Oleh: AHMADI SOFYAN
AWALNYA kehadiran Kotak Kosong ada ungkapan populer: “Tiduk bae lah, bangun-bangun langsung dilantik”. Eh, seiring perjalanan waktu, keberadaan Kotak Kosong bikin “dak pacak tiduk”. Mungkin begitulah…..
=====
BANGKA BELITUNG, JOURNALARTA.Com – ADA hal yang menarik kemaren malam, ketika saya ngopi bareng sahabat baik seorang Tokoh Tionghua di Pangkalpinang.
“Om…., gimana nih fenomena Kotak Kosong?” melalui suara handphone, seorang pejabat populer dari sebuah partai besar, yang selalu aktif di medsos menanyakan fenomena Kotak Kosong kepada seorang tokoh Tionghua Pangkalpinang. Sang tokoh Tionghua menjawab dengan cerdas dan saya yang mendengar langsung ketawa ngakak.
“Lho, yang bikin Kotak Kosong itu ada, siapa? Kan kalian orang partai yang membuatnya ada? Harusnya saya yang nanya ke kalian”. Sepertinya mati kutu sang pejabat publik yang populer karena hobinya mem-video segala aktivitasnya di medsos.
“Ya beginilah kalau duduk sama Atok Kulop, mulut kita ikutan judes woo…” celetuk sang tokoh Tionghua ini sambil menyeruput kopi dan saya pun yang duduk disampingnya ikut menyeruput kopi yang masih panas.
“Dak pacak tiduk wo kawan tu, gara-gara gawi ikak ne” ujarnya kepada saya malam itu sambil ngakak. “Bantailah Jok, mesege belagak igak…..” lanjutnya.
Ya, fenomena Kotak Kosong, terutama di Pangkalpinang kian hari nampaknya kian semarak. Keberadaan Kotak Kosong yang awalnya diremehkan, diolok, dikecilkan, dibully, tiba-tiba seiring perjalanan waktu ternyata cukup mengkhawatirkan dan konon bikin sulit tidur.
Tapi apalah itu Kotak Kosong, nggak ada apa-apanya kok. Bukankah Kotak Kosong hanyalah kumpulan rakyat kecit dan lawannya adalah kumpulan orang-orang elite, yang menguasai medan perang dengan segala perangkat prajurit beserta senjatanya. Sedangkan Kotak Kosong nggak punya perangkatnya, nggak ada anggarannya, nggak ada janjinya dan nggak ada apa-apanya, Jadi harusnya Paslon Tunggal & pasukan elite-nya bisa tidur nyenyak saja dan tak perlu panik dan bertindak kalap dengan mencari-cari celah kesalahan dan keburukan pasukan rakyat kecit yang tergabung dalam Kotak Kosong.
Sebetulnya sangat penting bagi Pasukan Kaum Elite harus mencari kelemahan & kesalahan rakyat kecit yang tergabung di dalam Kotak Kosong. Tak perlu juga mengolok, membully dan menganggap bahwa orang yang memilih Kotak Kosong adalah pasukan sakit hati, toh nggak ada apa-apanya.
Semakin lucu kala harus wira-wiri meminta dukungan guna mempermasalahkan kalimat “Rusep Berasa Tempoyak”. Mencari celah guna melaporkan dengan judul SARA. Menggoreng dan memberitakan penggerbekan seorang pasukan Kotak Kosong di kamar hotel bersama seorang perempuan yang ternyata adalah isterinya. Mengaitkan kampus dimana salah satu pasukan Kotak Kosong bekerja, playing victim seakan terzholimi (baru kali ini ada orang besar merasa dizholimi rakyat kecil), bernarasi yang dicampur bully-an terhadap Kotak Kosong, dan sebagainya yang akhirnya menunjukkan watak asli, memukul bukannya merangkul, mengejek bukannya mengajak, menggunakan sentiment bukan argument. Tapi karena ini juga yang akhirnya membuat Kotak Kosong bak bola salju, semakin digelinding semakin membesar.
Mengapa Ada Kotak Kosong?
MENARIK jawaban dari sahabat saya, Tokoh Tionghua Pangkalpinang tadi ketika ditanya oleh salah satu pejabat yang sekaligus petinggi Partai berkaitan dengan fenomena Kotak Kosong yang dianggap mengkhawatirkan. “Yang bikin Kotak Kosong itu ada, siapa? Kan kalian orang Partai yang membuatnya?”.
Mengutip dari tulisan Dewi Anggraini Ketua Program Studi S1 Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas menyebutkan bahwa Dalam buku How Democracies Die tulisan Stevan Levitsky dan Daniel Ziblatt (2019) disebutkan bahwa demokrasi bisa mati karena kudeta atau mati pelan-pelan. Kematian itu bisa tak disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah misal dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah dan penindasan total atas oposisi, termasuk juga dengan mendominasi pencalonan dalam pemilihan.
Juan Linz dalam tulisannya The Breakdown of Democratic Regimes (1978) lebih jauh juga menjelaskan peran dan prilaku politikus bisa memperkuat atau mengancam demokrasi. Kondisi ini bisa dilihat dari aspek berikut, yaitu: menolak aturan main demokrasi baik dengan kata-kata atau perbuatan, menyangkal legitimasi lawan, menoleransi atau menyerukan kekerasan dan menunjukkan kesedian membatasi kebebasan sipil.
Disadari atau tidak kita sesungguhnya sedang menuju kemunduran demokrasi secara perlahan-lahan. Dalam konteks pemilihan kepala daerah atau pilkada di Indonesia, salah satu hal yang akan membawa demokrasi mati perlahan-lahan adalah munculnya fenomena Kotak Kosong dalam pilkada.
Fenomena Kotak Kosong berdampak buruk pada masa depan demokrasi di Indonesia karena dengan adanya Kotak Kosong menunjukkan minimnya kompetisi dan transparansi dalam Pilkada. Masyarakat tak lagi punya pilihan yang ideal untuk memilih pemimpin. Ini artinya kegagalan sistem sedang terjadi dalam demokrasi.
Harus kita sadari, bahwa Pilkada secara langsung di Indonesia merupakan salah satu hasil dari perjuangan panjang amanat reformasi. Namun kini demokrasi dari buah Reformasi itu terancam ‘dimanipulasi’ oleh elite politik dengan cara memborong dukungan partai-partai politik atas nama koalisi.
Dan perlu kita ketahui bahwa demokrasi tercermin dalam aspek kompetisi, partisipasi, serta kebebasan masyarakat dalam menentukan pilihan dalam kontestasi politik termasuk kesempatan untuk menerima maupun menolak orang yang akan menjadi pemimpin dalam suatu daerah. Jadi ada indikasi bahwa para politikus hanya memikirkan kepentingan-kepentingan pragmatis semata hanya untuk mendapatkan suara terbanyak dalam Pilkada, bukan mengarah pada Pendidikan politik dalam membangun demokrasi itu sendiri, maka jelas rakyat harus menunjukkan taring kuasanya, yakni dengan memilih KOTAK KOSONG sebagai pelajaran dan pendidikan politik langsung dari rakyat kepada elite.
Sebab, Pilkada yang diharapkan menjadi pintu masuk bagi lahirnya kepemimpinan berkualitas di daerah kini sedikit-sedikit mulai berubah menjadi permainan kekuasaan yang kental dengan pragmatisme, mengabaikan prinsip etik dan moralitas demi meraih kekuasaan.
Akankah Kotak Kosong Pangkalpinang Mengukir Sejarah?
HARUS diakui, fenomena riuh Kotak Kosong di Kota Pangkalpinang memang berbeda dengan keberadaan Kotak Kosong di wilayah lain, bahkan di berbagai daerah di Indonesia. “Kotak Kosong di Pangkalpinang bukan kaleng-kaleng, walau awalnya diremehkan” begitulah ungkapan banyak orang di pasar bahkan di warung-warung kopi.
Saya sengaja kemana-mana menggunakan kaos bertuliskan Kotak Kosong di Pangkalpinang, begitu banyak yang meminta dan menyatakan bahwa mereka memiliki 1 pilihan yakni KOTAK KOSONG.
Jika Kotak Kosong kalah, maka itu hal yang biasa dan tidak ada yang istimewa. Buat paslon tunggal yang menang, Ibarat kata: “Menang tak istimewa, kalah tercela”. Tapi… jika Kotak Kosong ternyata menang dengan suara terbanyak, maka akan menjadi catatan sejarah demokrasi luar biasa.
Percayalah, Kota Pangkalpinang akan menjadi pembicaraan nasional, rakyat Pangkalpinang dinobatkan sebagai rakyat yang sangat berdaulat, tidak bisa diarah-arahkan atau dimanipulasi kelompok elite. Setiap Pilkada yang ada Kotak Kosong diberbagai wilayah di Indonesia, maka Pangkalpinang pasti menjadi tolak ukur dan menjadi bahan perbincangan.
Dihadapan ratusan Mak-Mak, pernah saya sampaikan: “Mak…, milih calon yang ada gambarnya sudah sering kan? Sudah biasa? Nah, kalau milih kolom kosong di surat suara, hanya akan terjadi sekali ini, yakni 27 November 2024, setelah itu tidak ada lagi. Maka, mau buat sejarah nggak? Mau pernah sekali seumur hidup nyoblos kolom kosong yang nggak ada gambar orangnya, apalagi “seringeh muka e ngenabe kite?”.
Mak-Mak serentak mengatakan SIAP dan membuktikan untuk mencatat sejarah itu. Tapi setidaknya, fenomena Kotak Kosong di Pangkalpinang bikin “dak pacak tiduk”. Kata sang Tokoh Tionghua: “Dibuat sendiri, pusing sendiri”.
Salam Kotak Kosong!
(Pundok Kebun, 8 November 2024)
===
AHMADI SOFYAN, populer dikenal sebagai Atok Kulop. Tinggal di Selindung Pangkalpinang namun banyak menghabiskan waktu menyepi di Kebun tepi sungai.
1 Komentar