NEWS

Saksi dan Ahli Presiden Akan Beri Keterangan dalam Uji UU Ciptaker

Jakarta, Journalarta.com – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian 4 perkara Pengujian Formil Undang-Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dan Saksi Presiden Perkara 50/PUUXXI/2023, Senin
(14/8/2023).

Empat perkara tersebut terdiri dari 40,41,46,50/PUU-XXI/2023 yang diajukan berbagai aliansi serikat atau federasi pekerja.

MK mengatakan, Dalam sidang ketiga dari Perkara Nomor 41/PUU-XXI/2023 dan 46/PUU-XXI/2023 yang digelar pada Rabu (21/6/2023) yang lalu, Ketua MK Anwar Usman menyampaikan penundaan agenda persidangan.

Menurutnya, Hal ini karena baik DPR maupun Presiden belum siap memberikan keterangan atas permintaan Pemohon yang menyatakan UU Ciptaker cacat hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.

“Sedangkan untuk perkara 40/PUU-XXI/2023 dan 50/PUU-XXI/2023, Rapat Permusyawaratan Hakim tanggal 6 Juni 2023 telah memutuskan untuk memisah pemeriksaan pengujian formil dan materiil dalam kedua perkara tersebut serta menunda pemeriksaan pengujian materiil,” ujar MK dikutip dalam siaran persnya, Senin (14/8/2023).

MK melanjutkan, Pada Kamis (6/7/2023) lalu, Asep N. Mulyana selaku Direktur Jenderal (Dirjen) Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menjelaskan mengenai pembentukan UU Ciptaker telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebab serangkaian agenda telah dilakukan, yakni pembentukan panitia antar kementerian untuk menetapkan Perppu menjadi undang-undang.

“Pada 5 Januari 2023 dilakukan penyampaian RUU penetapan Perppu hasil harmonisasi, 9 Januari 2023 dilakukan penunjukan wakil pemerintah dalam pembahasan RUU penetapan Perppu di DPR dan penyampaian RUU Perppu pada DPR hingga akhirnya pada 27 Maret 2023 dilakukan persetujuan DPR atas penetapan Perppu serta pada 31 Maret 2023 dilakukan pengesahan oleh presiden dan pengundangan oleh Menteri Sekretaris Negara menjadi undang-undang,” kata MK.

MK kembali menuturkan, menurut Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar, UU Ciptaker tidak memenuhi hal unsur mendesak dan darurat, maka UU tersebut merupakan produk hukum yang melanggar.

Sementara itu, Bivitri Susanti selaku Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera menyebutkan fenomena “autocratic legalism” terjadi pada proses pengesahan UU Cipta Kerja yang diujikan pada perkara ini.

“Keduanya menjadi Ahli Pemohon Perkara Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 pada Rabu (26/7/2023) lalu,” tuturnya.

MK menambahkan, Aan Eko Widiarto, Ahli Hukum Tata Negara dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya sebagai Ahli Pemohon Perkara Nomor 46/PUU-XXI/2023 menyebutkan salah satu kesalahan UU 11/2020 adalah bertentangan dengan asas keterbukaan sehingga pembentukannya harus melibatkan partisipasi masyarakat yang lebih bermakna.

“Dalam hal pembentukan UU, alih-alih membentuk UU untuk memperbaiki UU 11/2020, Presiden justru membentuk Perppu 2/2022 tentang Ciptaker kemudian DPR menyetujuinya dan menetapkannya sebagai UU,” imbuhnya.

Sementara itu, lanjut MK, Sri Palupi selaku saksi Pemohon mengatakan telah membaca putusan MK dimana MK menyatakan UU Ciptaker itu sudah dinyatakan inskonstitusional bersyarat.

“Pada Senin (7/8/2023) lalu, Jamaludin Ghafur sebagai Ahli yang dihadirkan Partai Buruh menyatakan bahwa penerapan metode omnibus pada UU Ciptaker tak penuhi syarat, salah satunya kecacatan hukum formil dalam tahap persetujuan UU Cipta Kerja di DPR,” tutup MK.(*)


Eksplorasi konten lain dari JournalArta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

What's your reaction?

Related Posts

Tinggalkan Komentar