya jika saya berpendapat bahwa hari ini ada banyak bentuk pengkhianatan terhadap butir-butir yang tertuang pada Pancasila. Pancasila yang harusnya menjadi dasar negara, sebagai falsafah dan pandangan hidup. Pancasila yang memiliki peran sebagai pemersatu visi anak-anak bangsa. Nyatanya ia tak lebih dari rangkaian kata yang tak termaknai dan tak teraktualisasi di bumi Ibu Pertiwi ini. Jika ini tetap terjadi, maka anak-anak Ibu Pertiwi akan gigit jari di rumahnya sendiri.

Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak masyarakat BABEL untuk kita tunjukkan kekuatan dan persatuan kita, sesuai dengan bunyi Sila ke-tiga “Persatuan Indonesia”, mulai hari ini kita tolak segala bentuk kompromi dengan maling di rumah kita sendiri. Jika sudah waktunya nant, kita akan hadir untuk meminta kembali apa yang telah mereka curi dari bumi kita. Kita mengambil kembali kursi-kursi yang kita kasih pinjam kepada para wakil dan pemimpin dinegeri ini. Sebab demokrasi telah berjanji pada ibu Pertiwi, bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat !.


Eksplorasi konten lain dari Journalarta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Related Posts